[HEADLINE]
The Jose State of Mind
Lightyear
Lightyear
Memahami Polemik
Pencekalan
yang Terus Berulang
Agenda dukungan Disney terhadap komunitas LGBTQ+ lagi-lagi membuahkan konsekuensi. Film animasi Pixar terbarunya, Lightyear, dicekal di 14 negara di Timur Tengah dan Asia. Indonesia menjadi salah satu negara yang membatalkan penayangan film spin-off dari waralaba Toy Story ini. Penyebabnya adalah elemen LGBTQ+, dalam hal ini karakter pasangan lesbian, bahkan ada adegan ciuman bibir antara pasangan ini. Menurut produser Galyn Susman, pihak bewenang China meminta Disney memotong adegan ciuman tersebut agar dapat diputar di negara yang menjadi salah satu pasar terbesar film-film Hollywood di seluruh dunia. Sampai saat ini pihak berwenang China belum memberikan keputusan pasti terkait nasib film tersebut. Berdasarkan dari pengalaman sebelum-sebelumnya sih, Lightyear agaknya akan menambah panjang daftar film produksi Disney yang dilarang tayang di bioskop China setahun terakhir.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Dari pengamatan di LSF, film utama Lightyear sama sekali belum terdaftar. Baru poster dan trailer-nya saja. Dari sini besar kemungkinan Disney Indonesia sudah membatalkan penayangan Lightyear di bioskop-bioskop Indonesia bahkan sebelum sempat 'divonis' oleh LSF. Adapun material promosinya sudah diturunkan dari daftar upcoming situs-situs eksibitor dan post di akun resmi Disney Indonesia tentang film ini terakhir bulan April silam. Keputusan ini bisa dipahami mengingat kasus seperti ini selalu menjadi polemik yang tidak mudah, apalagi pihak Disney pusat konon menolak pemotongan adegan yang dipermasalahkan di beberapa negara. Daripada sudah effort dan repot-repot membawa masuk dan mendaftarkannya ke LSF, isu elemen LGBTQ+ yang tergolong cukup frontal ini sudah pasti akan menemui jalan terjal.
Sebenarnya LSF tidak pernah benar-benar anti terhadap konten LGBTQ+. Beberapa tahun terakhir dimana isu tersebut menjadi lebih sensitif di kalangan masyarakat, LSF masih meloloskan film-film bertema LGBTQ+ di bioskop Indonesia dengan pembatasan kategori usia 21+. Ini terjadi pada film komedi Thailand, Tootsies and the Fake (sayangnya memangkas semua sub-plot tentang hubungan asmara sejenis tapi masih menyisakan elemen-elemen queer) dan film drama komedi romantis India tentang transgender, Chandigarh Kare Aashiqui. Disney Indonesia sendiri juga tidak pernah anti dengan rating 13+, bahkan untuk film animasinya. Ini terbukti dari Raya and the Last Dragon yang mendapatkan rating 13+ saat tayang di bioskop Indonesia.
Tentu saja isu batalnya penayangan Lightyear ini segera menjadi topik panas di kalangan moviegoers Indonesia, mengingat waralaba Toy Story punya banyak sekali penggemar dan Lightyear menjadi salah satu film yang paling dinantikan. Apalagi beberapa produksi Pixar terakhir (Soul, Luca, dan Turning Red) akhirnya diputuskan melewatkan penayangan teatrikal dan langsung di Disney+ Hotstar.
Polemik pembatalan Lightyear di Indonesia dan pencekalan di berbagai negara lain sebenarnya tidak semudah soal penerimaan terhadap komunitas LGBTQ+ semata, tapi ada kepentingan politik di baliknya.
Beberapa tahun terakhir Disney dikenal sebagai perusahaan Amerika Serikat yang paling vokal dan getol memproklamirkan dukungannya terhadap komunitas LGBTQ+. Jika kebanyakan perusahaan menyuarakan dukungan hanya sejauh perlakuan setara terhadap staf dan konsumennya, Disney menjadi yang paling aktif memasukkan representasi komunitas LGBTQ+ di konten-kontennya (selain, tentu saja, Netflix). Coba amati konten-konten tentpole studio besar Hollywood lainnya. Tidak satu pun yang sebegitu 'memaksakan diri' memasukkan representasi LGBTQ+ ke dalam konten-kontennya, apalagi yang memang ditujukan untuk audiens anak-anak atau keluarga.
Sebelum-sebelumnya Disney masih tergolong 'halus' dalam menyelipkan elemen LGBTQ+ ke dalam konten-kontennya. Bisa berupa kesan saja atau lewat dialog yang tidak secara eksplisit menunjukkan elemen tersebut. Misalnya deskripsi sosok MacGregor Houghton di Jungle Cruise dan karakter orang tua America Chavez di Doctor Strange: Multiverse of Madness. Langkah terlalu berani sempat dilakukan lewat Eternals dan langsung menuai kontroversi di banyak negara. Jika film-film tersebut sebenarnya masih tergolong lebih ‘dewasa’, kali ini Disney mengambil langkah yang jauh lebih berani lagi lewat Lightyear.
