The Jose Flash Review
Ada Cinta di SMA

Tidak bisa dipungkiri bahwa angka moviegoers tertinggi adalah berasal dari kalangan usia remaja. Maka tak heran film remaja termasuk yang paling banyak diproduksi. Sayangnya anggapan ini sering membuat produser dan/atau PH lebih sering memilih cara instan. Hanya memanfaatkan sosok atau materi yang sedang populer, tanpa memperhatikan perkembangan plot yang baik, selesai. Nevertheless, tiap generasi tentu punya satu atau dua judul film remaja yang mewakili sebagai ikon generasi. Jika generasi Y lalu punya Ada Apa dengan Cinta? (2001) dan Catatan Terakhir Sekolah (2004), maka generasi milenial atau generasi Z alias saat ini menjadi PR bagi sineas dan PH. Tak perlu premise yang muluk-muluk. Plot remaja klasik dengan sentuhan serta bumbu-bumbu problematika sesuai perkembangan jaman sudah lebih dari cukup. Tinggal bagaimana mengolahnya menjadi sajian bermutu, tapi bisa dengan mudah dinikmati target audience utamanya, sekaligus membuat generasi sebelumnya (terutama yang merasa punya masa remaja menyenangkan) bisa ikut merasakan keceriaan sambil mengenang masa muda.

Adalah Chand Parwez Servia dari Starvision Plus yang sempat menggagas sebuah film remaja yang diharapkan jadi ikon generasi, tentu dengan penggarapan yang serius di berbagai lininya sejak 2011 lalu. Salman Aristo ditunjuk untuk menuliskan naskah yang awalnya berjudul Putri dan Pangeran (kemudian diubah menjadi Prince vs Princess) dengan Sherina Munaf sebagai bintang utama. Kesibukan Sherina membuat proyek ini akhirnya ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Hingga akhirnya Parwez melihat sosok dan momen yang tepat ketika boyband vokal cilik CJR (sebelumnya Coboy Junior) mulai beranjak remaja. Proyek pun dilanjutkan dengan menunjuk Haqi Achmad yang sudah berpengalaman menulis naskah film remaja seperti Radio Galau FM, Refrain, Kata Hati, Remember When, dan This is Cinta, bersama Patrick Effendy yang tak lain dan tak bukan founder CJR sekaligus sutradara film layar lebar kedua CJR, CJR The Movie: Lawan Rasa Takutmu (2015) lalu, untuk melalukan update sekaligus penyesuaian dengan dunia remaja saat ini. CJR sendiri patut bersyukur karena selalu dibuatkan film dengan penggarapan yang layak, jauh melampaui boyband-girlband lain. Menggunakan judul Ada Cinta di SMA (ACdS) yang terkesan lebih umum sekaligus merujuk pada film remaja populer era 70-an, Gita Cinta di SMA, film ini sekaligus menandai perpisahan sementara karena kepergian salah satu personelnya, Iqbal untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat. Dengan demikian, ACdS punya sosok dan momen yang serba pas untuk menjadi film remaja generasi Z ikonik.

Cerita ACdS dibuka ketika musim pergantian ketua OSIS. Ayla adalah siswa yang paling antusias menyambut. Segala persiapan sudah dilakukan, termasuk menyusun program-program selama setahun ke depan. Ambisinya tinggi karena ia mentarget beasiswa di perguruan tinggi bergengsi. Sayang prestasinya menjadi terasa kurang berarti karena sang ibu yang single mother dan wanita karir sibuk, lebih sering abai terhadap keadaannya. “Musuh” terbesar Ayla adalah Iqbal, sosok siswa yang terkesan slengean dan sering usil terhadap siapa saja. Terdorong oleh dendam terhadap Ayla sekaligus pembuktian diri karena selama ini dianggap ‘nobody’ dalam keluarganya, Iqbal nekad ikut mencalonkan diri sebagai ketua OSIS yang baru. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, termasuk Kiki, ketua OSIS lama yang melihat potensi luar biasa dari sosok Iqbal. Aldi yang merupakan teman band Iqbal semakin meyakinkan Iqbal untuk berani mencalonkan diri agar Kiki yang dianggap punya suara bagus mau bergabung di dalam band-nya. ‘Perang’ antara Iqbal dan Ayla pun dimulai hingga satu titik karena kekurangan dan kelebihan masing-masing, mereka berdua justru saling mengisi sampai jatuh cinta. Sementara itu Kiki yang semakin memantapkan diri untuk menjadi musisi mendapatkan pertentangan keras dari sang ayah yang mantan musisi tapi sekarang merasa hidup susah. Untung ada tetangga yang sering memperhatikannya latihan, Bella, terus memberikan dukungan agar Kiki mengejar passion-nya sebagai musisi.

Tibalah saat puncak pemilihan, Ayla dirundung masalah keluarga yang mengancam kemungkinannya terpilih. Diperparah siasat licik Aldi untuk memenangkan Iqbal yang membuat permusuhan antara Ayla dan Iqbal kembali meruncing.

Memasang tema persaingan jadi cinta lewat pemilihan ketua OSIS sebagai plot utama bisa jadi merupakan pilihan yang paling tepat, karena selain sifatnya timeless, tapi juga relatable dengan kehidupan remaja sehari-hari dan punya hubungan sebab-akibat yang masuk akal. Mungkin terdengar cliché bagi beberapa orang, tapi itu sebenarnya tak jadi masalah karena yang terpenting bagaimana mengembangkannya sehingga menjadi sesuatu yang tetap menarik diikuti. Naskah berhasil menyusun konflik klasik ini menjadi menarik di ACdS. Pun juga sub-plot mengejar passion yang tidak disetujui orang tua karena trauma, perjalanan pasang-surut hubungan sebuah band, dan mom-daughter relationship dimana a single mom yang terlalu sibuk dengan karir sehingga sering acuh terhadap perkembangan anak. Kesemuanya memang elemen yang cliché di drama remaja Indonesia dan mungkin tak dikembangkan secara benar-benar seimbang dengan plot utama. Namun sub-plot-sub-plot ini bisa punya korelasi yang masuk akal dan membumbui plot utama menjadi lebih menarik sekaligus relevan dengan dinamika kehidupan remaja secara keseluruhan. Kesemuanya digelar secara santai, tidak terkesan terburu-buru, tapi tetap terasa ada kedinamisan di beberapa part yang memang dibutuhkan. Naik-turun antara kedinamisan gejolak remaja dengan momen-momen emosional-nya mungkin seringkali terjadi silih berganti, tapi untungnya transisinya tetap terasa smooth berkat editing yang lebih berpihak pada feel ketimbang durasi.   

Yang tak kalah menariknya adalah elemen musikal yang ternyata tertata dengan tak kalah baiknya. Selain menghadirkan lagu-lagu berirama simple dan ear-catchy, sing-along-able, penanganan performance-nya juga tervisualisasikan dengan rapi serta cukup sinematis. Ada beberapa gerak bibir yang agak mis-match dengan suara yang terdengar, khususnya pada pengucapan suku kata yang butuh emosi lebih atau dipanjangkan, tapi tak sampai mengganggu kesan musikal secara keseluruhan. Jumlah lagu dan peletakan momen musikal juga tergolong tepat. Alih-alih terkesan dragging, tiap performance musikal-nya justru memperhanyut emosi yang ingin dihadirkan oleh adegan, tanpa kesan eksploitasi dramatisasi berlebihan.

Selain naskah dan nomor-nomor musikal yang tertata baik, ACdS juga punya kekuatan yang luar biasa besarnya di pemilihan cast. Malah saya setuju ketika banyak yang berpendapat ACdS menghadirkan cast dengan calon potensial besar nan kuat untuk menjadi aktor-aktris berkualitas di masa depan. Trio CJR; Iqbaal Dhiafafakhri Ramadhan, Alvaro Maldini, dan Teuku Ryzki, yang memang punya pengalaman cukup di akting, terlihat semakin luwes dan matang. Debut Caitlin Halderman sebagai Ayla menampilkan keseimbangan yang pas antara bitchy mean girl, smart, dan sisi-sisi emosional. Daya tarik kharismanya cukup terasa kuat. Kemudian Agatha Chelsea sebagai Bella yang meski lebih banyak diam dan observatif, tapi menampilkan gesture yang jelas. Sosok diam ini justru memberikan kesan misterius sekaligus keanggunan yang bikin penasaran. Gege Elisa sebagai Tara dan Cassandra Lee sebagai Sandra mendukung dengan performa yang tak kalah mempesona. Di deretan pendukung lainnya, seperti Tora Sudiro, Cut Keke, Ikang Fawzi, Wulan Guritno, Reza Nangin, Auxilia Paramitha, Ibob Tarigan, dan Epy Kusnandar, sama-sama berhasil mencuri perhatian di balik porsinya yang tak banyak karena faktor penulisan karakter yang punya keunikan tersendiri serta mampu ditampilkan secara noticeable pula di layar. Tak ketinggalan kehadiran lusinan cameo yang juga punya momen-momen noticeable, seperti Mongol Stres, Mongon Stres, Fico Fachriza, Babe Cabiita, Awwe, Jui Puwoto, Difa Ryansyah (Idola Cilik 4), Kevin Anggara, sampai Anggy Umbara dan Patrick Effendy sendiri.

Di teknis pun, ACdS terasa tak kalah memberikan perhatian. Sinematografi Dicky R Maland membuat tiap adegan punya efek dramatis yang pas dan tepat, pun juga ada kesan sinematis yang cukup terutama untuk nomor-nomor musikal dengan koreografi Arianti yang sederhana tapi tertata rapi sehingga tetap terlihat cantik dan memorable. Editing Aline Jusria menyuntikkan energi yang cukup dan konsisten tanpa mengabaikan momen-momen emosional dengan pace yang sesuai. Agak ‘canggung’ di awal (mungkin juga faktor penyutradaraan yang membuat pace terasa agak kebingungan melangkah), tapi makin lama makin membaik, sesuai porsi dan tujuan. Musik dari Andhika Triyadi mampu memperkuat tiap nuansa yang dihadirkan tanpa kesan dramatisasi berlebihan.

I have to admit, ACdS adalah sebuah kejutan manis. Saya yang awalnya skeptis memandangnya hanya sebagai ‘just another teenage movie’, berhasil dibuat hanyut dalam enerji jiwa muda yang dihadirkan. Plot yang ditata rapi kendati cliché, performance musikal dengan lagu-lagu sing-along-able dan earcatchy, penampilan aktor-aktris muda yang luar biasa segar, ACdS adalah sajian film remaja yang menyenangkan. Ada energi ceria yang dibangkitkan setelah film berakhir. Bagi penonton remaja, ia menjadi sajian yang ringan menghibur tapi tetap punya value-value yang relevan dan relatable dengan kehidupan sehari-hari, serta tak ada kesan menye-menye maupun dumb. Bagi penonton dewasa, seolah diajak mengenang masa SMA yang menyenangkan, apalagi Anda tergolong aktif di OSIS atau organisasi lain (kecuali jika Anda berusaha melupakan masa remaja karena tergolong socially misfit, wajar jika Anda akan menganggapnya too cheesy. Lebih baik coba film-film remaja tentang kaum nerd atau geek yang depresif, mungkin lebih cocok). Mungkin terkesan terlalu ‘SMP’ untuk usia SMA, tapi jika Anda berusaha mengenali anak-anak SMA sekarang, maka seperti itulah adanya yang akan ditemukan. Sebagai sebuah ikon generasi Z, so far ACdS jelas sangat memenuhi syarat. Bagi fans CJR, ini adalah kado perpisahan sementara yang indah dan bakal tetap menyenangkan ditonton berulang-ulang.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.