The Jose Flash Review
Me vs Mami

Tema generation gap atau perseteruan antara orang tua dan anak tentu bukan lagi materi baru di ranah perfilman, baik Hollywood maupun Indonesia. Siapa sangka sebuah FTV bertema generation gap dengan tajuk Me vs Mami yang dibintangi Ranty Purnamasari dan Sharena serta tayang di salah satu televisi swasta nasional 2011 lalu sukses mendapatkan rating yang tinggi. Maka sekuelnya, (Masih) Me vs Mami dan Me vs Mami 3 (dua-duanya produksi tahun 2012) pun menyusul. Tahun 2016 giliran FTV sukses ini diangkat ke layar lebar oleh MNC Pictures dengan tim yang berbeda. Ody C. Harahap (Kawin Kontrak, Punk in Love, dan Kapan Kawin?) ditunjuk sebagai sutradara, sementara naskahnya dikerjakan oleh Vera Varidia yang pernah menggarap naskah Surat Cinta untuk Kartini (produksi MNC Pictures juga). Cut Mini yang tahun ini namanya sedang ‘berkibar’ didapuk menjadi sang ibu, sementara Irish Bella yang selama ini dikenal sebagai bintang sinetron memerankan sang putri. Sumatra Barat, khususnya Padang hingga Payakumbuh, yang dijadikan sebagai latar cerita turut menjadi daya tarik tersendiri.
Mira yang sudah duduk di bangku kuliah merasa jengah dengan sang mami yang dianggap kelewat protektif. Maklum, sang mami, Maudy yang kini berkarir sebagai chef-presenter acara memasak di TV, adalah single mother yang membesarkan Mira sendiri setelah sang suami, Adam, pergi meninggalkan mereka berdua ke luar negeri. Maudy menganggap Mira belum bisa melakukan segalanya sendiri sehingga perlu selalu diatur. Perseteruan antara keduanya membuat Om Hengky angkat tangan untuk mendamaikan mereka. Tiba-tiba saja Mira mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku Uci (nenek dari Papi) mengatakan ingin bertemu sang cicit sebelum ajal menjemput. Berangkatlah Mira dan Maudy ke Payakumbuh untuk memenuhi permintaan Uci. Om Hengky pun berpendapat perjalanan mereka berdua bisa merekatkan kembali hubungan keduanya. Ternyata sepanjang perjalanan pun mereka berdua terus berseteru. Bahkan ketika Mira bertemu sosok pria adventurous yang membuatnya jatuh hati, Rio, Maudy semakin protektif terhadap pilihan-pilihan Mira. Di sisi lain Rio ternyata punya rahasia dan ‘misi’ tersendiri.
Belum lama ini saya sempat menonton sebuah film bertema generation gap yang juga mengangkat hubungan antara single mom dan putrinya, All Roads Lead to Rome (ARLtR) yang dibintangi Sarah Jessica Parker dan Rosie Day. Awalnya, Me vs Mami (MvM) banyak mengingatkan saya akan film tersebut, bahkan beberapa adegan setup-nya terkesan identik. Bedanya jika ARLtR membuat sosok sang ibu yang jatuh cinta lagi, maka MvM justru membuat sang putri jatuh cinta. Menilik dari target audience utamanya yang memang remaja, pilihan ini tentu tergolong efektif. Namun bukan berarti MvM menjadi sajian roman klise biasa bak kebanyakan FTV semata. Fokusnya sebagai drama antara ibu-putri masih terjaga dengan baik dan konsisten sejak awal hingga akhir film.
Bond antara Mira-Maudy dikembangkan lewat peristiwa demi peristiwa yang memperuncing perbedaan (dan perseteruan) antara keduanya. Sayangnya, meski kejadian-kejadian yang dialami tergolong relevan sebagai setup menuju rekonsiliasi antara keduanya, tak bisa dipungkiri bahwa kejadian-kejadian ini terkesan terlalu ‘dikondisikan’. Ya, in the end kita tahu bahwa beberapa peristiwa yang mereka alami memang ‘dikondisikan’ dalam cerita, tapi kejadian-kejadian utamanya tidak. Mereka tetap saja terjadi dengan kesan terpaksa. Untung saja masih tergolong logis, sehingga setidaknya tak terkesan dibuat-buat atau mengada-ada.
