32 Malasana Street
[Malasaña 32]

Poltergeist
Campur The Exorcist
dengan Teror Ekstrim
ala Spanyol

Spanyol memang punya sejarah perfilman yang panjang dengan kualitas yang sudah kerap memberikan sumbangsih terhadap world cinema. Namun genre horor dan thriller menjadi daya tarik utama sinema Spanyol. Nama seperti sutradara J. A. Bayona (The OrphanageMarrowbone) dan aktor spesialis peran hantu, Javier Botet (franchise RECMamaCrimson PeakThe Other Side of the DoorThe Conjuring 2, dan It) tentu sudah tak asing di telinga penggemar film horor di seluruh dunia. Persembahan film horor terbaru dari Spanyol adalah Malasaña 32 atau berjudul internasional 32 Malasana Street yang disutradarai Albert Pintó, (sutradara film pendek yang memenangkan berbagai ajang penghargaan lewat film pendek Nada S.A. (2014) dan RIP (2017), serta sempat menggarap film panjang pertamanya, Killing God alias Matar a Dios tahun 2017 silam), dengan naskah yang disusun oleh tim kreator serial Fariña alias Cocaine CoastVelvet ColecciónInstintoGrand HotelAlta mar alias High SeasCable Girls, dan 45 rpm). Jajaran cast-nya meliputi aktris muda Begoña Vargas (La otra mirada alias A Different View dan Altar mar alias High Seas), Sergio Castellanos (Todos lo saben atau Everybody Knows, serial Los protegidos atau The Protected, dan La peste alias The Plague), Iván Marcos (serial 45 rpm), Bea Segura (serial Hospital Central), serta Javier Botet sendiri yang akhirnya memerankan peran manusia biasa selain tentu saja menjelma menjadi salah satu sosok hantu.

Keluarga Olmedo baru saja meninggalkan seluruh hidup mereka di desa dan memilih kehidupan baru dengan mencoba peruntungan di kota Madrid di era '70-an. Kebetulan mereka mendapatkan 'harga bagus' untuk sebuah apartemen yang cukup luas di Jalan Malasana nomor 32. Seperti bisa diduga, ada harga ada rupa. Si anak gadis, Amparo, mulai merasakan teror hingga puncaknya si bungsu, Rafael mendadak menghilang yang mau tak mau membuat kondisi keuangan keluarga terancam. Pasalnya, sang ayah-ibu, Manolo dan Candela sama-sama baru satu hari bekerja. Hilangnya Rafael membuat keduanya kelabakan hingga mengabaikan pekerjaan mereka. Perlahan Amparo mengumpulkan petunjuk dari barang-barang yang ditinggalkan penghuni sebelumnya untuk menguak ada apa di balik teror yang menimpa keluarganya.

 


Secara premis sebenarnya 32 Malasana Street tidak menawarkan sesuatu yang baru. Bahkan formula 'pindah ke rumah baru dan mulai mengalami teror supranatural' sudah menjadi template dasar yang paling digunakan di hampir semua film horor modern. Tinggal bagaimana kepiawaian sutradara merancang teror demi terornya agar berhasil menjadi olahraga jantung yang mendebarkan bagi penonton dan kalau bisa, kreativitas penulis naskah dalam membangun serta merangkai misterinya. Untung saja untuk urusan kepiawaian menghadirkan rangkaian adegan olahraga jantung, Albert Pintó rupanya tergolong di atas rata-rata, termasuk adegan boneka nenek-nenek di TV yang punya daya creepy tersendiri. 


Hampir semua set piece adegan horor yang dirancangnya berhasil membuat jantung penonton berdebar-debar dan mungkin sesekali berteriak spontan pada puncak-puncak jumpscare-nya berkat timing yang serba tepat serta camerawork Daniel Sosa Segura (serial La zonaTraición45 rpm, dan Elite) yang efektif tanpa ada yang terkesan dibuat-buat dengan hasil sia-sia.



Penyusunan plot pun sebenarnya cukup membuat penasaran dengan menyebar kepingan-kepingan petunjuk yang menarik dengan pace dan porsi yang cukup pas, tanpa ada elemen yang terasa kelewat bertele-tele maupun dibuat-buat. Terasa seperti ada perpaduan elemen khas PoltergeistThe Exorcist, dan sedikit salah satu film klasik Roman Polanski (mungkin akan menjadi spoiler jika disebutkan secara gamblang judulnya yang mana), tapi overall masih cukup punya daya tarik tersendiri.


Sayangnya ketika tiba momen revealing, ada elemen cerita yang korelasinya terasa lemah jika tidak mau dianggap 'kurang nyambung' atau 'out of nowhere'. Begitu juga dengan penyelesaian yang terkesan terlalu instan tanpa motivasi yang cukup kuat maupun jelas, meski bisa jadi jalan keluar yang aman bagi keluarga Olmedo.

 

Penampilan aktris muda Begoña Vargas di lini terdepan jelas menjadi perhatian utama penonton. Untung saja ia berhasil memikul beban tersebut dengan kharisma yang cukup kuat di balik tampilan fisik yang sedikit mengingatkan saya akan Eva Mendes muda. Berbagai emotion range pun dibawakan dengan cukup meyakinkan sehingga masih bisa menarik simpati penonton meski penulisan pengembangan karakternya yang belum cukup kuat. Begitu juga pasangan Bea Segura dan Iván Marcos yang masih mampu mengundang simpati penonton lewat penampilannya di balik kualitas penulisan karakter yang tak lebih baik dari Amparo. Sayang penampilan aktor muda Sergio Castellanos terasa tersia-siakan meski sebenarnya diberi porsi kepingan misteri yang cukup penting. 

Dari semuanya, pencuri perhatian terbesar adalah si cilik Iván Renedo yang baru berusia enam tahun tapi berhasil merepresentasikan ketakutan kepada penonton dengan sangat baik lewat karakter Rafael.

 

Pada akhirnya kemasan 32 Malasana Street yang cukup menjanjikan sejak awal harus berakhir menjadi sekedar horor biasa yang tidak terlalu meninggalkan kesan untuk jangka panjang. Sama sekali tidak buruk, sangat menghibur sebagai sajian horor pop-corn bagi pecinta horor yang sekedar butuh hiburan olahraga jantung instan dengan penggarapan yang 'di atas layak'. Punya potensi menjadi salah satu horor yang eksepsional, tapi rupanya baik tim penyusun naskah maupun Albert Pintó masih harus belajar bagaimana menyajikan konklusi sebaik membangun set piece-set piece-nya. 

 

32 Malasana Street bisa ditonton secara eksklusif di Indonesia lewat KlikFilm mulai bulan Agustus 2020.


Lihat data film ini di IMDb.



Diberdayakan oleh Blogger.