Guru-Guru Gokil
[‎Crazy Awesome Teachers]

Jejalan Topik
Tak Sepenuhnya Terselesaikan,
Tambal dengan Aksi Komedi
Menghibur


Setelah sukses dengan produksi perdana, Perempuan Tanah Jahanam, Base Entertainment mencoba memproduksi genre drama komedi dengan mengangkat latar belakang dunia pendidikan; Guru-Guru Gokil. Dari judulnya mungkin banyak yang menduga tak berbeda jauh dari formula guru dengan gaya mengajar yang nyentrik seperti serial anime GTO: Great Teacher Onizuka, Dangerous Minds, Bad Teacher, sinetron Opera SMU (masih ingat sepak terjang Tamara Bleszynski di sini?), atau yang terakhir, Big Brother yang meletakkan Donnie Yen sebagai guru 'sangar'.

Namun rupanya film yang dipercayakan untuk diarahkan oleh Sammaria Simanjuntak (Cin(T)a, Demi Ucok, dan Sesat) dan naskahnya dikerjakan oleh Rahabi Mandra (2014, Hijab, Turis Romantis, Trinity, The Nekad Traveler, dan Night Bus) mencoba membahas lebih dari sekedar guru dengan metode pengajaran nyentrik. Gading Marten didapuk mengisi peran utama, didukung Boris Bokir, Kevin Ardilova, Dian Sastrowardoyo (selain sebagai salah satu produser juga), Arswendi Nasution, Asri Welas, Kiki Narendra, dan Faradina Mufti yang mendapatkan spotlight lebih setelah penampilan kecilnya di Love for Sale, Perempuan Tanah Jahanam, dan Anak Garuda. Sempat direncanakan tayang di layar lebar tapi karena pandemi COVID-19 yang belum juga mengijinkan jaringan-jaringan bioskop untuk beroperasi, akhirnya langsung menyambangi layanan OTT (Over The Top), Netflix, tepat pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2020 lalu. Siapa sangka ternyata pilihan tanggal tersebut punya relevansi yang cukup dengan salah satu tema yang diusung film?

Lahir sebagai anak seorang guru, Taat Pribadi mempertanyakan kenapa selama ini Sang Ayah, Pak Purnama, begitu telaten mendengarkan murid-muridnya tapi justru tak pernah mendegar anaknya sendiri. Paska lulus SMA, Taat bertekad merantau ke kota untuk bekerja apa saja, membuktikan bahwa dirinya bisa sukses tanpa peran Sang Ayah. Nyatanya mencari kerja di kota besar hanya dengan ijazah SMA membuatnya hidup susah. Setelah sekian lama akhirnya Taat mau tak mau pulang ke rumah Sang Ayah dan mengambil tawaran bekerja sebagai guru mata pelajaran Sejarah pengganti, setidaknya hingga Hari Raya Idul Fitri di SMA yang sama tempat Pak Purnama mengajar. Tujuannya hanya satu: mengumpulkan cukup uang untuk bekerja di kapal pesiar yang menjanjikan gaji puluhan juta.

Baru mulai mengajar, perampokan gaji para guru di SMA tersebut terjadi dan membuat Taat mengajak rekan sesama guru, Pak Nelson Manulang, Bu Rahayu, dan Bu Nirmala menyelidiki pelaku perampokan dengan tujuan menggunakan uang tersebut untuk biaya pelatihan bekerja di kapal pesiar. Seiring dengan penyelidikan yang juga dibantu para muridnya, Taat mulai memahami koneksi yang dibangun antara guru dan murid. Niatan untuk bekerja di kapal pesiar pun menjadi gamang. Apalagi ia mengetahui bahwa diam-diam Bu Rahayu menaruh hati padanya.

Dari sinopsis dan sejak narasi pembuka, sebenarnya bisa dengan mudah ditebak topik utama apa yang hendak dicapai lewat film; sebuah perjalanan karakter utama, Taat Pribadi, dari yang money-oriented akibat pola asuh Sang Ayah yang dirasa tidak adil, hingga menemukan dirinya sebagai guru, yang mana sekaligus bisa dimanfaatkan untuk membuat Taat memahami pilihan hidup Sang Ayah selama ini dan koklusi dengan rekonsiliasi antara keduanya. Saya sama sekali tak ada masalah dengan arah plot yang bisa ditebak selama plotnya disusun secara relevan dan lebih baik lagi jika adegan-adegan (potensial) dramatis pentingnya juga dikerjakan menjadi menyentuh.

