2.5/5
3D
Action
Adventure
Based on Book
Drama
Hollywood
IMAX
Pop-Corn Movie
Psychological
religious
Remake
Revenge
Socio-cultural
Spiritual
The Jose Flash Review
Twisted History
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ben-Hur (2016)
Tak banyak cerita fiksi yang
berani mengambil latar kisah Injil, terutama melibatkan Yesus Kristus. Salah
satu yang paling berpengaruh dan bahkan menjadi karya fiksi pertama yang
mendapatkan restu dari Paus (yaitu Paus Leo XIII) adalah novel Ben Hur: A Tale of the Christ karya Lew
Wallace yang dipublikasikan pertama kali tahun 1880. Dari novel tersebut
lahirlah versi bisi berjudul Ben-Hur: A
Tale of the Christ (1925) dan puncaknya, Ben-Hur (1959) yang diproduksi secara epik oleh MGM, mencetak box
office gila-gilaan pada masanya, serta tentu saja memenangkan 11 Oscar dari 12
nominasi yang mana merupakan rekor perolehan piala Oscar terbanyak sebelum
akhirnya disamai oleh Titanic di
Academy Awards 1998. Semenjak itu kisah Ben-Hur tergolong jarang diangkat lagi.
Terhitung hanya sebuah film animasi (yang rilis direct-to-video), Ben Hur (2003) yang menarik perhatian
karena penampilan Charlton Heston dari versi 1959 sebagai voice cast Ben Hur.
Sisanya ‘hanya’ ada mini-seri tahun 2010 dan sebuah mockbuster In the Name of Ben Hur (2016) yang
dirilis untuk mendompleng popularitas Ben-Hur
versi 2016 garapan Timur Bekmambetov ini. Timur bagi saya termasuk sutradara
yang ‘menarik’. Sutradara asal Rusia yang mulai dikenal secara internasional
lewat Nochnoy Dozor (2004),
sekuelnya, Dnevnoy Dozor (2006) ini
tergolong cukup piawai dalam menggarap tema-tema aksi fantasi seperti Wanted (2008) dan Abraham Lincoln: Vampire Hunter (2012). Didukung naskah yang
diadaptasi oleh Keith R. Clarke (The Way
Back) dan John Ridley (12 Years a
Slave), serta Morgan Freeman sebagai salah satu cast, Ben-Hur versi 2016 mencoba untuk me-‘modern’-kan kisah klasik Ben
Hur untuk penonton generasi milenial.
Judah Ben-Hur berasal dari keluarga bangsawan yang tinggal di Yerusalem pada masa pemerintahan Romawi. Kendati terpandang, keluarganya tak segan mengangkat seorang bangsa Romawi, Messala menjadi salah satu saudara. Namun Messala masih merasa kurang puas dengan perlakuan keluarga angkatnya selama ini, apalagi ia jatuh cinta pada Tirzah, adik perempuan Ben-Hur. Messala memutuskan untuk bergabung dengan tentara Romawi yang sedang berperang di Jerman. Sekembalinya ke Yerusalem, Messala sudah berpangkat tinggi. Dilema moral mulai dirasakannya ketika ia harus menangkap pemberontak Zelot yang diduga dibantu oleh keluarga Ben-Hur. Bahkan Messala harus menyalibkan keluarga angkatnya dan menjadikan Ben-Hur budak kapal perang.
Petualangan naas menghampiri
Ben-Hur yang untungnya masih bisa bertahan hidup ketika kapal perangnya hancur
diserang musuh. Ia ditolong oleh seorang saudagar Afrika, Sheik Ilderim yang
sedang mempersiapkan kuda-kuda untuk pertandingan kereta kuda oleh kaisar
Romawi. Mendengar masa lalunya, Ilderim memotivasi Ben-Hur untuk membalas
dendam kepada Messala dan kaum Romawi dengan cara yang lebih terhormat, yaitu
lewat pertandingan kereta kuda. Tekad Ben-Hur semakin kuat, tapi perjumpaannya
dengan Yesus Kristus di beberapa kesempatan membuatnya bimbang. Dendam atau
pengampunan.
Tak mudah memang menerjemahkan
materi cerita yang tergolong banyak dan panjang ke dalam medium film yang lebih
terbatas. Jika Ben-Hur versi 1959
butuh 3 jam 32 menit untuk merangkumnya, Timur bersama timnya mencoba
meringkasnya menjadi ‘hanya’ 2 jam 5 menit saja (versi asli, pemotongan
terutama yang berkaitan dengan Yesus dilakukan di beberapa negara menjadi 114
menit). Sayang yang mereka lakukan bukannya menjadikan cerita Ben-Hur lebih sederhana dan enak
diikuti, justru menciderai feel secara keseluruhan. Laju film menjadi terasa
terlalu cepat, dengan dramatisasi bak film TV. Akibatnya penonton tak punya
cukup waktu untuk memahami, apalagi merasakan emosi, tiap bagian cerita. Tentu
simpati untuk karakter utama, Judah Ben-Hur, sekalipun tak sedikit pun
tercapai. Elemen ‘pengampunan’ yang diniatkan untuk lebih kuat ketimbang elemen
‘balas dendam’ di versi 1959 nyatanya justru terasa hanya menjadi sempalan yang
tidak menyatu dengan keseluruhan cerita. Apalagi peletakannya di pasca-klimaks
yang membuat penonton tak lagi peduli. Begitu juga elemen Yesus Kristus yang seharusnya
menjadi jembatan proses elemen ‘pengampunan’ justru terkesan dipaksakan ada.
