4/5
Arthouse
Based on a True Event
Based on Book
Biography
Drama
feminism
Indonesia
Marriage
Mother-and-son
motherhood
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Athirah
Biopic agaknya masih menjadi
genre favorit di perfilman Indonesia. Setidaknya dari sudut pandang produser
yang seolah tak henti mencari sosok yang cerita hidupnya diangkat ke layar
lebar dengan label ‘inspiratif’. Untungnya di tengah treatment biopic yang itu-itu
saja (baca: glorifikasi berlebihan, delusional, bahkan mengarah ke megalomaniac
dan menjadi hagiografi), masih ada upaya untuk membuat biopic dengan tema
tertentu dan tidak menjadikan subjek sebagai tokoh sentralnya tapi punya
pengaruh terhadap sosok subjek. Pendekatan itulah yang digunakan oleh produser
Mira Lesmana, sutradara sekaligus penulis naskah Riri Riza, dibantu oleh Salman
Aristo. Nama-nama yang tak perlu diragukan lagi kualitasnya di industri
filmmaking Indonesia. Diadaptasi dari novel berdasarkan kisah nyata yang
ditulis oleh penulis biografi tokoh-tokoh terkenal Indonesia mulai KD, Chrisye,
Titiek Puspa, Merry Riana, Joko Widodo, sampai Raam Punjabi, Alberthiene Endah
berjudul sama, Athirah mencoba
mengangkat sosok wakil presiden kita, Jusuf Kalla lewat sang ibu, Athirah
dengan fokus pada tema poligami yang sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya
kelak. Tentu tema poligami di ranah perfilman Indonesia juga bukan hal baru,
mengingat kita punya Ayat-Ayat Cinta (2008)
dan Surga yang Tak Dirindukan (2015) yang
sempat sukses jadi box office melewati angka satu juta penonton. Namun di
tangan Riri Riza, tentu penonton bisa mengharapkan hasil yang berbeda. Apalagi
sang karakter utama diperankan oleh Cut Mini yang mana tahun 2016 ini bisa jadi
salah satu tahun paling gemilang bagi karirnya sebagai aktris layar lebar,
setelah tampil di Juara, Koala Kumal, Ini Kisah Tiga Dara, dan Me
vs Mami.
Tahun 50-an, Puang Ajji memboyong keluarganya; sang istri, Athirah, dan anak-anaknya dari Bone ke Makassar dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di tengah pemberontakan separatis yang sedang berkecamuk. Keberuntungan finansial pun segera menghampiri. Namun godaan menghampiri Puang Ajji yang memilih untuk berpoligami. Tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya, ia menikahi wanita lain. Ironisnya, Athirah dan sang sulung, Ucu, justru tahu kabar ini dari pergunjingan tetangga dan teman-teman. Awalnya Athirah sempat melakukan berbagai upaya agar sang suami kembali kepadanya. Ucu pun menjadi sosok pendiam luar biasa, bahkan ketika jatuh hati pada seorang gadis di sekolahnya. Bosan dengan upaya yang tak membuahkan hasil, Athirah lebih memilih untuk ‘membangun’ kembali keluarga yang sudah ditinggalkan sang suami dengan menjadi pengusaha kain tenun. Sementara Ucu harus menelan pil pahit dijauhi gadis pujaann, Ida, karena keluarganya takut Ucu juga akan berpoligami kelak.
Sejak awal karirnya Riri Riza
merupakan salah satu sineas Indonesia yang punya keseimbangan cukup baik antara
nuansa serba arthouse dengan penyampaian yang masih mudah dipahami sekaligus
bisa komersial. Meski harus diakui tidak semua pencapaian a la arthouse-nya
benar-benar bisa dikatakan berhasil secara komersial, seperti Atambua 39˚C (2012) dan Sokola Rimba (2013), meski secara
kualitas tergolong baik. Maka ia menggarap Athirah
dengan keseimbangan antara arthouse dan komersial dengan lebih baik lagi.
Hasilnya, kisah Athirah berhasil mengalir
dengan sangat lancar dengan simbol-simbol semiotika yang terselip di mana-mana
tapi maknanya masih dapat dengan mudah diidentifikasi serta dipahami. Riri dan
Salman mengadaptasi novel Alberthiene dengan potongan-potongan adegan yang
terfokus pada proses perkembangan karakter Athirah mulai dari keluarganya yang masih
baik-baik saja, emosinya mulai terguncang karena suami yang poligami secara
diam-diam, upaya yang terkesan desperate, bangkit, hingga mencapai titik balik
yang seolah merayakan kemenangan. Semuanya dijalin secara dinamis, elegan, dan lebih
banyak lewat visual (yang artinya melalui detail adegan, ekspresi wajah, dan
bahasa tubuh aktor-aktrisnya) ketimbang dialog. Naskah tau betul mana
momen-momen yang sesuai untuk dimasukkan ke dalam film sehingga punya korelasi
dan koherensi yang berkesinambungan. Meski cerita berfokus pada sosok Athirah,
penonton masih dengan mudah mengakses sosok Ucu, terutama dari segi dampak dan perkembangan
psikologisnya. Jauh dari kesan terlalu mengagung-agungkan karakter utama semata,
apalagi hagiografi. Baik lewat karakter Athirah maupun Ucu. Alhasil penonton
bisa menghargai proses yang kadang mungkin terkesan konyol serta memahami pilihan
yang diambil dan dilakukan oleh para karakternya.
