4/5
Based on a True Event
Based on Book
Biography
Crime
Drama
Espionage
Europe
Hollywood
Investigation
Politic
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Snowden
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
seluruh kegiatan di dunia maya bisa dengan mudah diawasi oleh pihak yang punya
kuasa. Apalagi setelah satu per satu kasus konspirasi tingkat tinggi berkaitan
privasi di dunia maya terbongkar. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh di
ranah ini adalah Edward Snowden. Pernah diangkat ke sebuah film dokumenter Citizenfour (2014) yang bahkan
memenangkan Oscar untuk kategori Best Documentary Feature tahun 2015 lalu, kali
ini giliran Oliver Stone yang dikenal sering membuat biopic maupun peristiwa
penting dunia kontroversial tertarik untuk mengangkatnya ke medium film.
Biopic Edward Snowden ini tak
berjalan benar-benar mulus, apalagi statusnya yang masih buron dan sementara
menetap di Rusia sampai film ini dirilis. Proses pembuatan pun dilakukan
diam-diam dan harus memastikan terjaga privasinya dari pihak pemerintah Amerika
Serikat. Oliver Stone sendiri yang di-approach pertama kali untuk direct sempat
ragu karena enggan membuat film yang bisa memicu kontroversi (seperti W (2008), film Stone tentang mantan
presiden George W. Bush), ditambah ia sedang mengembangkan biopic Marthin
Luther King Jr. Setelah diyakinkan banyak pihak, termasuk Edward Snowden
sendiri yang memberikan dukungan penuh, Stone akhirnya setuju untuk men-direct.
Novel The Snowden Files karya Luke
Harding dan Time of the Octopus karya
pengacara Rusia Snowden, Anatoly Kucherena dijadikan dasar naskah yang disusun
oleh Stone sendiri bersama Kieran Fitzgerald (The Homesman). Joseph Gordon-Levitt (JGL) yang memerankan karakter
nyata Philippe Petit di The Walk (2015)
yang mana juga pernah diangkat ke sebuah film dokumenter pemenang Oscar, Man on Wire (2008),
didapuk memerankan Edward Snowden. Disusul Shailene Woodley, Zachary Quinto,
Melissa Leo, Tom Wilkinson, Scott Eastwood, Timothy Olyphant, dan Nicolas Cage.
Film dibuka dengan pertemuan
antara Edward Snowden dengan filmmaker dokumenter, Laura Poitras, dan wartawan
The Guardian, Glenn Greenwald di Hong Kong. Keduanya setuju untuk
mempublikasikan rahasia negara yang dibocorkan oleh Edward tentang negara (Amerika
Serikat) yang diam-diam menyadap semua aktivitas di dunia maya atas nama
keamanan nasional. Mulailah Edward bercerita sejak awal karirnya sebagai
prajurit hingga menjadi staf penting NSA dimana ia menemukan fakta yang
bertentangan dengan keyakinannya sebagai warga negara bebas dan demokratis.
Keinginannya untuk ‘membela negara’ tak lagi mendukung pemerintah, tapi semua
orang yang ada di dunia. Namun ini tentu beresiko tinggi. Paspornya ditahan
sehingga tak banyak negara yang bisa ia kunjungi, tak bisa kembali ke Amerika
Serikat, dan tentu saja membuat hubungannya dengan sang kekasih, Lindsay Mills,
mengalami pasang-surut.
Berpijak pada keinginan Snowden untuk ‘membela
negara’, Stone mencoba membawa arah cerita pada perkembangan karakter Edward
Snowden yang sejak awal hanya punya keinginan tersebut. Dilematis moral seiring
dengan karirnya di NSA dikembangkan untuk mendefinisi ulang keingin tersebut.
Begitu pula dilema pilihan untuk cuek (bungkam) dengan imbalan hidup tenang dan
nyaman atau mendengarkan suara hati untuk membongkar rahasia negara demi
kepentingan umum dengan resiko hidup tak menentu. Peristiwa demi peristiwa dirangkai
oleh Stone sesuai dengan konteks lewat benang pemersatu wawancara di Hong Kong,
tanpa mengabaikan urutan kronologis. Hebatnya, Stone membuat semuanya yang
sebenarnya terdengar sangat spesifik pada bidang profesi tertentu menjadi mudah
diakses serta dipahami oleh penonton awam sekalipun. Tak ketinggalan drama
hubungan asmara antara Edward dan Lindsay yang mampu menyatu, bahkan menjadi
elemen pendukung yang penting bagi plot utamanya. Stone pun tau betul kapan, di
mana, dan bagaimana meletakkan bagian yang bisa berperan seabgai klimaks cerita
a la espionage thriller, tanpa mengganggu rangkaian cerita yang sudah tersusun
rapi. Snowden pun menjadi sebuah
biopic yang tak hanya akurat, tertata dengan rapi, menarik dan seru untuk
diikuti, dan yang paling penting, menghantui (baca: membangun awareness) penonton,
terutama yang selama ini punya aktivitas tinggi di dunia maya.
