Akhir Kisah Cinta Si Doel:
Refleksi Menjadi 'Orang Baik'
dan Konsekuensi Tiap Pilihan

‘Baik’ barangkali adalah jawaban yang paling sering muncul ketika seseorang menanyakan kriteria pacar atau pasangan hidup idaman. Jawaban yang tidak salah, apalagi di masa dimana semakin sedikit orang yang dianggap ‘baik’, dalam artian tidak ‘neko-neko’, tidak punya udang di balik batu, dan seterusnya. Namun apakah lantas hanya sekedar ‘baik’ maka menjamin semuanya akan berjalan baik-baik saja? Siapa sangka pertanyaan ini pada akhirnya menjadi highlight terbesar dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang sudah berjalan selama 27 tahun. Sebuah sinetron yang selama ini hanya dinilai sekedar berputar-putar di kisah cinta segitiga biasa antara Doel-Sarah-Zaenab dengan polesan komedi lewat karakter-karakter ikonik seperti Mandra, Atun, dan Mas Karyo. Mungkin karena penggambaran yang terlalu dekat dengan masyarakat kita sehingga disepelekan tanpa menyadari sebenarnya di kehidupan nyata sedang menghadapi miskonsepsi yang bisa jadi tak beda dengan yang dialami oleh Doel-Sarah-Zaenab. Saya pun mungkin pernah menjadi salah satu dari mereka, yang bahkan selama ini mungkin hanya sampai sejauh berpihak kepada salah satu karakter saja, sekedar hanya karena kualitas pribadi yang saya anggap lebih luhur (dalam hal ini saya memihak Zaenab yang saya anggap berkepribadian sederhana, tabah, dan selama ini selalu menjadi pihak yang terlihat paling menderita) dan baru menyadari tema besarnya yang begitu dekat dan penting dengan masyarakat kita sesaat setelah menyaksikan Akhir Kisah Cinta Si Doel (AKCSD).

