3/5
Adventure
Based on TV show
Comedy
Drama
Family
generation gap
Indonesia
Mother-and-Daughter
motherhood
Parenting
Pop-Corn Movie
Road Trip
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Me vs Mami
Tema generation gap atau perseteruan antara orang tua dan anak
tentu bukan lagi materi baru di ranah perfilman, baik Hollywood maupun
Indonesia. Siapa sangka sebuah FTV bertema generation gap dengan tajuk Me vs Mami yang dibintangi Ranty
Purnamasari dan Sharena serta tayang di salah satu televisi swasta nasional
2011 lalu sukses mendapatkan rating yang tinggi. Maka sekuelnya, (Masih) Me vs Mami dan Me vs Mami 3 (dua-duanya produksi tahun
2012) pun menyusul. Tahun 2016 giliran FTV sukses ini diangkat ke layar lebar
oleh MNC Pictures dengan tim yang berbeda. Ody C. Harahap (Kawin Kontrak, Punk in Love,
dan Kapan Kawin?) ditunjuk sebagai
sutradara, sementara naskahnya dikerjakan oleh Vera Varidia yang pernah
menggarap naskah Surat Cinta untuk
Kartini (produksi MNC Pictures juga). Cut Mini yang tahun ini namanya
sedang ‘berkibar’ didapuk menjadi sang ibu, sementara Irish Bella yang selama
ini dikenal sebagai bintang sinetron memerankan sang putri. Sumatra Barat,
khususnya Padang hingga Payakumbuh, yang dijadikan sebagai latar cerita turut
menjadi daya tarik tersendiri.
Mira yang sudah duduk di bangku kuliah merasa jengah dengan
sang mami yang dianggap kelewat protektif. Maklum, sang mami, Maudy yang kini
berkarir sebagai chef-presenter acara memasak di TV, adalah single mother yang
membesarkan Mira sendiri setelah sang suami, Adam, pergi meninggalkan mereka
berdua ke luar negeri. Maudy menganggap Mira belum bisa melakukan segalanya
sendiri sehingga perlu selalu diatur. Perseteruan antara keduanya membuat Om
Hengky angkat tangan untuk mendamaikan mereka. Tiba-tiba saja Mira mendapatkan
telepon dari seseorang yang mengaku Uci (nenek dari Papi) mengatakan ingin
bertemu sang cicit sebelum ajal menjemput. Berangkatlah Mira dan Maudy ke
Payakumbuh untuk memenuhi permintaan Uci. Om Hengky pun berpendapat perjalanan
mereka berdua bisa merekatkan kembali hubungan keduanya. Ternyata sepanjang
perjalanan pun mereka berdua terus berseteru. Bahkan ketika Mira bertemu sosok
pria adventurous yang membuatnya jatuh hati, Rio, Maudy semakin protektif
terhadap pilihan-pilihan Mira. Di sisi lain Rio ternyata punya rahasia dan
‘misi’ tersendiri.
Belum lama ini saya sempat menonton sebuah film bertema
generation gap yang juga mengangkat hubungan antara single mom dan putrinya, All Roads Lead to Rome (ARLtR) yang
dibintangi Sarah Jessica Parker dan Rosie Day. Awalnya, Me vs Mami (MvM) banyak mengingatkan saya akan film tersebut,
bahkan beberapa adegan setup-nya terkesan identik. Bedanya jika ARLtR membuat
sosok sang ibu yang jatuh cinta lagi, maka MvM justru membuat sang putri jatuh
cinta. Menilik dari target audience utamanya yang memang remaja, pilihan ini
tentu tergolong efektif. Namun bukan berarti MvM menjadi sajian roman klise
biasa bak kebanyakan FTV semata. Fokusnya sebagai drama antara ibu-putri masih
terjaga dengan baik dan konsisten sejak awal hingga akhir film.
Bond antara Mira-Maudy dikembangkan lewat peristiwa demi
peristiwa yang memperuncing perbedaan (dan perseteruan) antara keduanya.
Sayangnya, meski kejadian-kejadian yang dialami tergolong relevan sebagai setup
menuju rekonsiliasi antara keduanya, tak bisa dipungkiri bahwa
kejadian-kejadian ini terkesan terlalu ‘dikondisikan’. Ya, in the end kita tahu
bahwa beberapa peristiwa yang mereka alami memang ‘dikondisikan’ dalam cerita, tapi
kejadian-kejadian utamanya tidak. Mereka tetap saja terjadi dengan kesan
terpaksa. Untung saja masih tergolong logis, sehingga setidaknya tak terkesan
dibuat-buat atau mengada-ada.
Kekuatan utama MvM jelas pada perseteruan Maudy-Mira yang
melahirkan kejadian-kejadian lucu a la chaotic comedy dan yang porsinya paling banyak;
celetukan-celetukan pengocok perut yang dilontarkan oleh sang mami, Maudy.
Berisik, most of the time. Namun karena kesemua dialognya terdengar dengan
jelas dan most of the time memang effectively funny, maka keberisikan ini masih
tolerable. Tak ketinggalan emotional moment yang diletakkan pada saat yang
tepat dan dengan porsi yang pas pula, menjadikan MvM drama komedi ibu-putri
yang masih berhasil mencapai goal-nya.
Tak sepenuhnya tersusun rapi atau penanganan directional drama yang
terlalu kuat, tapi masih dalam kategori lebih dari sekedar layak.
Twist ending yang coba dihadirkan sebenarnya masih saya akui
menarik dan nyaris tak tertebak. Sayangnya MvM menutup film dengan cara yang
tidak nyaman. Sekedar me-reveal twist-nya, then blackout. Bak sebuah ending
dari film arthouse yang asal nge-twist tanpa penjelasan lebih lanjut. Sorry to
say, meski twist-nya menarik, nyaris tak tertebak, namun masih relevan dengan
setup-setup yang sudah disusun, setelah
treatment pop dan mainstream yang terjalin cukup bagus, ending style yang
demikian terasa mismatch. Ya, mungkin memang direncakan punya sekuel seperti
versi FTV-nya. Namun sebenarnya bisa lah me-wrap up chapter kali ini dengan
membuat penonton merasa lebih lega.
Cut Mini sebagai Maudy jelas menjadi hightlight paling bold
dan bersinar sepanjang film, terutama lewat celetukan-celetukan yang mengundang
tawa dan transformasi karakter yang natural dan sama-sama kuat, dari mami yang
menyebalkan menjadi loving mom. Chemistry yang dibangunnya bersama Irish Bella
(Mira) pun terasa kuat dan konsisten sepanjang film. Irish Bella sendiri meski
tak terlalu istimewa dan masih terasa sedikit sinetron-ish, tapi setidaknya
sudah memberikan performa sesuai porsi dan kapasitas karakternya.
Dimas Aditya sebagai Rio lebih sering terlihat kebingungan dan
canggung ketimbang mysteriously charming. Sementara Mike Lucock, Pierre Gruno, dan
Gading Marten di lini pemeran pendukung cukup memberi warna pada film dengan
popularitas masing-masing.
Tak perlu meragukan ‘taste’ sinematografi seorang Padri
Nadeak. Dengan bekal setting keindahan dan eksotisme alam Sumatra Barat,
terutama Padang dan Payakumbuh, eksplorasi kameranya begitu memanjakan mata.
Pun juga efektif sebagai sebuah drama ibu-putri, romance, komedi, maupun
petualangan road trip. Editing Aline Yusria pun mendukung momentum-momentum
komedinya sekaligus menyeimbangkan momen-momen emosionalnya menjadi cukup
berhasil. Scoring bernuansa etnik Padang yang di-fusion dengan alat musik modern
menjadi salah satu elemen menarik dari MvM, serta tak boleh ketinggalan
soundtrack bernuansa folk yang dibawakan oleh Agatha Chelsea. Sedikit
mengingatkan saya akan warna musik Mocca (terutama Me & My Boyfriend), tapi tetap punya kesan manis untuk makin
mempercantik film.
MvM mungkin memang masih punya kelemahan minor, terutama
karena terlalu bertumpu pada ‘pengkondisian’ untuk menggerakkan plotnya. Tak
sampai pula menjadi sajian yang thought-provoking atau membuat kita segera
ingin memeluk ibu masing-masing setelah menontonnya. Namun sebagai sebuah
komedi ringan yang menghibur dan drama ibu-putri yang punya cukup value, MvM
masih layak disimak dan dinikmati. Apalagi performa Cut Mini dan chemistry yang
dibangunnya bersama Irish Bella yang memang menjadi salah satu daya tarik
terbesar. Nevertheless, menyaksikan dan menikmatinya bersama ibu tercinta tentu
akan terasa lebih menyenangkan.