3/5
Asia
exorcism
Horror
Malaysia
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
religious
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Munafik
Kondisi perfilman Malaysia
sebenarnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Malah mungkin jumlah film yang
secara teknis ‘kurang layak’ lebih banyak ketimbang Indonesia karena aturan
kuota film lokal dari pemerintah mereka yang lebih ketat dan punya masa tayang
minimal yang cukup panjang. Tentu ada banyak juga film yang layak untuk
diperhitungkan. Salah satunya adalah nama sutradara muda Syamsul Yusof yang
memang berasal dari keluarga sineas. Sang ayah, Yusof Haslam, adalah sutradara
yang kerap menggarap film bertemakan kepolisian dan punya PH sendiri bernama
Skop Production. Debutnya, Evolusi KL
Drift (2008) dianggap berhasil secara komersial. Disusul Bohsia: Jangan Pilih Jalan Hitam (2009)
yang kendati menuai kontroversi tapi tetap sukses secara komersial, Evolusi KL Drift 2 yang menyabet
penghargaan Best Director, Best Editor, dan Best Screenplay di Malaysia Screen
Awards 2010, serta KL Gangster (2011)
yang lagi-lagi menganugerahinya Best Director di Malaysia Screen Awards 2011
sekaligus menorehkan rekor pendapatan film Melayu terlaris, yaitu sebesar Rs 12
juta. Tak hanya action, Yusof juga pernah mencoba menggarap film horror berjudul
Khurafat: Perjanjian Syaitan (2011)
yang juga dipuji kritikus dan mengumpulkan Rs 8 juta. Setelah
vacuum selama 2 tahun, sutradara yang bak Anggy Umbara versi Malaysia karena
merangkap banyak jabatan, mulai sutradara, penulis naskah, editor, sekaligus
penata musik (bedanya Anggy tak ikut-ikutan menjadi aktor utama seperti Yusof)
ini mencoba kembali dengan film horror religi keduanya, Munafik. Keberuntungan pun masih berada di pihaknya, karena Munafik memecahkan rekor pendapatan
baru, yaitu total Rs 19 juta, menumbangkan rekor sebelumnya sebesar Rs 16.7
juta oleh Ola Bola di tahun yang
sama. Beruntung kita yang di Indonesia bisa ikut menjadi saksi fenomena Munafik di layar lebar berkat MD
Pictures yang menjadi distributor resmi.
Pasca kematian sang istri dalam sebuah kecelakaan, Ustadz Adam memilih untuk menarik diri dari keahliannya untuk menyembuhkan pasien dan mengusir makhluk halus. Kewajibannya sebagai ustadz terbengkalai, begitu juga imannya yang mulai terguncang dan mempertanyakan tujuan Tuhan mengambil istrinya. Hubungannya dengan sang putra tunggal, Amir pun merenggang karena ia lebih sering memarahi dan membentak. Kasus wanita muda soleh bernama Maria yang tiba-tiba kerasukan setan akhirnya berhasil menggugah Adam. Namun rupanya setan yang mempengaruhi Maria punya rencana godaan yang jauh lebih besar untuk Adam. Sementara itu bos Maria yang menaruh hati padanya menuduh Adam hanya memanfaatkan keadaan Maria demi uang. Adam merasakan tekanan yang semakin menumpuk dan bertubi-tubi hingga imannya semakin goyah.
Menggabungkan horror dengan unsur
religius sebenarnya bukan hal baru. Untuk agama Katolik, formula ini sudah
seringkali disandingkan. Sementara untuk agama Islam, terutama di ranah
perfilman Indonesia sebenarnya juga sudah lama ada dan cukup banyak. Hanya saja
beberapa dekade terakhir, genre ini tergolong ‘sepi’. Selain potensi ofensif
yang bisa menyulut kontroversi besar jika tidak dikerjakan dengan hati-hati,
kemungkinan menjadi terlalu preachy hingga dihindari penonton di luar kaum
fundamentalis juga patut menjadi concern tersendiri, meski harus diakui
mustahil menghadirkan horror religi yang sama sekali tidak preachy.
Secara naskah, Syamsul Yusof saya
akui berhasil meracik unsur religius yang kental ke dalam formula horror yang
tergolong umum, yaitu kerasukan setan. Tak hanya itu, ia juga berhasil
merangkai elemen-elemen pembangun ceritanya menjadi kesatuan yang solid, relevan,
koheren, dan masuk akal. Ada value-value
yang ternyata bersifat cukup universal, tak hanya relevan untuk kaum muslim,
terasa dengan cukup kuat tanpa terkesan terlalu preachy. Yang tak pentingnya, ia
meletakkan revealing dari misteri yang meski bagi saya masih tergolong mudah
diduga, tapi tetap tertata dengan rapi. Ada sedikit part yang mungkin terasa bertele-tele dan/atau memulur laju penceritaan, tapi secara keseluruhan masih termasuk
nyaman untuk diikuti.
