The Jose Flash Review
Under the Shadow
[زیر سایه]

Meski kondisi negaranya tergolong tidak stabil, Iran selalu mampu memukau dunia internasional lewat film-film yang dilahirkan dari para sineasnya. Satu sutradara berbakat baru yang masuk dalam jajaran ini adalah Babak Anvari. Setelah menulis sekaligus menyutradarai empat film pendek, termasuk Two & Two yang dinominasikan sebagai Best Short Film di BAFTA Awards 2012, ia dipercaya mewujudkan film panjang pertamanya, Under the Shadow (UtS), hasil co-produksi antara Qatar, Yordania, dan Inggris. Tak diduga tanggapan kritikus luar biasa, hingga dipilih untuk mewakili Inggris di Academy Awards ke-89 2017 nanti untuk kategori Best Foreign Language Film. Netflix pun tertarik untuk membeli haknya untuk ditayangkan di Amerika Serikat. Sementara kita di Indonesia punya kesempatan berharga untuk mengalaminya di layar lebar dengan fasilitas yang tentu jauh lebih layak ketimbang di rumahan.
Bersetting saat pasca-perang revolusi Teheran tahun 1980-an, Shideh adalah mahasiswi kedokteran yang ijin melanjutkan studinya ditolak oleh universitas karena pernah terlibat aksi unjuk rasa dan dianggap tergabung dalam organisasi kiri. Terpaksa ia harus melanjutkan hidupnya sebagai ibu rumah tangga di flat, mengasuh putri tunggalnya, Dorsa, sementara sang suami, Iraj, lebih sering ditugaskan di medan perang sebagai tenaga medis. Ketika serangan udara semakin berkecamuk, satu per satu warga di flat itu memilih pindah ke wilayah yang lebih aman. Alhasil Shideh dan Dorsa harus terjebak di flat sendirian. Teror aneh mulai bermunculan ketika Dorsa mengaku melihat sosok tak kasat mata. Ditambah cerita anak tetangganya yang bisu tentang djinn. Awalnya Shideh tak percaya dan menganggapnya sebagai takhayul. Namun ketika keduanya sama-sama merasakan teror yang semakin intens, tak ada pilihan lain selain berusaha meloloskan diri dari flat tersebut. Dengan resiko kondisi perang yang masih belum aman di luar sana, tentu saja.

Bukan tanpa alasan Anvari memilih kondisi pasca perang yang mencekam sebagai latar. Selain sebagai setup serta untuk menambah suasana mencekam dengan meletakkan Shideh dan Dorsa di tengah-tengah kondisi yang sama-sama tak mengenakkan, tapi juga memberikan dimensi dampak psikologis lebih ke dalam kedua karakter ini. Untuk formula horornya, Anvari tak mau terlalu banyak mengumbar jumpscare maupun sekedar suasana eerie. Ia membangun ketegangan dan suspicious cukup lama. Alih-alih membosankan, penahanan ini justru membangun simpati terhadap karakter Shideh dan Dorsa serta membuat penonton turut merasakan apa yang dirasakan oleh keduanya. Sambil pula penonton diajak membayangkan sosok tak kasat mata yang digambarkan secara verbal. Begitu saatnya tiba, tanpa henti ia membombardir penonton dengan penampakan sang sosok tak kasat mata dan serangan-serangan teror yang klimaks, dengan treatment yang tetap elegan sekaligus efektif. Tak lupa konsep berdimensi lebih yang sangat kuat sebagai konklusi cerita, yaitu tentang melepaskan diri dari ketergantungan akan sesuatu. Bagi penonton yang melewatkan konsep ini bisa saja menganggap ending-nya tidak jelas atau menggantung. Padahal jika terbiasa ‘membaca’ film Iran, ini merupakan ending yang tak perlu muluk-muluk, sederhana, tapi powerful dan lebih dari cukup sebagai sebuah konklusi.
Karakter Shideh yang cukup kompleks dan mendominasi mampu dibawakan oleh Narges Rashidi dengan begitu kuat dan hidup. Transformasi karakternya terjadi dengan natural pula. Avin Manshidi sebagai Dorsa pun tampil sangat prima sehingga mampu membuat penonton percaya dan bisa merasakan sekaligus membayangkan sosok tak kasat mata yang dimaksud. Tak banyak aktor cilik yang mampu melakukannya dan ia mampu melakoninya dengan sangat luar biasa. Di deretan pemeran pendukung memberikan performa yang cukup sesuai porsi masing-masing, mulai Bobby Naderi sebagai Iraj, Ray Haratian sebagai Mr. Ebrahimi, sampai Arash Marandi sebagai Reza.
Keberhasilan UtS dalam menyampaikan cerita maupun horror moment-nya tak lepas dari peran sinematografi Kit Fraser dengan pergerakan-pergerakan kamera yang begitu mendukung dan editing Chris Barwell yang membuat pace dan momentumnya serba tepat. Desain produksi Nasser Zoubi dan dekorasi Karim Kheir berhasil memanfaatkan ruang sempit flat sebagai panggung horror yang sangat mecekam. Scoring musik dari Gavin Cullen dan Will McGillvray semakin mendukung nuansa mencekam dan mendebarkan, masih dengan taste yang berkelas dan elegan. Tak perlu mempertanyakan sound design yang terdengar maksimal untuk membangun segala formula horornya di layar lebar.

Tak heran jika kritikus dan media dunia memuji debut dari Babak Anvari ini. Kekayaan cerita sebagai latar belakang begitu efektif untuk turut masuk ke dalam bangunan horror utamanya. Menjadikan UtS sajian horror yang tak hanya efektif menakut-nakuti dan mencekam secara psikologis, tapi membawa penonton ikut merasakan apa yang dirasakan para karakter yang terjebak di tengah-tengah suasana serba tak mengenakkan. Jangan lupa perhatikan tiap detail adegan dan analisis untuk bisa memahami konklusi sekaligus endingnya yang sederhana tapi powerful. Bagi penggemar horror, sayang untuk melewatkan mengalaminya di layar lebar dengan fasilitas yang mumpuni.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.