The Jose Flash Review
The Accountant

Autistik selama ini sering dipandang sebagai sebuah kelainan. Padahal autis sebenarnya suatu kondisi ‘berbeda’ sehingga harus ditangani dengan cara yang berbeda pula. Bahkan tidak jarang autis justru merupakan tanda kejeniusan seseorang. Einstein dan Mozart adalah beberapa tokoh terkenal yang mengidap autistik. Tema itulah yang membuat penulis naskah Bill Dubuque (The Judge) dan sutradara Gavin O’ Connor (Warrior) tertarik untuk mengangkatnya ke dalam sebuah film yang diberi tajuk The Accountant. Menggunakan autistik sebagai dasar cerita, kemudian dikembangkan menjadi sebuah action thriller dengan bumbu crime dan sedikit romance, The Accountant menambah daya tariknya lewat penampilan dari Ben Affleck dan sederetan aktor senior seperti J.K. Simmons, Jeffrey Tambor, dan John Lithgow. Tak ketinggalan Anna Kendrick yang selalu tampil menarik dan Jon Bernthal.
Christian Wolff dikenal sebagai seorang akuntan publik di firmanya, ZZZ Accounting di Illinois. Selain menjadi akuntan publik, rupanya Wolff menjalani kehidupan rahasia sebagai seorang akuntan dari berbagai tokoh kriminal internasional dengan perantara hanya sesosok suara wanita misterius. Sepak terjangnya terendus oleh direktur kejahatan finansial Departemen Keuangan, Raymond King yang segera pensiun. Ia menugaskan seorang analis muda, Marybeth Medina untuk mencari tahu identitas sang akuntan misterius ini. Sementara itu Wolff tak menyangka bahwa Lamar Blackburn dari perusahaan pembuat robot Living Robotic, klien terbaru yang memintanya mencari tahu dimana letak kesalahan penghitungan pembukuan beberapa tahun sebelumnya, tak hanya memperkenalkannya pada sosok wanita bernama Dana Cummings, tapi juga mengancam kerahasiaan identitas serta karirnya selama ini.
Daya tarik terbesar dari The Accountant adalah karakter Christian Wolff dengan segala kemisteriusan hidupnya. Sepanjang film sedikit demi sedikit selubung kehidupan yang menarik dari Wolff dibuka sehingga membuat jalan ceritanya tetap menarik untuk diikuti dari awal hingga akhir. Ada banyak sub-plot yang digunakan sebagai treatment untuk membukanya. Terutama sekali investigasi yang dilakukan Marybeth Medina-Raymond King dan kasus Lamar Blackburn yang juga meninggalkan misteri untuk dipecahkan oleh Wolff sendiri bersama Dana.  Di permukaan sub-plot-sub-plot ini berjalan beriringan sehingga mungkin terkesan saling tumpang tindih. Apalagi ternyata kesemua sub-plot ini tidak selalu disusun dengan keseimbangan yang serba pas. Tak salah jika ada penonton yang bingung dengan fokus ceritanya; studi karakter, action-thriller hide-and-seek, atau investigasi.  Beberapa revealing yang tersampaikan secara verbal lewat dialog juga mungkin bagi beberapa penonton menjadi momen-momen yang melemahkan pace cerita secara keseluruhan. Namun bagi saya selama ia mampu membuat saya tertarik untuk terus mengikuti kisahnya karena selalu ada hal-hal baru dan menarik  yang disingkap hingga akhir film (and it did!), maka tak ada yang benar-benar menjadi masalah.
Menjadi tumpuan utama, Ben Affleck terbukti sekali lagi mampu menjadi aktor dengan kharisma kuat sebagai karakter utama. Detail aktingnya sebagai Christian Wolff yang autistik begitu luar biasa. Beberapa orang mungkin menganggap aktingnya terlalu flat dan emotionless di banyak kesempatan, but that’s how autistic is, as far as I know. Kemisteriusan, ketenangan, dan tentu saja kepiawaiannya dalam bela diri (pencak silat!) semakin menambah poin dalam performance-nya di sini.
Sementara di deretan pemeran pendukung sebenarnya masing-masing berhasil tampil menarik perhatian, hanya saja porsinya memang tak ada yang setara Affleck. Mulai J.K. Simmons sebagai Ray King, Jeffrey Tambor sebagai Francis Silverberg (ayah Wolff), John Lithgow sebagai Lamar Blackburn, Jon Bernthal sebagai Brax (saudara Wolff), hingga Anna Kendrick sebagai Dana Cummings yang meski terkesan hanya sekedar menjadi ‘pemanis’ dan more or less tak beda dengan karakter-karakter yang ia perankan sebelumnya, tetap memancarkan pesona kharismatik yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Sinematografi Seamus McGarvey mampu menyampaikan cerita secara efektif, pun juga menyelipkan one-perfect-shot di banyak kesempatan. Editing Richard Pearson masih bisa membuat saya tertarik mengikuti ceritanya dengan struktur yang tak selalu maju ke depan. Selipan flashback dan revealing-revealing-nya diletakkan pada momen-momen yang tepat untuk menjaga koherensi cerita, pace, dan daya pikat detail cerita. Desain produksi Keith P. Cunningham, art John Collins, dan set dekorasi dari Douglas A. Mowat memperkuat nuansa cerita lewat detail-detail yang cukup mengagumkan. Terutama yang berkaitan dengan Wolff, mulai rumahnya yang serba teratur dan simetris serta van rahasianya. Scoring Mark Isham yang memang paling piawai untuk genre action thriller sekali lagi berhasil memperkuat nuansa curious sekaligus seru di sepanjang film. Terakhir, tentu sound design yang terdengar mantap dengan berbagai detail suara efek yang clear and crisp, ditambah fasilitas surround yang terasa dimanfaatkan secara maksimal.
Di atas kertas The Accountant memang punya materi yang sangat menarik. Di layar pun sebenarnya mampu divisualisasikan Gavin O’ Connor dengan lebih menarik lagi. Memang pada akhirnya berbagai sub-plot yang disematkan sebagai treatment penceritaan memberikan kesan kurang seimbang dan beberapa penyampaian revealing secara verbal yang menunjukkan betapa ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan lewat visual. Nevertheless secara keseluruhan The Accountant tetap punya daya tarik  yang cukup besar yang bikin penasaran dari awal hingga akhir berkat persebaran revealing yang merata. Malah mungkin menjadi salah satu yang paling menarik tahun ini.
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.