Konon sebelumnya pihak Disney sebenarnya sempat menghilangkan adegan ciuman sesama jenis ini saat masih tahap produksi. Keputusan untuk memasukkan kembali adegan tersebut agaknya disebabkan oleh kontroversi tuduhan kegagalan andil Disney dalam menolak RUU 'Don't Say Gay' (RUU yang digagas oleh Komite Pendidikan Senat Florida dan bertujuan membatasi pembahasan tentang orientasi seksual dalam ranah pendidikan formal), juga isu dari karyawan Pixar Animation Studios yang menuduh Disney secara rutin menghilangkan adegan afeksi sesama jenis di film-film produksi mereka meski sudah diprotes oleh tim kreatif maupun petinggi eksekutif Pixar.
Tuduhan-tuduhan seperti ini merupakan konsekuensi dari langkah Disney sebagai perusahaan terbesar yang paling lantang mendukung komunitas LGBTQ+. Jika tidak diindahkan, tuduhan bahwa dukungan Disney terhadap komunitas LGBTQ+ hanya sekadar formalitas dengan tujuan komersial semata, akan semakin kuat. Tentu ini bukan preseden baik terhadap imaji perusahaan. Sebaliknya sebagai konsekuensi lanjutan, Disney harus mengikhlaskan kehilangan negara-negara yang menjadi pasar besarnya, seperti China, negara-negara Timur Tengah, dan Indonesia (Indonesia sering masuk ke dalam 10 besar pasar internasional - di luar Amerika Serikat - untuk film-film blockbuster Hollywood).
Sebenarnya sangat tidak adil jika hanya melihat polemik ini dari kacamata penonton (dan penggemar) yang kecewa film-film yang dinantikan batal tayang di negaranya. Bagaimana pun tiap negara punya kultur dan resepsi yang berbeda-beda. Tidak bisa memaksakan semuanya bisa menerima semua isu apa adanya. Bahkan di Amerika Serikat sendiri yang di mata kebanyakan orang Indonesia paling liberal dan bebas, tidak semua kalangan bisa menerima dan mendukung komunitas LGBTQ+.
Saya sama sekali tidak bermaksud mendeskritkan komunitas LGBTQ+. Jika memang menjadi topik dan/atau konflik film, sama sekali tidak masalah. Namun jika pemasukan elemennya terlalu dipaksakan, apalagi di kanal-kanal yang tidak tepat, tak salah jika resepsinya pun tidak baik. Toh dalam isu apa pun, cara-cara halus, elegan, dan pembuktian kontribusi konkret akan jauh lebih efektif daripada cara-cara paksaan, bukan? Selalu ada cara-cara dan pendekatan berbeda untuk memperkenalkan dan/atau menyampaikan informasi sesuai dengan karakter target audiens masing-masing.
Selain itu, menurut saya edukasi tentang gender dan orientasi seksual juga selayaknya dilakukan sesuai dengan tingkatan usia. Ini terkait dengan penelitian yang menyimpulkan bahwa sampai usia tertentu semua anak adalah biseksual. Pengalaman dan pencarian jati diri lah yang membuat spektrumnya cenderung ke arah mana. Walau saya meyakini bahwa melihat konten-konten homoseksual tidak akan serta-merta membuat seseorang berubah menjadi homoseksual, sebagaimana anak-anak berorientasi homoseksual juga tidak akan berubah menjadi heteroseksual meski tiap hari terekspos oleh konten-konten heteroseksual, tetap saja informasi dan edukasi terkait gender dan orientasi seksual porsinya harus disesuaikan dengan tingkat usia agar tidak membuat anak tersebut semakin bingung dengan jati dirinya. Maka sebenarnya, menurut saya, elemen-elemen LGBTQ+ masih sah-saja diselipkan ke dalam konten untuk umum selama ditampilkan secara halus dan tidak eksplisit, setidaknya hanya sejauh kesan saja sebagaimana yang pernah ditampilkan di The Secrets of Dumbledore dan Doctor Strange: Multiverse of Madness. Sebaliknya, andai saja film seperti, let’s say Luca benar-benar membuat karakter Luca dan Alberto sebagai sepasang gay, bukankah justru semakin memperkuat stereotip dangkal bahwa hubungan persahabatan antara sesama laki-laki yang sedekat itu pasti mengarah ke hubungan asmara sejenis?
Semoga tulisan ini memberikan perspektif yang menyeluruh tentang polemik batalnya penayangan Lightyear di Indonesia. Semoga juga dengan ditolaknya di pasar-pasar strategis, Disney akhirnya melunak untuk membuat versi alternatif, mengingat sebelumnya Pixar pernah membuat adegan alternatif di negara tertentu (contohnya di film Inside Out untuk pasar Jepang mengubah brokoli menjadi paprika dan hockey menjadi sepak bola untuk negara-negara dimana sepak bola jauh lebih populer dibandingkan hockey). Jika alasan perbedaan kedekatan kultural saja bisa membuat Pixar menyiapkan versi alternatif di filmnya, seharusnya alasan pasar yang lebih luas menjadi lebih substansial secara bisnis, bukan? Tentu saja kecuali kepentingan politis lebih kuat ketimbang kepentingan ekonomis.