Inang
Mempertanyakan
Batasan Moral
Naluri Keibuan
Film dibuka dengan potongan interview terhadap seorang yang mengaku bernama Pak Ageng (Pritt Timothy) dan mengklaim punya cara sendiri untuk memotong kesialan dari seseorang yang lahir saat Rebo Wekasan dimana dipercaya akan mengalami kesialan seumur hidupnya. Adegan lantas berpindah kepada sosok Wulan (Naysilla Mirdad), kasir supermarket yang ditinggal begitu saja oleh sang pacar setelah kedapatan hamil di luar nikah. Keadaan semakin menghimpit ketika orang-orang di sekitarnya justru memanfaatkan kondisinya. Di saat hampir putus asa, Wulan menemukan support group ibu-ibu hamil muda di Facebook dan ada sepasang suami-istri yang tertarik untuk mengadopsi si calon jabang bayi. Pak Agus (Rukman Rosadi) dan Bu Eva (Lydia Kandou) seolah menawarkan kehangatan orang tua yang tak pernah ia alami. Namun siapa yang menyangka keramahan dan kehangatan Pak Agus dan Bu Eva perlahan berubah menjadi sebuah jebakan yang mengancam nyawa dirinya sendiri serta si calon jabang bayi.
Di kemasan terluar, Inang menggulirkan plot dengan teramat sangat jelas tentang pergulatan hidup Wulan ketika berada di titik terendah dan ketika menemukan sedikit kelegaan ternyata justru awal dari sebuah ancaman yang lebih besar. Kekuatan lebihnya terletak pada penokohan yang kuat, terutama sekali Wulan yang lugu tapi tetap punya pendirian kuat di tengah lingkungan hidup yang dekat dengan kemaksiatan. In short, terlihat lemah dari luar tapi sebenarnya punya inner power. Plot keibuan ini kemudian 'dikawinkan' dengan mitologi Rebo Wekasan untuk diarahkan ke teror yang sebenarnya. Tak sekadar asal 'mengawinkan' kedua elemen ini, tapi punya sebab-akibat yang sangat relevan. Dalam sebuah wawancara, Fajar menyebutkan alasan kenapa filmnya diberi judul Inang ketimbang Rebo Wekasan yang sebenarnya lebih 'menjual' sebagaimana film horor kebanyakan. Inti cerita yang diangkat bukan pada mitologi Rebo Wekasan, melainkan sosok ibu (keibuan) sebagai 'inang' bagi si jabang bayi.
Meneliti lebih dalam, Inang sebenarnya punya tema utama tentang seberapa jauh naluri seorang ibu untuk anaknya menembus batasan moral. Ketika menyelamatkan sang anak harus mengorbankan orang lain yang sama-sama seorang ibu. Sebuah pilihan moral yang sebenarnya sangat sulit. Ini tidak hanya terlihat jelas lewat karakter Ibu Eva yang diposisikan sebagai antagonis, tapi bahkan juga pada diri Wulan sebagai protagonis. Konflik moral yang dilematis ini menjadikan Inang tak hanya sebagai horor-thriller yang mencekam (terutama berkat score music dari Bembi Gusti - Tony Merle - Aghi Narottama yang selalu berhasil membangun atmosfer creepy), tapi juga punya sisi drama orang tua-anak yang menyentuh, drama sosial yang miris, bahkan satir yang menggelitik. Bagi yang mengikuti sepak terjang filmografi Fajar Nugros, pasti dengan mudah menemukan benang merah potret sosial yang realistis, terlepas apa pun genre yang diangkat. Mulai komedi (Yo Wis Ben), action (Gangster), hingga thriller horor kali ini.
Meski tergolong slow burn (ada perbedaan yang jelas antara slow burn dan plot stuck), tapi setiap adegan memberikan informasi demi informasi sekaligus proses yang runut. Dengan pilihan opening scene yang ada, sebenarnya penonton cukup mudah menebak arah plot. Apalagi bagi penonton yang punya cukup banyak referensi film-film sejenis. Namun film tetap menarik untuk diikuti dan jauh dari kesan membosankan berkat pilihan-pilihan kreatif yang mewarnai film pun memperkaya di berbagai adegan, baik secara lugas maupun simbolik. Tak terkecuali celetukan-celetukan satir 'nakal' khas Fajar Nugros. Pilihan lagu lawas Semua Bisa Bilang pun tak asal pilih mengikuti trend penggunaan lagu kuno untuk membangun nuansa creepy, tapi memang punya relevansi lirik dengan tema utama film tentang 'kenyamanan yang palsu'. Begitu juga pilihan lagu Tafsir Mistik dari The Panturas yang jika liriknya disimak dengan seksama, menggambarkan bagaimana Setan mempengaruhi manusia lewat kepercayaan dan mitologi.
Departemen akting menjadi kekuatan lain dari Inang. Naysilla Mirdad yang lekat dengan imaji sinetron berhasil memberikan performa yang unik. Masih ada kepribadian lugu nan manja yang masih tersisa, tapi juga punya inner power yang realistis dan natural, sekaligus kebengisan yang meyakinkan di akhir film. Penampilan Lydia Kandou pun tak kalah menarik. Ada sisi keibuan yang membuat penonton ingin diyakinkan karakternya benar-benar baik sekaligus menyentuh, tapi di sisi lain ada sesuatu yang misterius dan cukup creepy. Meski benar-benar ibu dan anak di kehidupan nyata, tapi keduanya mampu menjaga batasan antara ketulusan dan sesuatu yang tetap 'berjarak'.
Sebagai sebuah thriller, tentu ada beberapa kesempatan yang sebenarnya bisa digarap lebih maksimal lagi, misalnya adegan kucing-kucingan Wulan yang bisa lebih mendebarkan lewat penataan pace dan camerawork (ingat betapa berhasilnya adegan serupa; ketika Suzzanna akan diserang para perampok yang direkam dengan one long take di Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur. Sebagai sebuah horor, meski tak banyak jumpscare yang ditawarkan tapi selalu berhasil on point).
Overall, Inang menawarkan pengalaman horor-thriller yang unik dengan berbagai kekayaan rasa dan subteks-subteks yang menarik untuk direnungkan, terutama bagi para orang tua dan calon orang tua. Slow burn, tapi jauh dari kesan membosankan bagi penonton umum sekali pun. Masih bisa dengan mudah dipahami oleh penonton umum tapi juga tetap menarik untuk direnungkan dan didiskusikan bagi yang terbiasa melihat lebih mendalam dalam sebuah film.
Lihat data film ini di IMDb.