Kekuatan utama MvM jelas pada perseteruan Maudy-Mira yang melahirkan kejadian-kejadian lucu a la chaotic comedy dan yang porsinya paling banyak; celetukan-celetukan pengocok perut yang dilontarkan oleh sang mami, Maudy. Berisik, most of the time. Namun karena kesemua dialognya terdengar dengan jelas dan most of the time memang effectively funny, maka keberisikan ini masih tolerable. Tak ketinggalan emotional moment yang diletakkan pada saat yang tepat dan dengan porsi yang pas pula, menjadikan MvM drama komedi ibu-putri yang masih berhasil mencapai goal-nya.  Tak sepenuhnya tersusun rapi atau penanganan directional drama yang terlalu kuat, tapi masih dalam kategori lebih dari sekedar layak.
Twist ending yang coba dihadirkan sebenarnya masih saya akui menarik dan nyaris tak tertebak. Sayangnya MvM menutup film dengan cara yang tidak nyaman. Sekedar me-reveal twist-nya, then blackout. Bak sebuah ending dari film arthouse yang asal nge-twist tanpa penjelasan lebih lanjut. Sorry to say, meski twist-nya menarik, nyaris tak tertebak, namun masih relevan dengan setup-setup yang sudah disusun,  setelah treatment pop dan mainstream yang terjalin cukup bagus, ending style yang demikian terasa mismatch. Ya, mungkin memang direncakan punya sekuel seperti versi FTV-nya. Namun sebenarnya bisa lah me-wrap up chapter kali ini dengan membuat penonton merasa lebih lega.
Cut Mini sebagai Maudy jelas menjadi hightlight paling bold dan bersinar sepanjang film, terutama lewat celetukan-celetukan yang mengundang tawa dan transformasi karakter yang natural dan sama-sama kuat, dari mami yang menyebalkan menjadi loving mom. Chemistry yang dibangunnya bersama Irish Bella (Mira) pun terasa kuat dan konsisten sepanjang film. Irish Bella sendiri meski tak terlalu istimewa dan masih terasa sedikit sinetron-ish, tapi setidaknya sudah memberikan performa sesuai porsi dan kapasitas karakternya.
Dimas Aditya sebagai Rio lebih sering terlihat kebingungan dan canggung ketimbang mysteriously charming. Sementara Mike Lucock, Pierre Gruno, dan Gading Marten di lini pemeran pendukung cukup memberi warna pada film dengan popularitas masing-masing.
Tak perlu meragukan ‘taste’ sinematografi seorang Padri Nadeak. Dengan bekal setting keindahan dan eksotisme alam Sumatra Barat, terutama Padang dan Payakumbuh, eksplorasi kameranya begitu memanjakan mata. Pun juga efektif sebagai sebuah drama ibu-putri, romance, komedi, maupun petualangan road trip. Editing Aline Yusria pun mendukung momentum-momentum komedinya sekaligus menyeimbangkan momen-momen emosionalnya menjadi cukup berhasil. Scoring bernuansa etnik Padang yang di-fusion dengan alat musik modern menjadi salah satu elemen menarik dari MvM, serta tak boleh ketinggalan soundtrack bernuansa folk yang dibawakan oleh Agatha Chelsea. Sedikit mengingatkan saya akan warna musik Mocca (terutama Me & My Boyfriend), tapi tetap punya kesan manis untuk makin mempercantik film.
MvM mungkin memang masih punya kelemahan minor, terutama karena terlalu bertumpu pada ‘pengkondisian’ untuk menggerakkan plotnya. Tak sampai pula menjadi sajian yang thought-provoking atau membuat kita segera ingin memeluk ibu masing-masing setelah menontonnya. Namun sebagai sebuah komedi ringan yang menghibur dan drama ibu-putri yang punya cukup value, MvM masih layak disimak dan dinikmati. Apalagi performa Cut Mini dan chemistry yang dibangunnya bersama Irish Bella yang memang menjadi salah satu daya tarik terbesar. Nevertheless, menyaksikan dan menikmatinya bersama ibu tercinta tentu akan terasa lebih menyenangkan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id. 
Diberdayakan oleh Blogger.