The Woman King
Komparasi
dan Komplementer
Nilai-Nilai Kepemimpinan

“Gue kira film kayak Black Panther”

Celetukan seperti itu pasti sering kita dengar ketika membahas film The Woman King (TWK) yang diinspirasi dari kerajaan asli di Afrika Barat bernama Dahomey yang berjaya di tahun 1600-1904. Tak heran, belum banyak film (apalagi Hollywood) yang cukup detail dan artistik dalam mengangkat budaya, apalagi sejarah Afrika selain masa-masa perbudakan modern yang mana pasti disetir oleh konsep white savior. Penggambaran yang menyebabkan imaji Afrika di mata dunia seolah-olah tak lebih dari negara-negara miskin, kumuh, dan terbelakang dengan lanskap indan nan eksotis. Maka harus diakui bahwa apa yang dilakukan Marvel Studios lewat Black Panther mengubah imaji budaya Afrika menjadi lebih beradab dan indah, dengan range audience yang sangat luas. Berbekal referensi dan kesiapan penonton luas untuk menerima konten budaya Afrika yang telah ditetapkan Marvel sebegitu tinggi, meyakinkan TriStar (bagian dari grup Sony Pictures) untuk mengangkat kisah historik The Woman King. Diprakarsai aktris Maria Bello (masih ingat Lil dari Coyote Ugly?) yang berkolaborasi bersama penulis skenario Dana Stevens (City of Angels, Save Haven, Fatherhood) dan Gina Prince-Bythewood (The Old Guard) di bangku sutradara, menjadikan The Woman King karya all-women yang sangat menjanjikan. CinemaScore A+ menjadi salah satu bukti nyatanya.

Alkisah Kerajaan Dahomey, salah satu kerajaan terkuat di Afrika abad 18 di bawah pemerintahan Raja Ghezo (John Boyega) dengan pasukan wanitanya bernama Agojie yang skilfull dan tangguh, dipimpin oleh Jenderal Nanisca (Viola Davis), bersiap menghadapi ancaman Kerajaan Oyo setelah mereka berhasil membebaskan warga Dahomey yang diculik untuk dijadikan budak oleh kaum Oyo. Maka Agojie memberi kesempatan kepada wanita-wanita muda Dahomey untuk dilatih menjadi pasukan Agojie generasi baru yang sama tangguhnya. Rekrutan paling menarik perhatian adalah Nawi (Thuso Mbedu), wanita muda yang diserahkan orang tuanya menjadi Agojie karena putus asa berkali-kali gagal dijodohkan dengan pria berumur. Awalnya Nanisca membenci sikap Nawi yang suka membangkang dan berego besar, tapi setelah berhasil membuktikan diri sebagai rekrutan baru terbaik, Nanisca mulai menaruh rispek terhadapnya. Seiring dengan ancaman serangan pasukan Oyo dan pedagang budak asal Eropa, Santo Ferreira yang semakin mendekat, rahasia Nanisca dan Nawi perlahan terungkap. Membuat keduanya mau tak mau mengesampingkan ego dan saling melengkapi dengan nilai-nilai kepemimpinan masing-masing.


Di permukaan terluar, TWK mungkin terkesan seperti sebuah film perang epik biasa yang punya daya tarik lebih karena kesemuanya terdiri dari para wanita dengan battle skill di atas rata-rata, dengan sedikit twist yang terkesan soapy. Namun kalau mau kita telisik lebih mendalam, sebenarnya TWK punya plot sangat kaya dengan konflik yang menarik dan belum banyak diangkat, terutama sekali tentang leadership value. Jika kebanyakan film (terutama tentang leadership) mengetengahkan konflik karakter major yang akhirnya justru belajar banyak dari karakter minor, TWK tidak terjebak di konflik klise tersebut. Konflik antara Nanisca dan Nawi lebih dari itu. Awalnya penonton dihadapkan pada dua value kepemimpinan dengan point of view yang bertolak belakang, yaitu soal unsur cinta dalam kehidupan. Bagi Nanisca, cinta hanyalah kelemahan dan distraksi tidak penting yang mengganggu fokus hidupnya. Ia merasa semua yang ia capai saat ini karena tidak memberi ruang untuk cinta. Sebaliknya, bagi Nawi yang masih muda dan (mungkin juga) naif, cinta adalah kekuatan tersendiri yang membuat hidup menjadi lebih berarti. Keduanya tidak salah, masing-masing punya kelebihan dan konsekuensi sendiri, sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing. 