Untuk urusan scary moment yang
biasanya menjadi tolak ukur utama dalam menentukan bagus atau tidaknya sebuah horror,
Munafik punya momen-momen mengerikan
yang suasananya dibangun dengan timing serba tepat pula. Ada efek jumpscare
yang terkesan berlebihan dan ‘berisik’, tapi untungnya tak sampai tahap
mengganggu.
Sebagai aktor utama, Adam, Syamsul
Yusof punya kharisma lebih dari cukup untuk menggalang simpati penonton.
Ekspresi emosionalnya mungkin sedikit terlalu meledak-ledak di beberapa bagian,
tapi ia menunjukkan performa perkembangan karakter yang cukup realistis dan
convincing. Daya tarik yang lebih besar tertuju pada Nabila Huda sebagai Maria
yang mampu menunjukkan kontras akting yang luar biasa. Ketakutan dan kebimbangan
sebagai Maria asli sekaligus licik dan mengerikan sebagai Maria yang sudah
dirasuki setan, berhasil dihidupkan Nabila dengan sangat maksimal. The rest of
the cast turut mendukung dengan performa yang cukup memorable sesuai porsi
masing-masing, mulai Sabrina Ali sebagai Zeti, Razif Salimin sebagai Pak Osman,
Dato’ Rahim Razali sebagai ayah Adam, Pekin Ibrahim sebagai Fazli, dan tentu saja
si cilik Ruzlan Abdullah sebagai Amir.
Meski secara naskah dan
penyutradaraan dikerjakan dengan baik, saya harus jujur melayangkan komplain
terhadap beberapa teknisnya. Sinematografi Rahimi Mahidin sebenarnya aman-aman
saja, kecuali beberapa angle diagonal yang menurut saya tak perlu dan justru
membuat sedikit pusing. Variasi berbagai angle yang ditata oleh editing Syamsul
Yusof sendiri terasa terlalu banyak dan pada durasi yang terlalu cepat, apalagi
untuk adegan percakapan biasa yang justru mengganggu kemulusan adegan serta
terkesan terburu-buru. Tata suara mendukung suasana tegang dan mengerikan.
Malah menjadi salah satu elemen horror yang paling kuat. Sayang dialog-dialog
yang ada terdengar agak kurang powerful dan terasa sekali berasal dari proses
dubbing. Musik scoring seringkali terdengar berlebihan, tapi ada kalanya pula
ia tahu diri untuk lebih baik menghadirkan kesunyian sebagai pembangun
ketegangan. Terakhir, theme song berjudul Kalah
dalam Menang yang dibawakan oleh Mawi bersama Syamsul Yusof sendiri dan berirama
hip-hop yang diputar sebagai pengiring credit title terasa terlalu kontras
dengan nuansa horror film. Sebagai konten yang berdiri sendiri bagus, tapi
tidak sebagai pengiring credit title yang justru bisa merusak after-taste
secara keseluruhan.
Jika Anda mengaku pecinta horror,
tentu pantang melewatkan film Melayu yang menjadi fenomena di Malaysia,
Singapura, dan Brunei Darussalam ini. Memang secara teknis masih ada yang cukup
‘mengganggu’, tapi banyak pula elemen yang tergolong dikerjakan dengan baik
sehingga tetap layak untuk diapresiasi dan dinikmati. Begitu pula bagi Anda
yang penasaran dengan taste film Melayu selain animasi yang masih tergolong
jarang diimpor ke bioskop maupun TV Indonesia. Jika Anda termasuk yang cocok
dengan sajian horror Syamsul Yusof, siap-siap menantikan Munafik 2 yang kabarnya sedang dikerjakan untuk tayang pertengahan
2017. Atau bagi yang terpikat oleh daya tarik Syamsul Yusof, siap-siap pula
mencicipi drama-aksi-fantasi besutan sutradara Syafiq Yusof (adik Syamsul) yang
‘pamer’ visual effect bertajuk Desolasi mulai 8 Desember 2016 nanti di negara asalnya.
Semoga saja ada distributor yang tertarik untuk mengimpor dan menayangkannya di
pawagam… ehm maksud saya, bioskop Indonesia.
Lihat data film ini di IMDb.