Sebelum sukses dengan Habibie & Ainun (2012), nama Faozan Rizal dikenal sebagai penata kamera ‘langganan’ dari Hanung Bramantyo. Mulai Kamulah Satu-Satunya, Get Married, Legenda Sundel Bolong (ketiganya di tahun 2007), Ayat-Ayat Cinta (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2008), Sang Pencerah (2010), Kartini (2017), hingga Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2017). Sempat menggarap ‘proyek pesanan’ Say I Love You tahun 2019 lalu, Faozan akhirnya mendapatkan kesempatan mewujudkan film dengan visualisasi (yang boleh dikatakan) idealisnya, Abracadabra.
Diproduksi Fourcolours Films (dengan produser Ifa Iswansyah), Abracadabra didukung ensemble cast yang lebih dari cukup untuk menarik perhatian. Dari Reza Rahadian, Butet Kartaredjasa, Salvita Decorte, Ence Bagus, Imam Darto, Dewi Irawan, Jajang C. Noer, Egi Fedly, Lukman Sardi, Poppy Sovia, Paul Agusta, Landung Simatupang, saudari kembar Veronika-Valerie Krasnadewi, Asmara Abigail, Muhammad Adhiyat, Mbok Tun, Kill The DJ, Yati Pesek, hingga bintang tamu dari kritikus film Indonesia Yan Widjaya, dan sineas Ismail Basbeth. Dengan materi promo yang langsung membuat penonton teringat akan film-film Wes Anderson (khususnya The Grand Budapest Hotel), The Greatest Showman, dan bahkan The Imaginarium of Doctor Parnasus, terutama dari segi desain produksi dan color tone, mampu mengundang rasa penasaran penonton. Lantas seperti apa dan apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Om Pao, panggilan akrabnya selama ini, lewat film idealisnya ini?
Abracadabra membidik seorang pesulap bernama Lukman yang berniat pensiun. Di pertunjukan terakhirnya ia malah membuat seorang anak yang antusias menjadi relawan, Iwan, beserta sang ibu, Laila, menghilang lewat sebuah kotak ajaib peninggalan Sang Ayah yang juga pesulap, Lukito. Kepala Polisi yang sempat disuap oleh seseorang bernama Barnas untuk mencuri kotak berjuluk Yggdrasil saat pertunjukan terakhir Lukman tersebut akhirnya turun tangan menyelidiki kasus hilangnya Iwan dan Laila ini. Lukman sendiri bingung apa yang sebenarnya terjadi di pertunjukan terakhirnya tersebut. Barnas memanfaatkan peristiwa ini untuk sekalian menghilang dengan masuk ke dalam kotak Yggdrasil. Kepala Polisi makin bingung dalam melakukan penyelidikan. Begitu juga Lukman yang juga mencari tahu sendiri ada apa dengan kotak Yggrasil yang misterius tersebut.
Di kemasan terluarnya, Abracadabra menyuguhkan plot investigasi fantasi ‘ajaib’ dengan bumbu komedi sehingga tidak heran jika banyak yang membandingkannya dengan The Grand Budapest Hotel. Ada investigasi, kejar-kejaran, dan melibatkan cukup banyak karakter. Begitu mencoba menelisik sedikit lebih dalam, ada sentilan tentang aparat lewat peringai Kepala Polisi yang culas tapi mampu memancing tawa (minimal senyum lah), dan yang paling menarik, elemen politis tahun 1965 sebagai background cerita. Diceritakan bahwa Lukito, ayah Lukman menjadi salah satu orang Indonesia yang dikirim oleh Presiden Soekarno ke luar negeri untuk belajar apa saja dan memilih belajar sulap sirkus di Cina dan Rusia (keduanya kita tahu merupakan negara komunis) karena Istana (konon) membutuhkan hiburan. Namun kemudian ia malah menghilang tanpa jejak setelah masuk kotak Yggdrasil.
Yggrasil (secara etimologi berarti kuda Odin) sendiri merupakan salah satu mitologi Nordik, merupakan pohon kehidupan yang menghubungkan Sembilan alam, termasuk Asgard (kampung halaman Thor dong?), Vanaheim, dan Alfheim. Kotak Yggrasil bisa jadi secara fantasi benar-benar membuat siapa saja yang menghilang setelah masuk ke dalamnya berpindah ke alam lain. Bisa juga metafora dari ‘hilang’ sebagai korban politik 1965 ataupun termasuk dalam WNI-WNI yang bersekolah ke Eropa dan tidak bisa pulang kembali ke Indonesia (masih ingat yang terjadi di Surat dari Praha?).