Ya, semua elemen yang saya terka memang termuat semuanya di dalam naskah yang disusun oleh Rahabi Mandra. Pun saya juga sangat menghargai upayanya membungkus langkah-langkah tersebut dengan konflik perampokan yang tak hanya (bisa) relevan dengan turnover karakter Taat, tapi juga bisa menjadi 'motor' yang menghibur. Sayangnya PR yang seharusnya menjawab pertanyaan seperti;

  • Bagaimana plot membuat Taat akhirnya menjawab gugatan terhadap Sang Ayah lewat pengalamannya sendiri sebagai guru?
  • Hal (atau kejadian) apa saja yang membuat Taat menyadari 'panggilan hidup'-nya sebagai seorang pengajar?

tidak sepenuhnya terjawab secara relevan.

Pertanyaan pertama sempat disinggung dalam sebuah adegan penting antara Taat dan Purnama, tapi sama sekali tidak menjelaskan apa saja yang membuat Taat akhirnya memahami mengapa Sang Ayah selama ini mendengarkan murid-muridnya, tapi tidak anaknya sendiri. Jika penonton diharapkan menemukan jawabannya sendiri di adegan-adegan sebelumnya, saya sama sekali tidak menemukan. Bagaimana bisa ketika sebelumnya porsi plot didominasi oleh akal-akalan Taat mendekati rekan guru lainnya untuk memuluskan tujuan pribadinya dan investigasi kasus perampokan gaji guru? Jika mau lebih dipertegas lagi, bisa juga mengulangi adegan-adegan yang dimaksud sebagai sebuah rangkaian  flashback, misalnya. 

Sementara pertanyaan kedua sebenarnya masih bisa dijawab lewat beberapa adegan 'sempalan' dan montase yang menggambarkan interaksi antara Taat dan murid-muridnya. Namun lagi-lagi, porsi yang terlalu sedikit dibandingkan porsi interaksi antara Taat dan rekan-rekan sesama guru serta investigasi membuat saya sulit untuk benar-benar yakin akan turnover karakter Taat. Apalagi masih didistraksi oleh sub-plot hubungan asmara antara Taat dan Bu Rahayu yang membuat pilihannya menjadi guru sebagai 'panggilan hidup' makin bias.

Selain dari itu, ada cukup banyak 'sempalan-sempalan' adegan lain yang rupanya ingin menjejalkan begitu banyak isu yang sayangnya membuat arah film semakin 'ngaco' ketimbang solid ataupun 'kaya', seperti pilihan presentasi sejarah ganja oleh Ipang dan Saulina yang membuat saya mengernyitkan dahi.

Pada akhirnya, saya memilih untuk menganggapnya hanya sebagai sebuah hiburan aksi-komedi yang ditawarkan sebagai kemasan terdepannya. Meski aksi-komedi-nya masih berada di tengah-tengah antara serius (ditunjukkan lewat penggambaran sepak terjang sosok Pak Le yang kejam dan bengis) dan 'main-main' bak penculikan di Petualangan Sherina, membuatnya menjadi serba tanggung, masih bisa membuat film menjadi sajian yang cukup menghibur lewat berbagai sajian komponen komedinya, misalnya karakteristik Ibu Nirmala. Belum cukup bad-ass sebagai aksi, tapi juga masih jauh dari (potensi) 'gokil' sebagaimana tergambarkan lewat judul. Anda boleh menyebutnya komedi yang natural, tapi di banyak kesempatan jelas sekali upaya untuk menjadi komedi slapstick dan komikal. Sayang eksekusinya justru menjadikannya serba tanggung. Bagaimana pun pengarahan Sammaria masih cukup mampu men-deliver adegan-adegan aksi dan komedi menjadi cukup mengena walaupun belum ada juga yang menjadi luar biasa.

