Kembang Api
Diskusi Bunuh Diri
Secara Menyeluruh
Lewat Satir Time Loop

Mencegah bunuh diri tidak pernah menjadi upaya yang mudah. Tiap orang punya kepribadian berbeda-beda, sehingga beragam respesi terhadap suatu masalah, dan beragam pula metode yang efektif dalam upaya pecegahannya. Salah langkah bukannya efektif, malah makin menenggelamkan subjek ke dasar depresi dan keputusasaan. Bahkan momok dosa dan neraka dari ajaran agama sudah tidak lagi relevan,  jadinya insensitif ketimbang solutif. Itulah yang menarik minat Frederica selaku produser Falcon Pictures ketika menemukan premise film Jepang, Sanshaku Tamashii atau 3 Ft Balls and Soul (2017) karya Yoshio Kato. Maka dibelilah hak buat-ulang-nya, menunjuk penulis skenario Alim Sudio untuk mengadaptasinya, dan Herwin Novianto (Tanah Surga… Katanya, Aisyah: Biarkan Kami Berbeda, Sejuta Sayang Untuknya) di bangku sutradara. Pemilihan cast pun tak main-main. Mulai Donny Damara, Marsha Timothy, Ringgo Agus Rahman, dan Hanggini. Jadilah Kembang Api yang siap tayang di bioskop mulai 2 Maret 2023.

Empat orang dengan nama samaran yang bertemu lewat grup media sosial sepakat berkumpul di sebuah gudang kecil untuk bunuh diri. Langit Mendung (Donny Damara) sebagai pemrakasa grup sudah menyiapkan sebuah bola bertuliskan pepatah Jawa “Urip Iku Urup” berisi ratusan kembang api yang siap meledak begitu detonatornya dipencet. Ketiga lainnya adalah Anggrek Hitam (Ringgo Agus Rahman), Tengkorak Putih (Marsha Timothy), dan terakhir, Anggun (Hanggini) yang ternyata masih SMA. Uniknya, begitu detonator dipencet dan bola meledak, bukannya langsung mati, keempatnya malah kembali ke masa saat Langit Mendung menyiapkan bola berisi kembang api. Mulailah mereka mencari tahu mengapa dan apa yang menyebabkan mereka terjebak dalam time loop terus-menerus. Seiring dengan waktu, mereka berempat justru saling berbagi masalah masing-masing yang menjadi alasan mereka ingin mengakhiri hidup.


Tak banyak film Indonesia yang mengusung konsep time loop. Yang masih cukup segar dalam ingatan kita mungkin hanya Sabar Ini Ujian (2020). Membuat film time loop pun tak mudah. Jika ditangani dengan kurang tepat, baik sejak dari penulisan skenario, pengarahan, hingga penyuntingan, berpotensi menjadi repetisi yang membosankan. Namun apa yang dilakukan Alim Sudio lewat skenario adaptasi yang disusunnya maupun penanganan Herwin Novianto di film ini tergolong pas dan tepat. Secara presisi dan bijak, Alim menyiapkan porsi tiap pengulangan punya tujuan apa yang hendak disampaikan masing-masing, tanpa menciderai mengalirnya plot yang natural dan rasional, juga minim pengulangan detail yang tak (begitu) penting (sebenarnya ini adalah kunci utama dari konsep time loop). Sementara Herwin pun piawai menjadikan ruang sempit dan pengulangan jauh dari kesan monoton lewat pace yang kian kencang dan memuncak, sebagaimana manusia yang pasti makin kehilangan kesabaran jika harus mengulangi hal yang sama berkali-kali. Eksplorasi angle kamera dan mengalirnya dialog-dialog serta gestur gerak tubuh yang ditampilkan para aktor membuat film mengalir lancar. Penonton pun dibuat terikat, melupakan fakta bahwa setting lokasinya hanya di satu ruang sempit dan para karakter mengalami kejadian yang berulang.

Dalam mengangkat tema bunuh diri, Kembang Api tergolong efektif dan menyeluruh. Dengan kemasan komedi satir yang menggelitik sekaligus menyentil, terutama alasan bunuh diri dan fenomena ‘adu penderitaan’ sebagai alasan bunuh diri dan yang menyepelekan alasan orang lain, jelas terlihat film tak ingin membawa penonton ke dalam suasana kelam dan depresif yang mungkin malah membuat penonton yang sempat berniat bunuh diri semakin ingin bunuh diri setelah menonton. Film justru seolah mengajak penonton berdiskusi tentang bagaimana menghadapi orang yang berniat bunuh diri, bagaimana cara agar subjek membuka diri untuk menceritakan masalahnya, bagaimana harus berempati, hingga bagaimana agar subjek mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Sementara bagi penonton yang sempat kepikiran bunuh diri, film mengajak berdiskusi tentang hakekat hidup dan what if-what if jika kita tetap memilih maupun urung bunuh diri. Semuanya terangkum lewat interaksi keempat karakter sentral yang mengalir natural dan jauh dari kesan menggurui. 


Sensitivitas dramatis Herwin membuat Kembang Api tetap punya momen-momen menyentuh yang membuat penonton benar-benar merasakan apa yang dirasakan karakter-karakter (tentu saja juga berkat performa keempat aktor utama yang tak perlu dipertanyakan lagi kualitasnya), tapi yang paling penting after-taste yang membuat penonton seolah seperti sedang dipeluk dan diperlihatkan harapan-harapan indah what if kita mengurungkan bunuh diri dan memilih melanjutkan perjuangan hidup. Sebuah konklusi dengan after-taste yang benar-benar memuaskan. Melegakan dan menyejukkan hati. Sebuah pencapaian directional yang tidak mudah tapi berhasil dicapai.

Hingga tulisan ini dibuat film asli, 3 ft Ball and Souls memang tidak tersedia di Indonesia, baik secara ilegal, apalagi legal. Namun bagi saya pribadi, tak penting untuk menonton versi aslinya terlebih dulu jika hanya bertujuan untuk membanding-bandingkan dan men-judge semata. Coba saja versi Indonesia ini, apakah berhasil (menggugah Anda) atau tidak. Jika nanti berkesempatan menonton versi aslinya, mungkin hanya untuk menemukan seberapa banyak yang dipertahankan dan diubah untuk menyesuaikan dengan kultur Indonesia. Apa pun hasilnya kelak, bagi saya pribadi Kembang Api berhasil dalam berbagai upayanya. Mulai adaptasi skenario yang relevan, kaya, menyeluruh, dan mengalir natural, hingga berbagai elemen yang mendukung visualisasinya menjadi ‘hidup’ dan ‘menyala’ sebagaimana film ini ditujukan bagi hidup para penontonnya.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.

Diberdayakan oleh Blogger.