3/5
Asia
Christianity
Drama
Horror
Mystery
Pop-Corn Movie
possession
religious
Singapore
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Offering
Singapura memang bukan termasuk negara dengan industri
perfilman yang menggeliat. Namun sesekali ada karya dari Singapura yang menarik
untuk disimak. Salah satu sineas asal Singapura yang berhasil minat produser
Hollywood untuk mendanai filmnya adalah Kelvin Tong yang dilirik lewat horror The Maid (2005), action-thriller
co-production dengan Hong Kong, Rule
Number One (2008), serta komedi keluarga It’s a Great, Great World (2011). Tahun 2016 ini ia menawarkan
sebuah horror dengan unsur-unsur relijius Katolik dan teka-teki misteri
kematian berantai. Film berjudul The
Offering (atau dikenal dengan judul alternatif The Faith of Anna Waters) ini dibintangi aktris Amerika Serikat
yang belum begitu populer, Elizabeth Rice dan Matthew Settle (masih ingat Will
Benson dari I Still Know What You Did
Last Summer?).
Jamie Waters, seorang reporter Amerika Serikat, memutuskan
berangkat ke Singapura begitu mendengar kabar bahwa saudarinya, Anna, ditemukan
tewas bunuh diri. Ia tak percaya bahwa Anna sampai memutuskan bunuh diri, maka
ia melakukan investigasi sendiri. Selain itu, Anna juga menjaga putri Anna,
Katie, terutama setelah mendiang Anna bercerai dengan suaminya, Sam. Sementara
itu Pastor James De Silva yang mendalami simbol-simbol dalam Alkitab
mendapatkan kunjungan dari Pastor Matthew Tan yang menyampaikan kecurigaannya
akan adanya upaya untuk membangkitkan kembali kegelapan lewat Menara Babel setelah situs gereja di-hack. Awalnya tak tertarik hingga ia bisa merasakannya sendiri. Dimulailah investigasi mereka yang bermuara pada kasus bunuh diri berantai, yang mana salah satu korbannya adalah Anna.
Membangun plotnya bak kepingan puzzle dengan berbagai formula horror, mulai okultisme, possession-exorcism, hingga investigasi misteri, The Offering sebenarnya punya potensi yang sangat menarik. Apalagi menghubungkan angka binari 0-1 dengan sejarah Menara Babelj dan beberapa unsur-unsur lainnya. Meski diwarnai jumpscare dan thrilling moment yang mediocre mengarah ke gagal, serta elemen-elemen yang terkesan tidak nyambung, revealing teka-teki sebenarnya disusun dengan porsi yang serba pas. Sayangnya kedua plot (Jamie dan Pastor James De Silva) disatukan dengan cara yang konyol dan awkward. Pasca revealing, masih ada elemen exorcism yang cukup mengerikan, tapi berakhir biasa saja.
Penampilan para cast tak ada yang istimewa, tapi cukup sesuai dengan porsi dan kapasitas masing-masing. Elizabet Rice sebagai Jamie yang punya porsi paling banyak cukup memberikan performa yang membuat penonton penasaran akan penemuan-penemuannya sekaligus bersimpati pada karakter nya. Begitu pula Adrian Pang sebagai Pastor Matthew Tan yang pakar IT dan Colin Borgonon sebagai Pastor De Silva, keduanya cukup memberikan keseimbangan antara semangat investigatif sekaligus keimanan dengan jelas. Above all, Adina Herz sebagai si cilik Katie, justru tampil paling mencuri perhatian. Teansformasi karakter dari yang awalnya ceria, polos, penuh pengharapan dan rasa penasaran, hingga possessed yang begitu mengerikan, she's stolen it!
Tak ada yang istimewa pula di aspek-aspek teknisnya. Mulai sinemarografi Wade Muller yang menyuguhkan angle-angle dan pergerakan kamera yang sekedar cukup dalam bercerita sesuai skalanya. Editing Olly Stothert pun memberikan momentum-momentum yang pas dalam menjaga pace tiap stage dan thrilling moment yang efektif meski tak banyak ataupun istimewa. Komposer Joe Ng dan Ting Si Hao menyumbangkan scoring generic, sementara sound design sekedar cukup memenuhi standard film horror.
Sebagai sajian horror yang memasukkan banyak formula, termasuk investigasi, The Offering punya premise yang menarik meski hasil akhirnya tergolong mediocre dan generik. Bisa jauh lebih rapi dengan konsep yang lebih solid, tapi effort yang dilakukan Kelvin Tong untuk menembus Hollywood dan pasar internasional lebih luas di tengah-tengah perfilman Singapura yang minim geliat, tetap layak mendapat atensi. Setidaknya bagi penggemar horror yang mencari hiburan sesaat di waktu senggang, ini masih bisa dijadikan pilihan.
Lihat data film ini di IMDb.Membangun plotnya bak kepingan puzzle dengan berbagai formula horror, mulai okultisme, possession-exorcism, hingga investigasi misteri, The Offering sebenarnya punya potensi yang sangat menarik. Apalagi menghubungkan angka binari 0-1 dengan sejarah Menara Babelj dan beberapa unsur-unsur lainnya. Meski diwarnai jumpscare dan thrilling moment yang mediocre mengarah ke gagal, serta elemen-elemen yang terkesan tidak nyambung, revealing teka-teki sebenarnya disusun dengan porsi yang serba pas. Sayangnya kedua plot (Jamie dan Pastor James De Silva) disatukan dengan cara yang konyol dan awkward. Pasca revealing, masih ada elemen exorcism yang cukup mengerikan, tapi berakhir biasa saja.
Penampilan para cast tak ada yang istimewa, tapi cukup sesuai dengan porsi dan kapasitas masing-masing. Elizabet Rice sebagai Jamie yang punya porsi paling banyak cukup memberikan performa yang membuat penonton penasaran akan penemuan-penemuannya sekaligus bersimpati pada karakter nya. Begitu pula Adrian Pang sebagai Pastor Matthew Tan yang pakar IT dan Colin Borgonon sebagai Pastor De Silva, keduanya cukup memberikan keseimbangan antara semangat investigatif sekaligus keimanan dengan jelas. Above all, Adina Herz sebagai si cilik Katie, justru tampil paling mencuri perhatian. Teansformasi karakter dari yang awalnya ceria, polos, penuh pengharapan dan rasa penasaran, hingga possessed yang begitu mengerikan, she's stolen it!
Tak ada yang istimewa pula di aspek-aspek teknisnya. Mulai sinemarografi Wade Muller yang menyuguhkan angle-angle dan pergerakan kamera yang sekedar cukup dalam bercerita sesuai skalanya. Editing Olly Stothert pun memberikan momentum-momentum yang pas dalam menjaga pace tiap stage dan thrilling moment yang efektif meski tak banyak ataupun istimewa. Komposer Joe Ng dan Ting Si Hao menyumbangkan scoring generic, sementara sound design sekedar cukup memenuhi standard film horror.
Sebagai sajian horror yang memasukkan banyak formula, termasuk investigasi, The Offering punya premise yang menarik meski hasil akhirnya tergolong mediocre dan generik. Bisa jauh lebih rapi dengan konsep yang lebih solid, tapi effort yang dilakukan Kelvin Tong untuk menembus Hollywood dan pasar internasional lebih luas di tengah-tengah perfilman Singapura yang minim geliat, tetap layak mendapat atensi. Setidaknya bagi penggemar horror yang mencari hiburan sesaat di waktu senggang, ini masih bisa dijadikan pilihan.