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apa relevansi kemungkinan-kemungkinan metafora tersebut terhadap sosok karakter utama, Lukman, mengingat sepanjang film fokus plot jelas pada pengembangan karakternya, sama sekali tidak mengutak-atik Lukito ataupun misteri keajaiban kotak Yggrasil? Sebuah pertanyaan yang mungkin butuh penjelasan lebih sehingga Abracadabra terasa kurang utuh dalam menyampaikan apapun tujuannya.
Kalau saya boleh sedikit berspekulasi, bisa jadi Abracadabra sebenarnya mencoba menyampaikan konflik personal yang sejak awal dirasakan oleh Lukman sebagai karakter utama; ingin pensiun sulap tapi enggan untuk menghilang sebagaimana sang ayah. Bisa jadi konflik personal ini sebagai buntut dari kegundahan hati atas apa yang terjadi terhadap sang ayah (baca: luka batin). Apalagi tagline film, sebuah kotak pembawa kegagalan trik sulap atau pertunjukan terbaik seorang master sulap? Demikianlah yang mana persepsi Lukman mengakhiri karirnya sendiri sebagai pesulap dengan bantuan kotak Yggrasill; menganggapnya sebagai sebuah kegagalan trik sulap atau justru pertunjukan terbaiknya, terlepas yang mana persepsi dari penonton. Adegan penutup Lukman (yang juga sekaligus dijadikan adegan pembuka film) bisa jadi merupakan ekspresi perasaan dirinya setelah menutup karirnya sebagai pesulap, pertanda bahwa dirinya sudah 'berdamai' dengan kondisi kehilangan sang ayah selama berpuluh-puluh tahun.
Dengan kemasan yang seolah-olah penuh simbol, Abracadabra mungkin sulit untuk benar-benar dinalar korelasinya oleh penonton dewasa. Sebaliknya dengan label ‘Semua Umur’, kemasan terluar Abracadabra bisa jadi malah menjadi plot investigatif sederhana yang bisa dipahami atau bahkan seru dinikmati oleh penonton kecil dengan pola pikir polos, tak perlu logis-logis amat, dan tanpa perlu memikirkan simbol-simbol pretensius apapun. Cukup ikuti alurnya yang kerap kali ‘ajaib’ sebagaimana fantasi seorang anak yang arahnya bebas kemana pun. Yang penting ditutup dengan sebuah kelegaan atas konflik utama kemasan terluarnya meski menurut logika orang dewasa normal, kelewat out of nowhere.
Bagaimanapun, lewat Abracadabra Faozan sudah berani mengekspresikan idealisme visualnya dengan desain produksi a la Eropa abad 19, termasuk juga dukungan desain kostum dari Tex Saverio yang dikontraskan dengan warna-warni vibrant modern seperti pink, orange, dan cyan. Seperti yang pernah disampaikannya, sulap bisa mengubah Jogja (sebagai lokasi syuting keseluruhan film) menjadi Eropa. Lagi-lagi ini merupakan sebuah fantasi visual tanpa batas yang memang tak relevan jika ingin dilihat secara realistis, apalagi historis. Tak ada yang salah dalam konteks fantasi, apalagi dengan mengambil tema sulap yang sudah seyogyanya serba ajaib.
Begitu juga referensi-referensi komposisi shot, mulai lukisan The Last Supper dari Leonardo DaVinci, Wandered above the Sea of Fog dari Caspar David Friedrich, Young Woman at a Window dari Salvador Dalí, hingga Relativity dari M. C. Escher, anggap saja sebagai ekspresi visual Om Pao dalam memberikan tribute kepada karya-karya tersebut yang kebetulan bisa dimanfaatkan dalam adegan tanpa harus memikirkan relevansi makna sebagai sebuah simbol.
Maka tak ada yang salah pula jika para aktornya kemudian berlakon bak dalam sebuah pementasan teater, termasuk dalam pilihan gaya bahasa. Toh tema pertunjukan sulap di atas panggung juga bisa dianggap sebagai sebuah pertunjukan teater, bukan? Jadi kenapa tidak digabungkan menjadi sebuah pertunjukan?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Pembahasan film ini lebih lanjut di channel YouTube NoSkusi: