3.5/5
Action
Adventure
Based on Book
Crime
Franchise
Hollywood
Humanity
Investigation
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Inferno
Karakter Robert Langdon, seorang profesor dan pakar ikonologi
serta simbologi yang ditulis oleh Dan Brown sudah menjadi salah satu ikon kisah
investigatif, baik di novel maupun film. Kesuksesan film The Da Vinci Code (2006) dan sekuelnya, Angels & Demons (2009) jelas membuat Sony Pictures tertarik
untuk mengangkat seri Langdon lainnya ke layar lebar. Sayang sutradara Ron
Howard dan Tom Hanks tak begitu antusias dengan seri ketiga novelnya, The Lost Symbol, hingga novel keempat, Inferno rilis di tahun 2013. Sony,
Howard, dan Hanks sepakat untuk lebih dulu mengangkat Inferno ke layar lebar dan membuat produksi The Lost Symbol ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. David
Koepp yang pernah membantu di Angels
& Demons, menggantikan Akiva Goldsman sepenuhnya sebagai penulis
naskah. Sempat direncanakan rilis Desember 2015 namun kemudian diundur hingga
Oktober 2016 untuk menghindari persaingan dengan Star Wars: The Force Awakens. Setelah Audrey Tautou dan Ayelet
Zurer, Hanks kali ini dipasangkan dengan Felicity Jones yang namanya sedang
cemerlang tahun ini. Selain muncul di sini, Jones juga tampil di A Monster’s Call dan yang paling
diantisipasi, Rogue One: A Star Wars
Story Desember 2016 nanti.
Film dibuka dengan Langdon yang mengalami mimpi buruk tentang
akhir jaman dan terbangun dalam keadaan kehilangan memori jangka pendek. Ia
tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya selama beberapa hari terakhir. Tak
hanya itu, ia pun dikejar-kejar oleh pihak kepolisian Italia. Untung dokter
yang merawatnya, Dr. Sienna Brooks ternyata adalah penggemar berat Langdon
sejak kecil sehingga ia mempercayainya dan membawanya lari dari kejaran.
Langdon mulai melakukan penyelidikan sambil mengembalikan ingatan apa yang
terjadi beberapa hari terakhir. Penyelidikan membawanya ke lukisan Map of Hell karya Sandro Botticelli
berdasarkan Inferno karya Dante yang
sudah dimodifikasi. Petunjuk-petunjuk dari modifikasi tersebut membawa mereka
berdua kepada sosok Bertrand Zobrist, seorang ilmuwan genetik yang percaya
bahwa dunia harus memangkas populasi penduduk di atas dunia jika ingin terus
bertahan. Ia mengembangkan sebuah virus yang diberi nama Inferno yang siap
disebarkan dalam waktu dekat untuk melancarkan tujuan tersebut. Ternyata yang
mengejar mereka tidak hanya pihak kepolisian Italia dan kedutaan Amerika
Serikat, tapi juga WHO dan pihak yang masih misterius. Waktu terus berjalan.
Langdon dan Brooks harus mencari tahu kapan dan di mana virus tersebut akan
disebarkan.
Dibandingkan dua installment sebelumnya, Inferno punya pendekatan storytelling yang sedikit berbeda. Membuka
cerita dengan membuat Langdon amnesia mengingatkan saya akan The Bourne Identity. Menurut saya ini justru bisa menjadi
penyegaran untuk franchise Robert Langdon sendiri. Investigasi memecahkan
teka-teki demi teka-teki yang disodorkan kemudian menjadi lebih menarik dan
bikin penasaran untuk diikuti. Hingga akhirnya twist yang membalikkan
fakta-fakta yang sudah dikumpulkan sejak awal juga sebenarnya masih ditampilkan
dengan masuk akal. Jangan lupakan pula sosok Robert Langdon kali ini yang tak
hanya jago dalam menganalisis teka-teki, tapi juga cukup mumpuni untuk
melakukan aksi fisik di atas biasanya. Menjadikan Inferno sajian hiburan blockbuster yang asyik diikuti, baik sebagai
film memecahkan teka-teki maupun action.