Karakter Ucu yang kerap dijadikan
sebagai sudut pandang cerita tak diberi dialog sama sekali sampai satu adegan
dimana karakternya mengalami titik balik. Tentu ini semua disengaja sebagai
bentuk visualisasi dari makna yang ingin disampaikan. Namun pilihan visualisasi
ini bukannya tanpa efek samping. Banyak sekali momen-momen yang seharusnya
mulai mampu menjerat emosi penonton, langsung disudahi. Dugaan saya, ini
disengaja untuk menghindari dramatisasi yang terlalu mendayu-dayu (baca:
tearjerker). Bagi penonton yang terbiasa dan mengenali tipikal film arthouse,
tentu ini sama sekali tak menjadi masalah. Sebaliknya, bagi penonton umum, ini
menjadikan Athirah sebagai drama yang
serba tanggung dan gagal mencapai titik-titik emosi yang diharapkan. Padahal
sebenarnya bisa saja emosi-emosi terdalamnya dibiarkan mencengkeram penonton
tanpa terkesan berlebihan bak sinetron. Riri dan tim rupanya lebih memilih
untuk mencoba pendekatan yang lebih idealis. Tak salah dan menurut saya masih
sah-sah saja, tapi tentu akhirnya menjadi segmented. Tak salah jika ketika film
berakhir, banyak penonton yang berceletuk, “lho sudah? Gitu aja?”, karena ia
memang tak punya klimaks yang benar-benar terasa secara ‘rasa’, meski secara
naskah bisa ditemukan oleh yang benar-benar paham proses penulisan naskah.
Menghidupkan karakter utama, Cut
Mini bertransformasi menjadi sosok Athirah dengan berbagai perkembangan emosi
yang paling berarti. Segalanya mampu ia tampilkan lewat ekspresi wajah dan bahasa
tubuh dengan jelas tanpa terkesan overacting. Bahkan titik-titik paling emosi
yang hampir tercapai di banyak kesempatan, setidaknya masih bisa dirasakan lewat
akting gemilangnya. Sementara Christoffer Nelwan yang memerankan sosok Ucu
remaja mampu mengimbangi performa Cut Mini, juga mostly lewat ekspresi wajah
(yang meski kompleksitasnya masih di bawah karakter Athirah) ketimbang dialog.
Nino Prabowo sebagai Ucu dewasa mampu melanjutkan karakter yang dimainkan
Nelwan dengan transformasi yang mulus. Performa debut dari seniman Sulawesi
Selatan, Arman Dewarti lebih dari cukup dalam menghidupkan karakter Puang Ajji.
Jajang C. Noer sebagai ibunda Athirah, seperti biasa memikat meski porsinya juga
tergolong terbatas. Indah Permatasari sebagai Ida remaja tampil memikat lewat
kemisteriusan sosoknya. Tika Bravani yang memerankan versi dewasa dari Ida juga
tak kalah menariknya, meski harus diakui masih terlalu ceplas-ceplos untuk
memerankan karakternya.
Sinematografi Yadi Sugandi dan
editing W Ichwandiardono menjadi teknis yang paling menjadi highlight di Athirah. Tak hanya berhasil
memvisualisasikan kisah yang memang lebih banyak lewat bahasa gambar dengan
efektif dan pergerakan kamera yang sinematis, tapi juga stock-stock insert yang
mengeksplorasi budaya setempat (Makassar) secara maksimal tanpa terkesan dipaksakan
masuk. Editing Ichwandiardono pun mampu menyusun kedinamisan bercerita Riri-Salman
dengan nyaman untuk diikuti tanpa kesan terlalu lambat. Memangkas cukup banyak
potensi-potensi emosi yang ada, tapi tentu itu merupakan pilihan visual dari
Riri. Desain produksi Eros Eflin, termasuk perancang busana Chitra Subiyakto
dan penata rias Jerry Octavianus, memberi nilai tambah keindahan visual Athirah. Musik gubahan Juang Manyala pun
menjadi salah satu elemen yang luar biasa dari produksi Athirah. Iringan musik-musik bernuansa etnik mengiringi sekaligus
mengisi emosi-emosi banyak adegan. Sayang musik seringkali dipangkas dengan
fade out yang memberikan kesan tidak utuh.
Dibandingkan berbagai biopic yang
ditawarkan beberapa tahun belakangan maupun film-film bertemakan poligami di
ranah perfilman Indonesia, Athirah tentu
memberikan kesegaran warna tersendiri. Terutama lewat kemasan storytelling yang
mengedepankan visual ketimbang verbal. Durasi yang hanya sekitar satu setengah
jam berlalu dengan tanpa terasa, bahkan mungkin terasa terlalu cepat jika Anda
hanya melibatkan ‘rasa’. Namun ketika dipikir-pikir lagi, nyatanya ia sudah
cukup mencapai klimaks, titik balik, dan konklusi yang ingin dituju. Dalam gaya
storytelling yang tergolong masih jarang itulah Athirah bisa dikatakan pencapaian visual yang cukup penting di ranah
perfilman Indonesia tahun ini. Malah, salah satu film Indonesia terbaik tahun 2016
ini.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.