Kemudian prinsip keduanya kembali dibenturkan lewat kejadian yang lebih krusial; antara hidup dan mati. Lagi-lagi penonton diposisikan sebagai pengamat yang mau tak mau harus mengakui keduanya ada benarnya dan ada salahnya. Ada dua sisi yang dibenturkan; tetap mengikuti rencana yang terancam gagal atau berimprovisasi demi menyelamatkan nyawa? Pada akhirnya film tak semata-mata membela Nanisca atau Nawi sebagai pihak yang paling benar. Justru seolah memberikan statement yang kuat dan tegas bahwa tak ada satu pun nilai-nilai kepemimpinan yang mutlak benar. Justru semuanya wajib ada dan diperlukan sebuah kebijakan untuk menempatkan diri, mewujudkan dengan cara-cara berbeda sesuai kebutuhannya. Nanisca boleh saja terkesan tangguh dan bengis ketika melawan pasukan Oyo, tapi ketika melobi Raja Ghezo agar berhenti memperjual-belikan warga Dahomey dan menggantinya dengan komoditas minyak kelapa, ia menggunakan cara diplomatis elegan dan memperlihatkan bukti nyata untuk meyakinkan. Begitu juga Nawi yang tak lantas percaya begitu saja dengan naluri naifnya, menjadi pasukan Agojie yang lebih tangguh tapi juga tanpa kehilangan kepribadian yang ia percayai membuat hidupnya lebih berharga.


Kekayaan plot yang terangkai dengan sangat baik sepanjang durasi 135 menit menjadikan TWK sajian yang begitu padat dan jauh dari kesan membosankan. Ditambah kepiawaian penyutradaraan Bythewood yang berhasil menghasilkan adegan-adegan perang seru, cukup brutal, impactful tanpa terlalu terkesan eksploitatif, pun juga mampu menjaga emosi sesuai kebutuhan di porsi dramanya. Tata kamera Polly Morgan, editing Terilyn A. Shropshire, dan music score dari Terence Blanchard, menjadikan TWK sajian yang megah, semegah desain produksi Akin McKenzie dan desain kostum Gersha Phillips. 

Penampilan Viola Davis tak perlu diragukan lagi. Sisi tangguh dan rapuh berhasil dibawakan dengan seimbang sesuai kebutuhan momen. Thuso Mbedu tampil standout dengan pembawaan karakter Nawi yang atraktif dan kuat. Tak heran jika karir aktingnya akan kian bersinar paska kesuksesan TWK. Terakhir, John Boyega juga berhasil menanggalkan imaji sosok stormtrooper lugu dan menghadirkan wibawa yang cukup meyakinkan sebagai Raja Ghezo.


Saya harus mengakui cukup terkejut dengan apa yang saya dapatkan paska menonton TWK. I mean, I heard a lot that it's a good one, but never really expected to be that good. Naskahnya sangat kaya, menawarkan konflik value yang tidak biasa, kuat, dan sangat penting untuk direfleksikan, disusun dengan kemasan yang sangat megah dan menghibur. Tak berlebihan jika saya menobatkannya sebagai salah satu film terbaik di tahun 2022 ini. Beginilah hasilnya jika isu women-empowerment dan black-supremacy diolah dengan sangat baik dan relevan, tidak sekadar asal mengangkat isu-isu yang sedang hangat untuk dijadikan komoditas semata di Hollywood.

Lihat data film ini di IMDb.

Diberdayakan oleh Blogger.