4/5
Based on Book
Blockbuster
Box Office
British
Comedy
Drama
England
Europe
Franchise
Hollywood
maternity
mature relationship
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
sequel
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bridget Jones's Baby
Thirty-something single career woman. Mungkin tema yang memang menjadi
problema personal kebanyakan wanita (bahkan mungkin juga pria?) modern hingga
sekarang inilah yang membuat novel chicklit Bridget
Jones’s Diary (BJD) karya Helen Fielding yang dipublikasikan pertama kali
tahun 1995 menjadi sebuah hit, bahkan fenomena internasional. Hingga 2006
bukunya sudah terjual lebih dari dua juta kopi di seluruh dunia. Diikuti
sekuelnya, Bridget Jones: The Edge of
Reason (EoR - 1999) dan Bridget
Jones: Mad About the Boy (2013). Buku yang awalnya adalah sebuah kolom
artikel di The Independent, dilanjutkan di The Daily Telegraph selama total
hampir tiga tahun ini akhirnya diadaptasi ke layar lebar oleh Working Title
Films (2001) dengan Renée Zellweger, Colin Firth, dan Hugh Grant sebagai
bintang utama. Sukses membukukan US$ 281.9 juta di seluruh dunia. Buku kedua
pun melanjutkan sukses film pertamanya (2004) meski tak sebesar yang pertama
dengan penghasilan total US$ 262.5 juta.
Dua belas tahun kemudian, Bridget Jones kembali menyapa
penggemarnya di layar lebar lewat Bridget
Jones’s Baby (BJB). Bukannya mengadaptasi novel ketiga, BJB merupakan
naskah asli yang awalnya disusun Fielding dan Nicholls dengan mengambil setting
tepat sebelum novel ketiganya. Hampir keseluruhan cast asli (kecuali Hugh Grant
yang konon tidak tertarik dengan naskahnya) kembali, termasuk sutradara
installment pertamanya, Sharon Maguire dengan naskah yang ditulis oleh Fielding
sendiri, dibantu Dan Mazer (Ali G
Indahouse, Borat, dan Brüno) dan Emma Thompson, setelah
sebelumnya sempat disusun pula oleh Paul Feig dan David Nicholls. Aktor roman
Patrick Dempsey kemudian menyusul bergabung dalam jajaran cast. Berkat
kerinduan yang cukup mendalam terhadap karakter Bridget Jones dan semua di
universe-nya, ditambah jajaran nama pendukung, tentu BJB adalah salah satu
installment yang layak dinantikan.
Di usia yang sudah 43, Bridget menjalani hidup dengan lebih
santai meski masih single. Ia juga menjalani profesinya sebagai produser acara
TV dengan bahagia. Bahkan menjalin persahabatan dengan host acara yang ia
produseri, Miranda. Masalah berat badan mungkin sudah bisa ia atasi dengan luar
biasa, tapi urusan asmara tak mudah. Sang ibu yang sedang sibuk berkampanye
menjadi ketua perkumpulan gereja, kembali merecoki urusan asmara Bridget.
Kebetulan, Bridget bertemu dengan sesosok pria charming misterius di sebuah festival musik dan melakukan one night
stand. Tanpa ekspektasi apa-apa, Bridget meninggalkan pria itu begitu saja di
pagi hari. Tak berselang lama, Bridget kembali bertemu Mark Darcy di sebuah
acara pembaptisan anak seorang sahabat. Uniknya, Bridget dan Mark didaulat
sebagai orang tua baptis si anak. Curhat Mark tentang rencana perceraian dengan
istrinya berlanjut ke ranjang.
Bridget kaget setengah mati ketika mendapati dirinya hamil
beberapa minggu kemudian. Menurut hitungan, Mark dan si pria misterius (yang
ternyata adalah Jack Qwant, seorang miliarder penemu situs kencan yang
menggunakan algoritma untuk mencocokkan pasangan) punya probabilitas yang sama
untuk menjadi ayah dari anak yang dikandungnya. Tak hanya bingung bagaimana
harus menyampaikan kepada keduanya, Bridget juga harus menimbang-nimbang dengan
bijaksana, yang mana yang lebih layak untuk dijadikan pasangan tetap ketimbang
sekedar siapa ayah biologis anaknya. Masa-masa sulit kembali harus dihadapi
Bridget. Ditambah lagi kehadiran orang baru yang berniat me-rebrand TV dengan
pendekatan modern (baca: milenial), membuat posisi Bridget di tempat kerjanya
semakin tersudut.
Sebagai sebuah surat cinta dan obat kangen, BJB adalah film
yang begitu memuaskan. Semua karakteristik dan aura yang begitu dicintai jutaan
penggemar sejak installment pertamanya kembali dihadirkan dengan kualitas yang
tetap terjaga. Jika BJD adalah sebuah introduksi yang bagus pada masanya (masih
relevan sih untuk masa sekarang, hanya mungkin sudah tak terasa seistimewa
ketika pada masanya), EoR adalah pengulangan (atau perpanjangan) plot dengan
kadar humor yang dilipat-gandakan, maka BJB adalah gabungan dari keduanya.