Sebagai sebuah seri penutup, AKCSD dibuka dengan pengakuan Zaenab tentang mengapa ia memilih untuk ikhlas Si Doel kembali bersama Sarah. Sebuah pernyataan, “Ini bukan soal siapa yang menang, siapa yang kalah” membuat saya kembali menganalisis sejarah hubungan antara Doel-Sarah-Zaenab. Doel dan Sarah adalah pasangan yang selalu saling mencintai serta menghormati, sementara Zaenab adalah sosok yang jatuh hati terhadap Doel tapi perasaan Doel terhadap Zaenab lebih karena faktor ‘kasihan’ ketimbang cinta sebagai sepasang kekasih. Argumen bahwa Zaenab merasa bersalah dalam dirinya padahal tak ada satu pun pihak luar yang sebenarnya menyalahkan dirinya adalah perasaan yang sulit hilang begitu saja dan akan terus menghantui, mungkin di setiap konflik rumah tangga mereka yang akan muncul ke depannya. Bagaimana pun perasaan cinta tidak bisa dipaksakan. Zaenab perlu merasa terbebas dari perasaan-perasaan negatif yang datang dari dirinya sendiri akibat dari situasi yang di satu sisi bisa jadi ‘menjebaknya’, tapi sebenarnya adalah konsekuensi dari pilihannya sendiri. Luka batin yang ia alami perlu dinetralisir dan ia menyadari hal tersebut. Itulah mengapa akirnya ia memilih untuk ‘mundur’ dari kehidupan Doel dan mandiri.
Di sisi lain, Sarah pun menyadari kesalahan yang pernah ia lakukan di masa lalu ketika meninggalkan Doel dan keluarganya secara diam-diam sehingga menimbulkan kondisi seperti saat ini. Saat itu ia mungkin membuat pilihan gegabah hanya berdasarkan asumsi sepihak (bahwa Doel sebenarnya mencintai Zaenab lewat perhatian yang Doel berikan kepadanya) yang belum tentu benar, dan sekaligus memilih potensi perkembangan karirnya yang mungkin sempat ia lupakan karena memilih menikahi Doel. Pilihan yang tidak sepenuhnya salah, pun ia juga konsekuen dengan pilihan yang ia buat hingga ia akhirnya memutuskan ikhlas menyelesaikan hubungan sebagai suami-istri dengan Doel secara sah agar Doel juga bisa terbebas dari pertanyaan dan/atau gugatan masa lalu bersamanya serta memulai lembaran yang baru bersama Zaenab.
Tidak ada yang sepenuhnya salah dari ketiga protagonis kita. Doel, Sarah, dan Zaenab sama-sama orang baik yang terkadang bimbang dengan diri mereka masing-masing, baik yang sifatnya sekedar perasaan maupun pilihan yang sudah diambil. Mereka juga sama-sama punya perasaan ‘tidak enakan’ satu sama lain, sebagaimana kebanyakan orang Indonesia pada umumnya dan mungkin orang Betawi pada khususnya yang selama ini selalu direpresentasikannya. Terutama sekali Doel, sebagai penentu keputusan terbesar yang selama ini menjadi sentral cerita, yang selalu menginginkan semuanya baik-baik saja dan sebisa mungkin tidak ada satu sisi pun yang tesakiti. Beban yang dipikul Doel justru yang paling berat tapi keputusan dari dirinya sendiri lah yang pada akhirnya menjadi penentu paling penting maka dari itu tidak boleh diambil secara gegabah.
Sampai titik tersebut, saya yang awalnya berpihak kepada Zaenab karena faktor kecenderungan suka dengan kepribadiannya semata (sebagaimana semua penggemar lainnya) akhirnya memasrahkan pilihan di tangan Doel sebagai penentu akhir. Termasuk jika Doel akhirnya memilih untuk tidak memilih kedua-duanya karena tanpa disadari semua pihak sudah terlanjur terluka sedemikian dalam hingga kesemuanya perlu memulai dari nol lagi untuk menetralisir segalanya. 
Film kemudian membawa penonton ke Dul, anak Doel bersama Sarah, yang selama ini tinggal bersama Sarah dan kali ini diajak untuk tinggal bersama Doel, menebus waktu kebersamaan yang absen selama ini. Dul yang masih polos dan punya banyak pertanyaan tentang pilihan kedua orang tuanya selama ini perlahan mengenal keluarga Doel yang serba baik, termasuk Zaenab yang sekarang juga sudah menjadi istri sah Doel. Wajar jika perlahan Dul merasa diterima. Ditambah Sarah selaku ibu kandung tidak pernah menjelek-jelekkan Doel maupun Zaenab, justru memuji kesemuanya sebagai orang baik, maka tak heran jika tidak ada benci atau dendam dalam diri Dul (selama ini saya percaya bahwa kebencian anak terhadap orang tua tiri adalah akibat doktrin salah satu pihak semata tapi bisa sirna karena observasi serta pengalaman pribadi secara langsung). 
Meski tak sepenuhnya memahami pilihan sang ibu kandung dan sebagaimana seorang anak pada umumnya yang masih berharap sang papa dan mama kandung akan kembali bersama, suasana yang serba baik-baik saja membuatnya menerima apa pun pilihan yang dibuat oleh Doel. Bagian ini semakin membuat saya (dan saya yakin beberapa, jika tidak semua penonton) semakin ikhlas akan apa pun pilihan Doel. Penonton seolah diposisikan sebagai Dul sekaligus menjadi observer apa yang bakal terjadi di tiap keputusan Doel. Munculnya Dul menjadi semacam katalis yang semakin menguatkan argumen bahwa tiap pilihan Doel adalah benar, semua akan baik-baik saja. Apalagi di usia Doel, Sarah, dan Zaenab sekarang, rasa-rasanya masa depan Dul dan anak dalam kandungan Zaenab adalah prioritas yang jauh lebih penting ketimbang sekedar yang mana pilihan Doel sebagai istri. Adalah pilihan yang bijak menghadirkan koneksi antara Doel dan Dul sebagai highlight terbesar seri ini. Apalagi penampilan Rey Bong yang kali ini begitu mengesankan, baik sebagai karakter Dul sendiri maupun chemistry yang realistis tanpa kehilangan emosional (atau pun berlebih) yang dibangunnya bersama Rano Karno sebagai ayah-anak yang sudah lama absen kebersamaan.
Kendati demikian, Si Doel tetap harus membuat satu keputusan, apalagi sebagai produk budaya yang sudah berusia 27 tahun dan begitu mengakar dalam benak bahkan hati begitu banyak penonton. Dengan sedikit ‘trik’ yang berniat mendamaikan semua pihak tapi sayangnya membuat final act-nya menjadi kurang mulus secara emosional (baca: terlalu terburu-buru jika dibandingkan pace yang diusungnya selama ini, apalagi klimaks film layar lebar kedua), Doel akhirnya membuat keputusan terbesar setelah 27 tahun. Sebuah keputusan yang bisa jadi memuaskan sebagian penonton dengan asas ‘move on’, membuka lembaran baru, tapi bisa juga mengecewakan bagi beberapa penonton lain yang masih berpegang teguh pada pilihan beserta argumen masing-masing. 





Namun pada akhirnya yang terpenting adalah bahwa tiap penonton perlu merefleksikan alasan dan tujuan dari pilihan yang dibuat. Dengan akar terhadap koneksi antar karakter yang sudah tertanam demikian kuat dalam benak penonton, semoga saja penonton bisa berkaca pada konflik Doel-Sarah-Zaenab sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama, baik sebagai Doel, Sarah, maupun Zaenab. Sekedar ‘baik’, ‘berniat baik’, atau ‘ingin semuanya baik-baik saja’ belum cukup menjadi ‘solusi’ dari sebuah konflik. Lebih tepat lagi, ketiganya bukanlah solusi, tapi hanyalah ‘modal awal’ dan/atau ‘tujuan’. Diperlukan proses dan pilihan yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai ‘solusi’-nya. Pun juga konsekuen terhadap apa pun dampak yang ditimbulkan atas pilihan tersebut ke depannya. 

Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.