Memang tak semua elemen di Ben-Hur versi 2016 yang gagal. Satu hal
yang patut dicatat adalah adegan pertandingan kereta kuda yang menjadi adegan
paling penting dari Ben-Hur versi
manapun. Di versi 2016 ini, Timur dan timnya berhasil menyuguhkan adegan
pertandingan kereta kuda yang spektakuler dan mendebarkan. Memang masih dengan
pace ‘terlalu cepat’ yang mungkin tak membuatnya jadi memorable untuk jangka
waktu lama, tapi setidaknya sebagai instant show, it’s entertaining and
grandeur. Bagi saya, kurang lebih masih selevel dengan adegan podrace di Star Wars – Episode I: The Phantom Menace
(1999).
Treatment yang serba cepat dan
dramatisasi berlebihan bak FTV membuat aktor-aktris Ben-Hur versi 2016 gagal untuk benar-benar bersinar. Tak terkecuali
Jack Huston sebagai Judah Ben-Hur yang punya porsi paling mendominasi. Ada
banyak kesempatan dimana ia terlihat berusaha untuk menghidupkan perannya dan
mengundang simpati penonton. Sayangnya, sebelum penonton benar-benar bisa
merasakannya, adegan sudah beralih. Apalagi ternyata kharisma Huston sendiri
masih belum cukup kuat untuk memerankan Judah Ben-Hur. Toby Kebbell sebagai
Messala justru lebih bisa mencuri perhatian berkat karakter antagonis yang
lebih terasa ‘hidup’ meski tak sampai menjadi performa yang kuat ataupun
memorable. Nazanin Boniadi sebagai Esther, Ayelet Zurer sebagai Naomi Ben-Hur,
dan Sofia Black-D’Elia sebagai Tirzah Ben-Hur, berada pada porsi serta kekuatan
performa yang setara, mostly karena pesona fisik yang memang tak perlu
diragukan lagi. Morgan Freeman sebagai Ilderim lebih berfungsi sebagai daya
tarik famous cast saja ketimbang kebutuhan cerita. Terakhir, Rodrigo Santoro
sebagai Yesus sebenarnya secara fisik cukup representatif. Sayangnya secara
kharisma atau juga mungkin karena porsi yang tidak terlalu berpihak,
performanya menjadi sekedar lalu semata.
Dari segi teknis, sebenarnya Ben-Hur versi 2016 tergolong serba
mumpuni. Mulai sinematografi Oliver Wood yang mampu mem-framing set serba megahnya,
sesekali dengan angle-angle ekstrim yang mempertajam efek gambar, editing Dody
Dorn-Richard Francis Bruce-Bob Murawski yang berhasil merangkai adegan secara
mulus dengan berbagai teknik, termasuk J-cut (audio dari adegan terdengar
sebelum visual dimulai) dan match cut (mencocokkan dua adegan yang berbeda
lewat objek yang terkesan nyambung) yang paling sering digunakan. Tentu ini
terlepas dari pace cerita yang sudah terasa sudah dikonsep sejak awal. So ini
bukan semata-mata kesalahan editing. Desain produksi tak perlu diragukan lagi,
meski saya agak terganggu dengan costume design Varvara Avdyushko yang terkesan
terlalu modern (baca: potongan dan jahitan terlalu rapi) untuk eranya.
Scoring Marco Beltrami memang
terdengar megah meski terkesan dramatisasi berlebihan di banyak kesempatan.
Cukup signatural pula. Sayang tak mampu menjadi memorable dalam ingatan untuk
jangka waktu lebih lama. Terakhir, tata suara tergarap mantap, apalagi di
teater IMAX yang membuat adegan kapal perang dan pertandingan kereta kuda
menjadi begitu nyata dan hidup bak penonton benar-benar berada di tengah-tengah
medan. Sementara untuk format 3D, Ben-Hur
2016 tergolong flat dan gagal mengeksekusi banyak potensi gimmick pop-out menjadi maksimal.
Ben-Hur versi 2016 tentu bukan tandingan versi 1959, terutama dari
segi kedalaman karakter yang seharusnya membuat penonton memahami dan
bersimpati pada perkembangannya. Treatment penceritaan yang dibuat serba
(terlalu) dinamis dan cepat menjadi faktor yang paling berpengaruh. Namun
sekedar sebagai instant-entertainment, ia masih layak untuk dialami dengan
fasilitas tata suara dan layar yang mumpuni.
Lihat data film ini di IMDb.