Masih dengan tema ‘old single’, BJB punya update sesuai perubahan pandangan
seiring dengan berkembangnya jaman. Sedikit mengingatkan akan tema Sex and the City, hanya saja dengan
fokus yang tak melulu seksual. Untuk urusan dengan plot utama, adalah hal yang
bijak untuk memilih ke arah pasangan yang lebih layak untuk dijadikan
pendamping hidup ketimbang sekedar siapa ayah biologisnya. Tema yang mungkin
kontroversial di budaya Timur, tapi kalau mau dipikir-pikir jauh lebih bijak
dan realistis. Tentu sebagai sebuah romantic comedy, BJB menghadirkan charm
yang sama seperti film-film bergenre sejenis khas Inggris produksi Working
Title-StudioCanal.
BJB pun tak luput menyelipkan kritik (atau nyinyiran) sosial
di sana-sini. Mulai soal tuntutan atas hak wanita sampai millenial vs previous
generations yang disampaikan dengan porsi pas. Tak sekedar numpang lewat tapi
juga tak sampai mendominasi sampai mengalahkan fokus plot utama. Bahkan ada
momen-momen di mana selipan kritik ini ditampilkan dengan begitu powerful
hingga saya nyaris memberikan applause. Tak lupa, humor yang disebar merata di
sana-sini yang secara kuantitas maupun kualitas di atas BJD maupun EoR. Hampir
kesemuanya berhasil menggelitik syaraf tawa saya, terutama humor khas sejak
installment pertamanya; salah tingkah, kebohongan yang berbuntut malu,
situasional, celetukan-celetukan ‘nakal’, hingga slapstick.
Renée Zellweger melanjutkan peran Bridget Jones dengan smooth
dan seamlessly, sekaligus menandai kembalinya berakting setelah vacuum selama
kurang lebih 6 tahun. Tampilannya yang kini langsing mungkin agak ‘aneh’ bagi
yang sudah terbiasa lekat dengan image Bridget Jones yang chubby. Namun
karakter Bridget Jones seperti yang sebelumnya masih dihadirkan secara utuh
oleh Zellweger, terutama that ‘strange charm’. Colin Firth sebagai Mark Darcy
juga masih mempertahankan karakternya dengan utuh. Canggung, agak dingin, tapi
in the same time, menampilkan tingkah yang menggelitik. Pun juga chemistry yang
semakin kental dibangunnya bersama Zellweger. Patrick Dempsey sebagai Jack pun
mampu masuk ke dalam universe Bridget Jones dengan mulus dan menarik perhatian.
Justru karakternya ditampilkan lebih simpatik dan loveable ketimbang Daniel
Cleaver (Hugh Grant) sehingga membuat penonton semakin dilematis dan bingung
untuk memberikan dukungan. Pun Dempsey bisa juga membawakan joke dengan luwes.
Di deretan pemeran pendukung, Sarah Solemani sebagai Miranda
mampu menjadi sosok sahabat yang tak kalah menggelitik. Disusul Gemma Jones dan
Jim Broadbent sebagai kedua orang tua Bridget yang masih se-loveable
sebelum-sebelumnya, terutama Gemma yang porsinya lebih banyak dan punya
perkembangan karakter lebih.Terakhir, tentu susah untuk tak memasukkan cameo Ed
Sheeran yang dimasukkan secara menggelitik pula.
Sinematografi Andrew Dunn melanjutkan kesuksesan penyampaian
storytelling yang sudah dicapai oleh Stuart Dryburgh maupun Adrian Biddle.
Malahan dengan efektivitas yang melebihi sebelumnya. Editing Melanie Ann Oliver
yang membuat tiap detiknya berjalan lancar dengan pace seimbang dan
comedic-timing yang pas, membuat BJB sajian yang mengalir santai tapi tak
terkesan draggy sama sekali di balik durasinya yang mencapai 123 menit (ini
merupakan durasi terpanjang dari keseluruhan installment Bridget Jones). Pujian juga patut diberikan kepada scoring Craig
Armstrong yang berhasil mengembalikan nuansa romantis yang pernah menghanyutkan
kita dalam manisnya romansa a la romcom Inggris produksi Working Title-Studio
Canal, terutama era 90 hingga awal 2000-an. Pemilihan soundtrack-soundtrack
populer mulai yang ‘wajib’ ada seperti All
by Myself dari Jamie O’Neal, yang era 90’an banget seperti Jump Around dari House of Pain, romance
generic macam Let’s Get It On dari
Marvin Gaye dan Up Where We Belong dari
Joe Cocker dan Jennifer Warnes, hingga yang kekinian seperti Sing dan Thinking Out Loud dari Ed Sheeran, Stay dari Rihanna dan Mikky Ekko, Hold My Hand dari Jess Glynne, dan King (The Magician Remix) dari Years & Years. Tak lupa Fuck You dari Lily Allen yang
ditampilkan pada momen yang sangat pas. Juara!
Dengan perpaduan dan keseimbangan antara bobot cerita,
pengembangan plot yang amat-sangat baik, jokes yang mostly berhasil,
penyutradaraan yang makin matang, dan performa akting yang rata-rata mampu
melanjutkan peran dengan mulus, ditambah pembuka serta penutup salah satu
karakter penting dari universe Bridget Jones yang ditampilkan secara cerdas,
BJB adalah sebuah paket obat kangen yang ultimate, esensial, dan menyenangkan.
Pantang untuk dilewatkan oleh penonton dewasa, worked even better for the
thirties something or soon-to-be-forties.