3.5/5
Action
Adventure
Based on Book
Drama
Fantasy
Hollywood
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Young Adult
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Miss Peregrine's
Home for Peculiar Children
Sejak lama Tim Burton dikenal
sebagai salah satu sineas Hollywood yang punya ciri khas. Mulai desain produksi
yang ‘sangat Burton’, seperti perpaduan Gothic dan Baroque, tipikal cerita yang
menyentil kondisi sosial dengan karakter yang tidak kalah nyeleneh, dan tak
lupa selera humor ganjil yang jadi menggelitik karena diletakkan pada konteks
konsep desainnya. Setelah melepas Alice
Through the Looking Glass dan lebih memilih biopic pelukis Margaret Keane
berjudul Big Eyes (2014), Tim Burton
melirik novel dark fantasy young adult karya Ransom Riggs yang dirilis tahun
2011 dan sempat menjadi NewYork Times bestseller, Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children (MPHPC). Novel yang
tergolong unik karena menggunakan fotografi vernacular (foto kehidupan
sehari-hari) sebagai pelengkap narasi teks ini tentu dengan mudah menarik
perhatian Burton karena punya banyak persamaan style dengan taste-nya. Jane
Goldman (Stardust, Kick-Ass, X-Men: First Class, X-Men:
Days of Future Past, dan Kingsman:
The Secret Service) ditunjuk untuk mengadaptasi ke dalam bentuk screenplay.
Burton menggandeng kembali ‘muse baru’-nya, Eva Green (setelah Dark Shadows) dan penata kostum yang
sudah menjadi langganannya, Colleen Atwood, DoP Bruno Delbonnel, dan editor
Chris Lebenzon. Sayang, kali ini Burton tak bekerja sama dengan komposer Danny
Elfman yang karya-karyanya seolah sudah menyatu dengan benchmark Burton.
Jake was might be a just another
socially awkward teenager. Namun nasibnya berubah setelah sang kakek, Abe,
meninggal dunia dengan kedua bola mata yang menghilang. Sesaat sebelum
meninggal, Abe berpesan agar Jake menemukan sang burung, lingkaran waktu, dan 3
September 1943. Jake lantas mengingat cerita-cerita dari Abe tentang
monster-monster keji dan rumah penampungan anak-anak dengan kemampuan khusus
(peculiar) yang dikepalai oleh Nona Alma LeFay Peregrine. Orang tua Jake yang
selama ini menganggap Jake perlu pertolongan dari psikolog karena tidak bisa
membedakan fantasi dan kenyataan, akhirnya menyetujui keinginan Jake untuk
mengunjungi Pulau Welsh dengan didampingi sang ayah, Franklin untuk menemukan
apa yang diisyaratkan Abe. Petulangan Jake membawanya kembali ke tahun 1943 dan
mengenal Nona Peregrine, para anak-anak dengan kemampuan khusus, seperti Emma,
Olive, Millard, Bronwyn, Fiona, Enoch, Hugh, Claire, Horace, si kembar
bertopeng, dan saudara Bronwyn, Victor. Ternyata Nona Peregrine adalah seorang
Ymbryne, yaitu bisa memanipulasi waktu. Ia menghentikan waktu dan menciptakan
lingkaran waktu, mengulang hari yang sama setiap hari tepat sebelum rumah
mereka luluh lantak dijatuhi bom Nazi. Sebagai imbas, mereka sama sekali tak
mengalami penuaan sedikit pun. Abe ternyata pernah menjadi bagian dari mereka
tapi memutuskan untuk keluar dari lingkaran waktu mereka dan menjalani hidup
normal. Namun tentu bukan dengan alasan dan tujuan Abe menggiring Jake menemui
mereka. Ada kelompok pemburu pimpinan Mr. Barron yang mengincar mereka sejak
lama dan gemar memakan mata kaum peculiar. Petualangan Jake beserta kaum
peculiar melintasi waktu pun dimulai.
Materi cerita yang sangat
Burton-able sebenarnya sudah menjadi daya tarik tersendiri buat MPHPC.
Penggemar setia Burton tentu langsung bisa membayangkan seperti apa hasil
akhirnya. Ya, versi film MPHPC memang terlihat sangat Tim Burton, meski tak
sekental karya-karya sebelumnya, seperti Charlie
and the Chocolate Factory atau Alice
in Wonderland, misalnya. Tak hanya dari segi desain produksi, tapi juga
sense of humor yang berkesan ‘less-Burton’. Untungnya, ia masih mampu
menggerakkan narasi ceritanya dengan menarik. Membutuhkan waktu yang agak lama
dengan detail narasi yang memang banyak, dan agak bertele-tele sehingga
terkesan terburu-buru.