Kekuatan lain yang dikerahkan
Stone di Snowden adalah mampu membuat
semua cast-nya tampak bersinar meski tak semua punya porsi yang setara. Tak
hanya faktor aktor-aktris yang mampu menghidupkan karakter-karakternya, tapi
juga penulisan karakter yang memungkinkan mereka untuk unjuk kebolehan.
Memerankan karkakter sentral dengan porsi yang paling dominan, tentu JGL
menjadi fokus penonton. I have to say, semakin hari kemampuan JGL dalam
menghidupkan peran semakin mencengangkan. Di sini ia tak hanya mereplikasi
gesture dan segala detail Edward Snowden, tapi juga benar-benar mendalami
perkembangan kepribadiannya. Bahkan tone suara dan sorot mata yang terasa
begitu natural, sama sekali tak terkesan dibuat-buat. I really saw Edward
Snowden as Edward Snowden, bukan JGL sebagai Edward Snowden.
Shailene Woodley sebagai Lindsay
Mills pun terlihat punya kharisma akting yang makin kuat setelah franchise Divergent. Perkembangan yang cukup
signifikan dari aktris remaja ke dewasa. Tak hanya keberaniannya untuk tampil
topless, tapi juga dalam menghidupkan karakter yang lebih dewasa serta membangun
chemistry yang convincing dengan JGL di balik pasang-surut hubungan
Snowden-Lindsay. Di lini pendukung berikutnya, mulai Melissa Leo sebagai Laura
Poitras, Zachary Quinto sebagai Glenn Greenwald, Rhys Ifans sebagai Corbin O’Brian,
Nicolas Cage sebagai Hank Forrester, Lakeith Lee Stanfield sebagai Patrick
Haynes, hingga Scott Eastwood sebagai Trevor James, berhasil memberikan impresi
performa yang mengesankan di balik porsi peran masing-masing.
Dengan budget terbatas, Snowden terbukti mampu memaksimalkan
segala teknisnya sehingga tetap layak. Mulai sinematografi Anthony Dod Mantle
yang menggabungkan berbagai jenis kamera untuk memberikan kesan real sekaligus
sesuai konsep yang banyak melibatkan surveillance camera maupun webcam tanpa
mengabaikan staging dan framing sinematis. Editing Alex Marquez dan Lee Percy
memperkuat rangkaian cerita yang disusun rapi sesuai konsep serta konteks, pun
juga mampu bekerja maksimal untuk momen espionage thriller maupun romance
drama-nya. Scoring Craig Armstrong dan Adam Peters mampu memperkaya film
menjadi lebih asyik diikuti dengan sentuhan warna techno. Desain produksi meski
memang terasa simplified di banyak set, seperti headquarter maupun kantor NSA,
tapi masih tergolong layak dan bahkan beberapa berhasil menjadi memorable.
Sebagai sebuah biopic dengan
sentuhan thriller, Snowden mampu
menjadi sajian hiburan yang mudah diakses oleh penonton awam internet sekalipun.
Seru diikuti dan punya korelasi antar sub-plot dengan plot utama yang kuat,
sehingga durasi yang mencapai 2 jam 14 menit terasa padat tapi tetap enjoyable.
Ia memang tak memberikan konklusi yang mengarahkan persepsi penonton, sama
seperti kondisi Snowden yang masih menjadi exile sampai saat film ini tayang,
yang mana artinya masih sangat mungkin kasusnya terus berkembang. Namun memilih
ending seperti yang disajikan di hasil akhir, setidaknya ada titik balik yang
dicapai dari pergulatan Snowden sepanjang film. Sisanya, tergantung bagaimana
efek yang dipaparkan film terhadap penonton sehingga mampu mengambil sikap.
Dengan demikian, Snowden bagi saya
adalah salah satu film yang penting untuk ditonton. Tak hanya untuk tahun ini,
tapi juga dalam kurun waktu sepanjang jaringan internet ada di dunia.
Lihat data film ini di IMDb