Sayangnya, bagi saya Inferno
punya ‘spirit’ (semangat) investigasi yang masih di bawah dua installment
pendahulunya. Entah mungkin karena harus berbagi porsi dengan formula-formula ‘baru’
lainnya, seperti aksi, romansa, dan terutama mengembalikan kembali
kepingan-kepingan ingatan yang mau tak mau menjadi distraksi fokus penonton,
atau Tom Hanks sendiri yang memang sudah kelelahan untuk melanjutkan peran sebagai
sosok Robert Langdon. Teka-teki maupun petunjuk yang disebar pun seolah-olah
menjadi seperti sengaja disiapkan untuk dipecahkan oleh Langdon, bukan
disembunyikan secara natural oleh si pelaku.
Ya, di beberapa bagian Tom Hanks memang tampak sudah terlalu
lelah untuk menjadi Langdon, tapi di banyak kesempatan lainnya ia tetap
memberikan performa terbaik sebagai seorang Robert Langdon. Tak hanya urusan
terlihat cerdas luar biasa dalam memecahkan teka-teki, tapi juga chemistry yang
charming, baik bersama Felicity Jones maupun Sidse Babett Knudsen. Sementara
Felicity Jones sendiri sebagai Dr. Sienna Brooks terasa makin memikat sebagai
seorang aktris dengan porsi yang besar. Strong character performance dengan
combat skill yang tak kalah mencuri perhatian. Irrfan Khan sebagai Harry Sims
ynag misterius, dingin sekaligus tenang, berhasil memanipulasi penonton sesuai
tujuannya. Ana Ularu sebagai Vayentha mencuri perhatian berkat aksi femme
fatale yang mengancam. Terakhir, Omary Sy sebagai Christoph Bouchard dan Ben
Foster sebagai Bertrand Zobrist menjadi pendukung yang cukup menarik perhatian
di balik porsi masing-masing yang memang tak begitu banyak.
Zalvatore Totino yang sudah menggarap The Da Vinci Code dan Angels
& Demons sekali lagi memberikan kualitas sinematografi yang setara.
Kemegahan, keindahan, dan eksotisme berbagai sudut desain produksi, mulai Venice, Florence,
Budapest, hingga Istanbul tertangkap dengan begitu bersahaja, seiring dengan
pace petualangan hide-and-seek dan investigatif-nya. Pencahayaan dengan dominan
warna-warna tertentu menjadi elemen yang menarik dari gambar Inferno. Editing Dan Hanley yang kali ini dibantu oleh Tom Elkins pun
mempertahankan laju yang pas dengan kebutuhan cerita, meski punya elemen-elemen
cerita yang lebih banyak daripada seri-seri sebelumnya, termasuk penempatan
flashback yang efektif. Scoring Hans Zimmer beralih dari kesan orkestra yang
grandeur dan klasikal menjadi lebih modern dengan sentuhan elektronik, seiring
dengan pergeseran tema dari relijius ke kemanusiaan dan sosial.
Pecinta pemecahan teka-teki, apalagi Robert Langdon, tentu
pantang untuk melewatkan Inferno.
Memang ada perubahan yang cukup signifikan dibandingkan versi novelnya,
terutama di ending. Namun menurut saya masih sangat understandable untuk
menjaga image-nya sebagai action blockbuster yang menghibur, bukan yang kelam
dan terlalu mengerikan. Apalagi dengan ditambahkannya unsur action-thriller
hide-and-seek yang ditata dengan cukup seru. Meski spirit adventuruous dan
investigatif-nya memang terasa agak mengendur serta menurut saya, masih di
bawah dua installment sebelumnya, Inferno
masih bisa menjadi sajian yang menghibur. Bagi penonton awam yang malas
mengikuti permainan pemecahan teka-teki sekalipun.
Lihat data film ini di IMDb.