Tak hanya itu, ada banyak elemen
yang juga terkesan seadanya, terutama karakteristik tiap karakternya. Tak hanya
anak-anak peculiar yang mungkin ‘hanya’ memamerkan keahliannya, bahkan karakter
utama seperti Jake pun tak diberi banyak kedalaman maupun perkembangan
karakter. What you see from them from the outside, that’s the only thing you
will know about them. Penjelasan teori time loop juga mengalami sedikit kendala
dalam penyampaiannya dengan jelas, terutama ketika Jake menjelaskan apa saja
yang harus dilaluinya untuk menemukan time loop Miss Peregrine yang baru. Tanpa
penjelasa itu semua, menurut saya menemukan time loop tak seharusnya dibuat
seribet itu. Entah jika dari novel seharusnya ada penjelasan yang lebih jelas
dan masuk akal tentang teori ini. Kesemua kekurangan ini untungnya tak sampai mengganggu
laju maupun kenikmatan mengikuti ceritanya sih, tapi tetap menjadi sesuatu yang
patut disayangkan. Untung saja masih ada adegan-adegan petualangan dan battle
yang masih seru untuk diikuti, meski banyak yang tergolong generik, termasuk
dalam menggambarkan sosok villain-nya. Tak bisa dipungkiri, nuansa childish
(baca: sedikit komikal) masih ada di sana-sini, tapi ada pula momen-momen yang
terasa terlalu mengerikan untuk anak-anak, seperti penampakan bola-bola mata
yang akan disantap maupun jantung-jantung untuk menghidupkan boneka yang
dilakukan oleh Enoch. Above all, yang paling memikat saya adalah value tentang pilihan menjadi aman atau berani yang menurut saya cukup konsisten dan terasa jelas tersampaikan. Dengan hasil akhir yang demikian, MPHPC mungkin masih menarik
untuk diikuti tapi sayangnya, mudah terlupakan dalam jangka panjang, tak seperti kebanyakan
karya-karya Tim Burton yang lebih terasa ‘established’.
Dipercaya mengisi peran utama,
Jake, Asa Butterfield terasa tak terlalu menarik. Jauh jika dibandingkan ketika
ia mengisi peran utama di Ender’s Game,
Hugo, maupun The Boy in Striped Pyjamas. Entah penulisan yang memang kurang
begitu kuat sebagai karakter utama, atau Asa kebingungan menerjemahkan karakter
yang diperankan. Ia lebih sering tampak kebingungan dengan apa yang terjadi
ketimbang berkharisma menarik karena punya sikap tersendiri. Eva Green sebagai
Miss Peregrine masih lebih menarik dengan keseimbangan antara kemisteriusan
sosok dengan kharisma protagonis yang cukup kuat, meski porsinya mungkin tak
sebanyak Jake, apalagi di babak ketiga. Ella Purnell sebagai Emma Bloom, yang
paling menonjol dibandingkan anak-anak peculiar lainnya, sedikit menarik
perhatian meski menurut saya bisa jauh lebih kuat lagi. Judi Dench sebagai Miss
Avocet dan Terrence Stamp sebagai Abe menarik hanya karena sosok asli mereka,
sementara karakter yang dipercayakan ke mereka nyatanya tak punya daya tarik
yang cukup untuk benar-benar dikenang. Sementara Samuel L. Jackson membawakan
peran villain, Mr. Barron dengan cukup memorable lewat performa yang sedikit
komikal tapi tetap terasa kuat berkat kharisma aslinya.
Meski tak sekental di film-film
Burton sebelumnya, desain produksi tetap menjadi salah satu yang paling
menonjol dari MPHPC, termasuk desain kostum Colleen Atwood dan desain produksi
Gavin Bocquet. Sinematografi Bruno Delbonnel pun lebih dari cukup untuk
mem-framing segala keindahan visualnya. Tak ketinggalan adegan battle, terutama
tengkorak-tengkorak melawan monster tak terlihat di taman hiburan yang
mengingatkan saya akan adegan Jason and
the Argonauts (1963). Editing Chris Lebenzon mungkin terkesan terburu-buru dan
kurang pendalaman di banyak elemen dengan durasi yang (mungkin) juga dibatasi
oleh produser. The least thing, editingnya masih membuat MPHPC kisah
petualangan yang runtut dan enjoyable untuk dinikmati. Score musik Michael
Higham dan Matthew Margeson memang tak se-notable scoring Elfman di film-film
Burton sebelumnya, tapi cukup mendukung adegan-adegannya dengan score klasikal
dan yang paling menarik perhatian saya adalah penggunaan musik elektronik untuk
adegan skeleton battle yang menurut saya momen langka di karya Burton.
Meski dengan kadar yang jauh di
bawah karya-karya sebelumnya yang menjadi benchmark Burton, MPHPC masih punya
beberapa ‘aroma’ khas Burton di sana-sini. Harus saya akui memang bukan
termasuk karya paling notable dari Burton, tapi setidaknya masih bisa dinikmati
sebagai tontonan ringan yang menghibur, terutama lewat adegan-adegan
ber-special effect yang masih bisa memanjakan mata.
Liaht data film ini di IMDb.