3/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Crime
Dolby Atmos
Franchise
fugitive
hide-and-seek
Hollywood
Investigation
military
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Jack Reacher:
Never Go Back
Diangkat dari novel karya Lee Child yang pertama kali rilis
tahun 1997 dan hingga kini sudah punya 20 jilid, penampilan perdana karakter
Jack Reacher di layar lebar tahun 2012 lalu dianggap di bawah ekspektasi.
Dengan memasang aktor utama sekelas Tom Cruise, penghasilan ‘hanya’ sekitar US$
80 juta untuk pasar domestik saja termasuk flop. Sempat ada kabar rencana
pembuatan sekuelnya dibatalkan, untung hasil akhir di seluruh dunia mencapai
angka US$ 218 juta. Sehingga Paramount Pictures dan Skydance Productions
memutuskan untuk melanjutkan franchise ini dan memilih novel ke-18, Never Go Back (2013) yang akan diangkat
menjadi installment film kedua. Tom Cruise kembali memerankan sosok Jack
Reacher, sementara sutradara Edward Zwick (Courage
Under Fire, The Siege, The Last Samurai, dan Blood Diamond) ditunjuk menggantikan
Christopher McQuarrie. Zwick kemudian menggandeng penulis naskah Marshall
Herskovitz yang pernah bekerja sama dengannya di The Last Samurai dan Love
& Other Drugs, untuk menulis ulang naskah yang sudah dibuat oleh
Richard Wenk (The Mechanic, The Expandables 2, The Equalizer, dan The
Maginificent Seven versi 2016). Kali ini Tom Cruise tak ‘bekerja’ sendiri
karena dipasangkan dengan Cobie Smulders yang kita kenal sebagai Robin
Scherbatsky di sitkom How I Met Your
Mother dan Maria Hill di franchise Marvel’s
The Avengers.
Petualangan Reacher kali ini bermula ketika ia berniat bertemu
dengan seorang kolega yang pernah membantu investigasi sebelumnya, Major Susan
Turner. Ternyata Susan sedang ditahan di penjara militer karena tuduhan
mata-mata dan ikut bertanggung jawab atas kematian dua anak buahnya yang
bertugas di Afghanistan. Reacher tidak mempercayai tuduhan ini. Ia pun mulai
dibuntuti oleh pihak yang tak dikenal. Di saat yang sama ia harus menerima kenyataan
bahwa ia punya seorang putri bernama Samantha Dayton yang didaftarkan dalam
file-nya. Kematian pengacara Susan, Colonel Sam Morgan yang sempat ditemui
Reacher sebelumnya membuat Reacher dituduh sebagai pelakunya. Saat ditahan,
Reacher membantu Susan kabur untuk menemukan ada apa dan siapa dalang di balik
kasus yang memfitnah mereka berdua. Reacher pun memboyong Samantha yang
ternyata juga menjadi incaran, terlepas benar Samantha adalah putrinya atau
bukan.
Jack Reacher: Never Go
Back (NGB) jelas punya treatment style yang berbeda dengan pendahulunya.
Jika Jack Reacher (JR) lebih kental
aura investigative suspense, maka NGB lebih ke fugitive action. Maka jika Anda
seperti saya, termasuk yang suka style JR yang lebih tenang, elegan, tapi tetap
bikin penasaran karena kasusnya bisa agak kecewa. NGB berubah menjadi just
another fugitive action dengan lebih banyak baku hantam. Treatment
hide-and-seek fugitive-nya mengingatkan saya akan Mission: Impossible pertama, tapi tanpa kejutan-kejutan yang
berarti (coba hitung ada berapa film dimana Tom Cruise menjadi karakter yang
dikejar-kejar! Mission: Impossible, Minority Report, Edge of Tomorrow…). Tak ada lonjakan ataupun kejutan cerita yang
membuat saya penasaran dengan kasus yang sedang coba dibongkar oleh Jack
Reacher dan Susan Turner. Semua berjalan dengan formula dasar sub-genre
sejenis, dengan penanganan action yang menurut saya, juga tergolong mediocre.
Meski plot utama tergolong generik, NGB sebenarnya punya
sub-plot yang cukup menarik, terutama tentang hubungan Reacher-Samantha.
