Fast Color
Pencarian Jati Diri
Superhero
dengan Pendekatan
Motherhood



Tema pahlawan super (superhero) memang identik dengan genre action. Berbagai upaya modifikasi pendekatan pernah dilakukan sebagai variasi yang berbeda dari tema yang selalu menjadi magnet penonton. Misalnya drama thriller di Unbreakable, action thriller di Chronicle, komedi di Mystery Men, Kick-Ass, Defendor, dan Super, pure drama seperti di Birdman, bahkan horor seperti yang dilakukan installment terbaru X-Men lewat The New Mutants yang perilisannya beberapa kali mengalami penundaaan. Apa yang dilakukan pasangan suami-istri Jordan Horowitz (produser The Kids Are All Right dan La La Land) - Julia Hart (aktris Tuck Everlasting yang akhirnya menjajal penulisan naskah dan penyutradaraan lewat Miss Stevens dan film Disney+ yang akan datang, Stargirl) tergolong unik. Menceritakan kisah superhero dalam kemasan drama dengan pendekatan parenting, lebih tepatnya motherhood

Aktris blasteran yang karirnya sedang menanjak, Gugu Mbatha-Raw (Larry Crowne, Beyond the Lights, Jupiter Ascending, Concussion, Free State of Jones, Miss Sloane, Beauty and the BeastThe Cloverfield Paradox, dan A Wrinkle in Time), dipercaya mengisi peran utama, didukung Lorraine Toussaint (serial Orange is the New Black, The Soloist, SelmaGirls Trip, Scary Stories to Tell in the Dark), Christopher Denham (Charlie Wilson's WarShutter Island, Argo, Money Monster, dan serial Billions), David Strathairn (Good Night and Good LuckThe Bourne Ultimatum, The Spiderwick Chronicles, The Bourne Legacy, Lincoln, Godzilla (2014) dan Godzilla: King of the Monsters, The Second Best Exotic Marigold Hotel, serta Darkest Hour), dan si cilik Saniyya Sidney (pemeran putri Taraji P. Henson di Hidden Figures dan putri Denzel Washington-Viola Davis di Fences).
Nama-nama yang memang belum begitu familiar bagi penonton kita tapi dari daftar filmografinya tentu tidak bisa diremehkan begitu saja.


Film dibuka dengan penggambaran bumi yang sedang sekarat. Hujan terakhir turun delapan tahun yang lalu dan semenjak itu bumi mengalami kekeringan panjang. Di tengah serba kesulitan tersebut, seorang wanita muda bernama Ruth tampak selalu dalam pelarian. Berbagai upaya dilakukan demi bertahan hidup sambil tetap tidak mencolok. Keputus-asaan akhirnya membuatnya memutuskan pulang ke rumah sang ibu, Bo di kawasan terpencil. Ruth mendapati putri tunggal yang selama ini dititipkannya, Lila, ternyata punya bakat kekuatan super yang tak kalah dari dirinya. Merasa mengontrol kekuatannya sendiri saja belum mampu, Ruth masih harus mengarahkan sang putri tentang bagaimana memanfaatkan kekuatan supernya. Sementara kejaran dari pihak pemerintah yang mengincarnya untuk diteliti semakin dekat menuju tempat persembunyian mereka.

Konflik mengontrol kekuatan dan pencarian jati diri memang sudah menjadi salah satu formula klasik cerita bertema superhero. Hampir semuanya dibuka dengan konflik yang sangat manusiawi ini. Begitu juga dengan Fast Color yang membuka film dengan sosok Ruth yang dengan dahsyatnya bisa mengakibatkan gempa bumi ketika mengalami kejang-kejang. Adegan kejar-kejaran dan sedikit bumbu aksi yang ditata dengan cukup seru menjadi pembuka yang cukup menjanjikan.
Namun rupanya hal tersebut tak berlangsung lama. Nyaris tiga-perempat film (dari total durasi sekitar 100 menit) dihabiskan untuk memeperkenalkan sekaligus mengembangkan karakter Ruth yang sedang mencari jati diri dan mengontrol kekuatannya dengan pace yang tergolong pelan. 


Pengembangan plot yang dilakukan pun terlalu banyak menyampaikan detail-detail informasi untuk hal-hal yang sebenarnya tidak begitu dipedulikan penonton kebanyakan. 
Sebenarnya ada banyak cara yang lebih efektif untuk menyampaikan detail-detail informasi tersebut sehingga tak perlu berjalan selambat dan se-'bertele-tele' itu.
Namun setidaknya poin utama yang di-highlight tentang bagaimana gaya parenting, terutama dengan pendekatan motherhood mempengaruhi bagaimana seseorang menyikapi kekuatan supernya sudah tersampaikan dengan jelas dan solid lewat ketiga karakter antar generasi: Bo, Ruth, dan Lila dengan Ruth sebagai poros utama yang sekaligus menjadi katalisnya.

Seperti biasa, Gugu Mbatha-Raw mampu dengan meyakinkan sekaligus mengundang simpati penonton lewat beragam ekspresi wajah dan gestur yang merepresentasikan fluktuasi emosi karakter Ruth. 
Lorraine Toussaint pun mengimbangi lewat performa yang tak kalah kharismatik sebagai Bo, sementara Saniyya Sidney sekali lagi membuktikan bakat besarnya untuk meyakinkan penonton lewat karakter Lila yang cerdas, pemberontak, kompleks, sekaligus masih menyimpan sisi lugu dengan keseimbangan yang serba pas.


Pilihan soundtrack termasuk gokil terutama Germfree Adolescents dari X-Ray Spex, sementara music score Rob Simonsen (Spectacular Now, The Way Way Back, Foxcatcher, The Age of Adaline, Burnt, Misss StevensNerve, The Upside, Tully, Love, Simon, The Way Back) mengalun lembut, berkelas, sekaligus megah sesuai dengan pace film meski belum sampai memiliki signature tersendiri.

Pada akhirnya Fast Color terasa seperti sebuah film perkenalan (atau episode pilot sebuah serial?) yang perlu follow-up lebih lanjut untuk pengembangan plot yang lebih besar, beragam, dan menarik. 
Adegan penutup (lagi-lagi) menjanjikan hal tersebut. 
Konon kabarnya saat ini Julia Hart dan Jordan Horowitz memang sudah mempersiapkan sebuah serial TV untuk Amazon Studios sebagai follow-up dengan melibatkan Viola Davis selaku produser lewat rumah produksi JuVee Productions milik Julius Tennon.

Selagi menantikan serialnya, ada baiknya kita berkenalan akrab dengan karakter-karakter pentingnya di film ini yang bisa ditonton secara eksklusif di Indonesia lewat KlikFilm.

Lihat data film ini di IMDb.

Diberdayakan oleh Blogger.