3.5/5
Comedy
coming of age
Drama
Friendship
Indonesia
Musical
Pop-Corn Movie
Psychological
Rivalry
Romance
Socio-cultural
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ada Cinta di SMA
Tidak bisa dipungkiri bahwa angka
moviegoers tertinggi adalah berasal dari kalangan usia remaja. Maka tak heran
film remaja termasuk yang paling banyak diproduksi. Sayangnya anggapan ini
sering membuat produser dan/atau PH lebih sering memilih cara instan. Hanya
memanfaatkan sosok atau materi yang sedang populer, tanpa memperhatikan
perkembangan plot yang baik, selesai. Nevertheless, tiap generasi tentu punya
satu atau dua judul film remaja yang mewakili sebagai ikon generasi. Jika
generasi Y lalu punya Ada Apa dengan
Cinta? (2001) dan Catatan Terakhir
Sekolah (2004), maka generasi milenial atau generasi Z alias saat ini
menjadi PR bagi sineas dan PH. Tak perlu premise yang muluk-muluk.
Plot remaja klasik dengan sentuhan serta bumbu-bumbu problematika sesuai
perkembangan jaman sudah lebih dari cukup. Tinggal bagaimana mengolahnya
menjadi sajian bermutu, tapi bisa dengan mudah dinikmati target audience utamanya,
sekaligus membuat generasi sebelumnya (terutama yang merasa punya masa remaja
menyenangkan) bisa ikut merasakan keceriaan sambil mengenang masa muda.
Adalah Chand Parwez Servia dari
Starvision Plus yang sempat menggagas sebuah film remaja yang diharapkan jadi
ikon generasi, tentu dengan penggarapan yang serius di berbagai lininya sejak
2011 lalu. Salman Aristo ditunjuk untuk menuliskan naskah yang awalnya berjudul
Putri dan Pangeran (kemudian diubah
menjadi Prince vs Princess) dengan Sherina Munaf sebagai bintang
utama. Kesibukan Sherina membuat proyek ini akhirnya ditunda sampai waktu yang
tidak ditentukan. Hingga akhirnya Parwez melihat sosok dan momen yang tepat
ketika boyband vokal cilik CJR (sebelumnya Coboy Junior) mulai beranjak remaja.
Proyek pun dilanjutkan dengan menunjuk Haqi Achmad yang sudah berpengalaman
menulis naskah film remaja seperti Radio
Galau FM, Refrain, Kata Hati, Remember When, dan This is
Cinta, bersama Patrick Effendy yang tak lain dan tak bukan founder CJR
sekaligus sutradara film layar lebar kedua CJR, CJR The Movie: Lawan Rasa Takutmu (2015) lalu, untuk melalukan
update sekaligus penyesuaian dengan dunia remaja saat ini. CJR sendiri patut
bersyukur karena selalu dibuatkan film dengan penggarapan yang layak, jauh
melampaui boyband-girlband lain. Menggunakan judul Ada Cinta di SMA (ACdS) yang terkesan lebih umum sekaligus merujuk
pada film remaja populer era 70-an, Gita
Cinta di SMA, film ini sekaligus menandai perpisahan sementara karena
kepergian salah satu personelnya, Iqbal untuk melanjutkan studi di Amerika
Serikat. Dengan demikian, ACdS punya sosok dan momen yang serba pas untuk menjadi
film remaja generasi Z ikonik.
Cerita ACdS dibuka ketika musim
pergantian ketua OSIS. Ayla adalah siswa yang paling antusias menyambut. Segala
persiapan sudah dilakukan, termasuk menyusun program-program selama setahun ke
depan. Ambisinya tinggi karena ia mentarget beasiswa di perguruan tinggi
bergengsi. Sayang prestasinya menjadi terasa kurang berarti karena sang ibu
yang single mother dan wanita karir sibuk, lebih sering abai terhadap
keadaannya. “Musuh” terbesar Ayla adalah Iqbal, sosok siswa yang terkesan
slengean dan sering usil terhadap siapa saja. Terdorong oleh dendam terhadap
Ayla sekaligus pembuktian diri karena selama ini dianggap ‘nobody’ dalam
keluarganya, Iqbal nekad ikut mencalonkan diri sebagai ketua OSIS yang baru.
Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, termasuk Kiki, ketua OSIS lama yang
melihat potensi luar biasa dari sosok Iqbal. Aldi yang merupakan teman band
Iqbal semakin meyakinkan Iqbal untuk berani mencalonkan diri agar Kiki yang
dianggap punya suara bagus mau bergabung di dalam band-nya. ‘Perang’ antara
Iqbal dan Ayla pun dimulai hingga satu titik karena kekurangan dan kelebihan
masing-masing, mereka berdua justru saling mengisi sampai jatuh cinta.
Sementara itu Kiki yang semakin memantapkan diri untuk menjadi musisi
mendapatkan pertentangan keras dari sang ayah yang mantan musisi tapi sekarang
merasa hidup susah. Untung ada tetangga yang sering memperhatikannya latihan,
Bella, terus memberikan dukungan agar Kiki mengejar passion-nya sebagai musisi.
Tibalah saat puncak pemilihan,
Ayla dirundung masalah keluarga yang mengancam kemungkinannya terpilih.
Diperparah siasat licik Aldi untuk memenangkan Iqbal yang membuat permusuhan
antara Ayla dan Iqbal kembali meruncing.
Memasang tema persaingan jadi
cinta lewat pemilihan ketua OSIS sebagai plot utama bisa jadi merupakan pilihan
yang paling tepat, karena selain sifatnya timeless, tapi juga relatable dengan
kehidupan remaja sehari-hari dan punya hubungan sebab-akibat yang masuk akal.
Mungkin terdengar cliché bagi beberapa orang, tapi itu sebenarnya tak jadi
masalah karena yang terpenting bagaimana mengembangkannya sehingga menjadi
sesuatu yang tetap menarik diikuti. Naskah berhasil menyusun konflik klasik ini
menjadi menarik di ACdS. Pun juga sub-plot mengejar passion yang tidak
disetujui orang tua karena trauma, perjalanan pasang-surut hubungan sebuah
band, dan mom-daughter relationship dimana a single mom yang terlalu sibuk
dengan karir sehingga sering acuh terhadap perkembangan anak. Kesemuanya memang
elemen yang cliché di drama remaja Indonesia dan mungkin tak dikembangkan
secara benar-benar seimbang dengan plot utama. Namun sub-plot-sub-plot ini bisa
punya korelasi yang masuk akal dan membumbui plot utama menjadi lebih menarik
sekaligus relevan dengan dinamika kehidupan remaja secara keseluruhan. Kesemuanya
digelar secara santai, tidak terkesan terburu-buru, tapi tetap terasa ada
kedinamisan di beberapa part yang memang dibutuhkan. Naik-turun antara
kedinamisan gejolak remaja dengan momen-momen emosional-nya mungkin seringkali
terjadi silih berganti, tapi untungnya transisinya tetap terasa smooth berkat
editing yang lebih berpihak pada feel ketimbang durasi.
Yang tak kalah menariknya adalah
elemen musikal yang ternyata tertata dengan tak kalah baiknya. Selain
menghadirkan lagu-lagu berirama simple dan ear-catchy, sing-along-able,
penanganan performance-nya juga tervisualisasikan dengan rapi serta cukup sinematis.
Ada beberapa gerak bibir yang agak mis-match dengan suara yang terdengar,
khususnya pada pengucapan suku kata yang butuh emosi lebih atau dipanjangkan,
tapi tak sampai mengganggu kesan musikal secara keseluruhan. Jumlah lagu dan
peletakan momen musikal juga tergolong tepat. Alih-alih terkesan dragging, tiap
performance musikal-nya justru memperhanyut emosi yang ingin dihadirkan oleh
adegan, tanpa kesan eksploitasi dramatisasi berlebihan.