Reacher dihadapkan pada pilihan jika Samantha benar atau bukan putrinya
sendiri. Sebagai seseorang yang selama ini selalu (beraksi dan juga hidup)
sendiri, kehadiran Samantha sempat terlihat sebagai sesuatu yang berharga bagi
Reacher. Bahkan di ending, ikatan emosi antara keduanya sempat bertaut dengan
cukup manis. Sayangnya reaksi dan dilema emosi Reacher hanya ditampilkan
sekilas saja. Almost unnoticeable oleh penonton. Kehadiran karakter Susan
Turner yang ternyata mampu menghadirkan chemistry yang baik dengan Reacher juga
disia-siakan begitu saja. IMO, jika kehadiran Samantha dan Susan mau dijadikan
sebagai emotional dilemma dari sosok Jack Reacher yang dikenal penyendiri, ini
bisa jadi salah satu elemen yang sangat menarik. Tidak hanya bagi installment
ini saja, tapi sebagai titik balik untuk dikembangkan di
installment-installment berikutnya. Sayang sekali NGB melewatkan potensi itu.
Isu feminisme sempat juga menjadi menarik untuk diangkat lewat one liner
Reacher tentang lebih misogynist mana, melibatkan wanita atau tidak melibatkan
wanita. Apalagi isu ini terkait dengan Reacher yang memang lebih terbiasa
‘bekerja sendiri’. Again, isu ini hanya dimunculkan sekilas tanpa pengembangan
yang kuat untuk dimasukkan ke dalam plot utama.
Di usianya yang sudah melewati angka 50 tapi masih aktif
melakoni jagoan-jagoan di berbagai franchise aksi, spirit Tom Cruise masih
belum terasa kendur sedikit pun. Mungkin kali ini sosok Jack Reacher menjadi
semakin mirip Ethan Hunt, karakter yang ia lakoni di franchise Mission: Impossible dan tak sekuat
karakter Jack Reacher di installment sebelumnya, tapi masih menjadi action hero
dengan kharisma tersendiri. Lebih dari itu, saya masih menangkap gesture
emotional dilemma yang coba dihadirkan dengan hadirnya Susan dan Samantha,
meski tak menjadi highlight yang cukup kuat di sini. Cobie Smulders sebagai
Susan Turner terlihat lebih mencuri perhatian, baik faktor fisik, kharisma
akting, maupun kepiawaiannya melakoni aksi beladiri. Chemistry yang ia bangun
bersama Cruise pun tergolong natural dan asyik diikuti. Danika Yarosh sebagai
Samantha mungkin terasa seperti tipikal karakter remaja cewek di film action
lainnya, tapi setidaknya di sepanjang film masih bisa jadi karakter yang
menarik perhatian. Patrick Heusinger sebagai The Hunter belum cukup kuat untuk
menjadi karakter vilain yang notable. Begitu juga Aldis Hodge sebagai Espin
yang tidak punya banyak porsi untuk menjadikan karakternya lebih menarik.
Teknis NGB tergolong ‘aman’ dan terjaga baik, kendati tak ada
yang benar-benar menarik atau istimewa pula. Sinematografi Oliver Wood cukup
efektif untuk bercerita maupun menghadirkan adegan-adegan aksinya, tanpa feel
badass lebih. Editing Billy Weber pun masih menjaga tensi dan pace cerita
dengan pas. Scoring Henry Jackman cukup mengiringi adegan sekedar asyik diikuti
saja. Tidak ada feel tambahan yang dihadirkan untuk memperkuat atau memperkaya
film. Sound design pun mediocre meski
didukung teknologi Dolby Atmos yang nyatanya tak dimanfaatkan secara maksimal.
Alhasil tata suara NGB tak ubah tata suara surround dengan kualitas average.
Sebagai salah satu penonton yang menyukai style treatment JB
yang berbeda di tengah karakter franchise serupa dewasa ini, saya tak merasakan
ada sesuatu yang baru dan menarik dari NGB. Kesemuanya berjalan biasa saja.
Mulai susunan plot hingga adegan aksi yang mediocre. Tak buruk, tapi juga jauh
dari kesan remarkable. Lumayan menghibur jika Anda tak punya pilihan tontonan
lain, tapi akan dengan mudah terlupakan dalam tempo singkat. Apalagi jika
kemudian Anda menonton film-film yang lebih kuat dan memorable, NGB akan segera
tenggelam dari memori Anda.
Lihat data film ini di IMDb.