Pilihan Gading Marten sebagai sosok Pak Taat mungkin bisa dikatakan sesuai dengan karakteristik asli yang kita kenal selama ini. Meski naskah belum memberikan kegokilan yang 'sesuatu' (baca: maksimal) kepada karakternya, tapi Gading masih membawakannya dengan cukup layak. Setidaknya masih bisa menonjol sebagai karakter utama. Boris Bokir sebagai Pak Nelson Manulang juga menjalankan kualitas yang kurang lebih sama di balik penulisan karakterstik yang belum memaksimalkan potensinya. I mean, nama karakternya yang bak plesetan dari Nelson Mandela saja sebenarnya sudah terdengar gokil. Sayang jika karakterstiknya tidak segokil pilihan namanya.

Sementara yang tak diduga cukup mencuri perhatian saya adalah penampilan Faradina Mufti sebagai Bu Rahayu. Setelah saya tidak menyadari kehadirannya di Love for Sale maupun Perempuan Tanah Jahanam, akhirnya Faradina mendapatkan spotlight yang layak di sini. Sosok Bu Rahayu yang terkesan serius tapi diam-diam cukup 'bad-ass' sekaligus punya sisi gokil mampu dibawakan dengan keseimbangan yang meyakinkan. Raut wajahnya mengingatkan saya akan perpaduan Rachel Maryam dan Lulu Tobing dengan kegokilan tak terduga seperti Tika Bravani. Dian Sastrowardoyo juga mampu mencuri perhatian lewat sosok Bu Nirmala yang terasa memang sengaja dibuat komikal. Arswendi Nasution tampil dengan kharismatik yang tak berbeda jauh dari peran-peran yang pernah ia bawakan. Sementara Kevin Ardilova dan Ibnu Jamil seperti bakat yang tersia-siakan lewat porsi peran yang minim. Pun Asri Welas pun tak tampil semenggelitik biasanya.

Terakhir, Kiki Narendra yang (lagi-lagi, setelah di Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Gundala, Perempuan Tanah Jahanam, Imperfect, dan serial Tunnel) didapuk sebagai karakter bajingan, Pak Le terasa agak kebingungan menjaga keseimbangan antara kebengisan dan komikal. Bandingkan dengan penampilan Djaduk Ferianto sebagai Kertarejasa di Petualangan Sherina, misalnya. Alhasil ia lebih sering sekedar tampil bengis lewat aksinya saja, sementara raut dan gesturnya masih terkesan 'nanggung'. Ketika adegan mengharuskan karakternya tampil komikal pun masih sulit memberikan kesan yang manapun bagi penonton.

Selain ilustrasi musik Bembi Gusti-Tony Merle-Aghi Narottama yang selama ini menjadi langganan Joko Anwar dan hampir selalu menawarkan eksperimental yang unik sekaligus signatural tapi kali ini biasa saja selain sekedar cukup mengiringi penekanan rasa di beberapa adegan, pilihan lagu Uang dari Naif untuk membuka film adalah paling pas, terutama dari kata kunci 'uang' dan 'pulang'. Sementara lagu tema di kredit, Semua Murid Semua Guru yang dibawakan keroyokan oleh Indra Aziz, Almarhum Glenn Fredly, Endah n Rhesa, Vidi Aldiano, Andien, Tompi, dan Tulus serta sebenarnya sudah ada sejak tahun 2018 sebagai bagian dari kampanye gerakan berjejaring antar komunitas di bidang pendidikan, harus diakui sedikit banyak diinspirasi oleh That's Not My Name-nya The Ting Tings.

Dengan niatan untuk menjejalkan begitu banyak muatan yang sebenarnya penting dalam film, sayangnya Guru-Guru Gokil masih belum bisa merangkai kesemuanya menjadi satu kemasan yang solid, seimbang, dan saling relevan secara logis. Potensinya sebagai sajian hiburan aksi-komedi pun sebenarnya masih bisa jauh lebih 'gokil' dari apa yang tersaji di layar. Mungkin andai saja naskahnya di-godhog dengan lebih matang dan melibatkan konsultan-konsultan komedi yang lebih piawai di bidangnya, hasilnya bisa jauh lebih baik dan gokil lagi. Namun bagaimana pun setidaknya Guru-Guru Gokil masih mampu menjadi sajian hiburan yang mengobati kerinduan akan hadirnya film Indonesia baru setelah sekitar lima bulan absen sama sekali gara-gara pandemi COVID-19.

Guru-Guru Gokil bisa ditonton secara eksklusif di Netflix.

Lihat data film ini di IMDb.


Diberdayakan oleh Blogger.