Selain naskah dan nomor-nomor
musikal yang tertata baik, ACdS juga punya kekuatan yang luar biasa besarnya di
pemilihan cast. Malah saya setuju ketika banyak yang berpendapat ACdS
menghadirkan cast dengan calon potensial besar nan kuat untuk menjadi
aktor-aktris berkualitas di masa depan. Trio CJR; Iqbaal Dhiafafakhri Ramadhan,
Alvaro Maldini, dan Teuku Ryzki, yang memang punya pengalaman cukup di akting,
terlihat semakin luwes dan matang. Debut Caitlin Halderman sebagai Ayla
menampilkan keseimbangan yang pas antara bitchy mean girl, smart, dan sisi-sisi
emosional. Daya tarik kharismanya cukup terasa kuat. Kemudian Agatha Chelsea
sebagai Bella yang meski lebih banyak diam dan observatif, tapi menampilkan
gesture yang jelas. Sosok diam ini justru memberikan kesan misterius sekaligus
keanggunan yang bikin penasaran. Gege Elisa sebagai Tara dan Cassandra Lee
sebagai Sandra mendukung dengan performa yang tak kalah mempesona. Di deretan
pendukung lainnya, seperti Tora Sudiro, Cut Keke, Ikang Fawzi, Wulan Guritno,
Reza Nangin, Auxilia Paramitha, Ibob Tarigan, dan Epy Kusnandar, sama-sama
berhasil mencuri perhatian di balik porsinya yang tak banyak karena faktor
penulisan karakter yang punya keunikan tersendiri serta mampu ditampilkan
secara noticeable pula di layar. Tak ketinggalan kehadiran lusinan cameo yang
juga punya momen-momen noticeable, seperti Mongol Stres, Mongon Stres, Fico
Fachriza, Babe Cabiita, Awwe, Jui Puwoto, Difa Ryansyah (Idola Cilik 4), Kevin
Anggara, sampai Anggy Umbara dan Patrick Effendy sendiri.
Di teknis pun, ACdS terasa tak
kalah memberikan perhatian. Sinematografi Dicky R Maland membuat tiap adegan
punya efek dramatis yang pas dan tepat, pun juga ada kesan sinematis yang cukup
terutama untuk nomor-nomor musikal dengan koreografi Arianti yang sederhana
tapi tertata rapi sehingga tetap terlihat cantik dan memorable. Editing Aline
Jusria menyuntikkan energi yang cukup dan konsisten tanpa mengabaikan
momen-momen emosional dengan pace yang sesuai. Agak ‘canggung’ di awal (mungkin
juga faktor penyutradaraan yang membuat pace terasa agak kebingungan melangkah),
tapi makin lama makin membaik, sesuai porsi dan tujuan. Musik dari Andhika
Triyadi mampu memperkuat tiap nuansa yang dihadirkan tanpa kesan dramatisasi
berlebihan.
I have to admit, ACdS adalah
sebuah kejutan manis. Saya yang awalnya skeptis memandangnya hanya sebagai ‘just
another teenage movie’, berhasil dibuat hanyut dalam enerji jiwa muda yang
dihadirkan. Plot yang ditata rapi kendati cliché, performance musikal dengan
lagu-lagu sing-along-able dan earcatchy, penampilan aktor-aktris muda yang luar
biasa segar, ACdS adalah sajian film remaja yang menyenangkan. Ada energi ceria
yang dibangkitkan setelah film berakhir. Bagi penonton remaja, ia menjadi
sajian yang ringan menghibur tapi tetap punya value-value yang relevan dan
relatable dengan kehidupan sehari-hari, serta tak ada kesan menye-menye maupun dumb.
Bagi penonton dewasa, seolah diajak mengenang masa SMA yang menyenangkan,
apalagi Anda tergolong aktif di OSIS atau organisasi lain (kecuali jika Anda berusaha melupakan masa remaja karena tergolong socially misfit, wajar jika Anda akan menganggapnya too cheesy. Lebih baik coba film-film remaja tentang kaum nerd
atau geek yang depresif, mungkin lebih cocok). Mungkin terkesan terlalu ‘SMP’
untuk usia SMA, tapi jika Anda berusaha mengenali anak-anak SMA sekarang, maka
seperti itulah adanya yang akan ditemukan. Sebagai sebuah ikon generasi Z, so
far ACdS jelas sangat memenuhi syarat. Bagi fans CJR, ini adalah kado
perpisahan sementara yang indah dan bakal tetap menyenangkan ditonton
berulang-ulang.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.