The Jose Flash Review
Brightburn

Trend genre superhero di Hollywood pada era 2000-an membuat studio berlomba-lomba untuk mencari materi superhero yang menarik untuk diangkat di luar dominasi raksasa DC Comic dan Marvel Comic. Berbagai ‘variasi’ dan padu-padan formula pun dicoba. Misalnya pendekatan realistis sekaligus sadis di Kick-Ass, atau bahkan di Indonesia dengan kemasan tema LGBTQ di Madame X. Dari semua padu padan yang dicoba, formula anti-hero menjadi salah satu yang paling diminati dengan kemasan yang selalu mengklaim ‘berbeda’. Well, jika pada akhirnya sudah sering dilakukan, maka sudah tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baru dan berbeda lagi, bukan? Apalagi ternyata formula ini sudah ada sejak cukup lama. Sebut saja Spawn (1997), Hellboy (2004, 2019), hingga Suicide Squad dari DC Comic (2016). 

Upaya terbaru berasal dari James Gunn yang sempat dipecat dari franchise Guardians of the Galaxy oleh Disney paska twit kontroversialnya, tapi kemudian kembali direkrut. Ia mencoba men-twist kisah asal mula Superman dengan pendekatan gelap dan ‘jahat’ lewat Brightburn yang naskahnya disusun oleh adik kandung dan sepupunya, Brian Gunn dan Mark Gunn (Journey 2: The Mysterious Island). Dengan budget yang tergolong kecil, ‘hanya’ US$ 7 juta, Gunn yang sudah menyandang gelar ‘visioner’ (setidaknya oleh tim promosi Sony Pictures) mempercayakan penggarapan ke tangan sutradara muda, David Yarovesky yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara video musik Julian Parretta (Why dan If I Ever Feel Better) dan Korn (Hater) maupun film panjang pertamanya, The Hive yang dibintangi adik James Gunn yang lain lagi, Sean Gunn. Aktor cilik, Jackson A. Dunn yang baru saja kita lihat sekilas sebagai Scott Lang berusia 12 tahun di Avengers: Endgame, dipercaya mengisi peran utama. Didukung Elizabeth Banks (franchise Pitch Perfect, The Hunger Games, Power Rangers (2017) dan Bosley di Charlie’s Angels versi terbaru mendatang), David Denman (serial The Office, The Gift, 13 Hours, Logan Lucky, Power Rangers (2017)), dan Matt Jones (serial Breaking Bad, Home, Cooties, The Layover).
Bertahun-tahun menikah tanpa dikaruniai anak, pasangan Kyle dan Tori Breyer merasa bak doanya dijawab oleh Yang Maha Kuasa ketika sebuah benda asing jatuh dari langit suatu malam dan di dalamnya terdapat seorang bayi. Keduanya kemudian memberinya nama Brandon dan mengasuhnya dengan penuh cinta layaknya anak sendiri. Ketika Brandon menginjak usia 12 tahun, perilaku manisnya selama ini mendadak berubah. Satu per satu teror menghampiri orang-orang di sekitarnya hingga dijemput ajal secara mematikan. Awalnya tak percaya dan membela Brandon, Kyle dan Tori baru sadar ketika semuanya hampir terlambat. Nyawa mereka berdua pun turut terancam.
Sebagaimana kisah origin Superman, Brightburn membuka kisahnya secara identik. Pengenalannya disampaikan dengan sangat terbata-bata, dimana antar adegan terasa sangat inkoheren dan lompat-lompat. Ketika karakter Brandon menginjak usia 12 tahun, penceritaan mulai terasa lebih lancar, tapi bukan berarati tanpa kendala sama sekali. Sejak titik tersebut plot justru tak banyak berkembang selain teror demi teror yang menimpa orang-orang di sekitar Brandon. Mungkin Brightburn memang berniat dibuat sebagai sekedar film thriller mencekam dengan adegan-adegan sadis. Bak kisah origin Superman Dengan rasa The Omen, formula yang sebenarnya diulang-ulang hingga memenuhi lebih dari separuh porsi film; pembangunan tensi lewat silent moment hingga kemudian mendadak muncul jumpscare yang tak terduga (bisa juga dianggap out of nowhere jika dipandang dari sisi negatif). Namun setidaknya berkat momentum tepat dan penanganan David Yarovesky, kesemuanya masih berhasil menggedor adrenalin sekaligus membuat penonton terhenyak dari bangkunya. Tentu saja bagi penggemar gore, Brightburn juga berhasil memuaskan dahaga ‘berdarah’ lewat adegan-adegan gore yang cukup kreatif dan membuat ngilu. Apalagi LSF meloloskan kesemuanya tanpa potongan sedikit pun (mungkin faktor kecelakaan, bukan aksi manusia secara langsung. Kalaupun ada yang faktor aksi manusia secara langsung tapi ranahnya fantasi dimana aksi yang sama jika dilakukan di dunia nyata tidak menyebabkan kematian).
Kembali berbicara pengembangan plot, Brightburn agaknya juga abai tentang arah yang mau dituju oleh film. Sudut pandangnya saja berganti-ganti, terkadang dari sisi Brandon, terkadang juga dari Tori. Terkesan sepele tapi justru pemilihan sudut pandang ini sebenarnya bisa menentukan arah dan tujuan yang ingin dicapai. Apakah aspek perkembangan psikologis Brandon, parenting, atau ikatan batin orang tua dan anak, setidaknya sebagaimana yang dilakukan oleh Chronicle. Jangankan ketiganya, Brightburn bahkan tidak terlalu peduli tentang asal-usul Brandon sebagai sosok ‘asing’. Jadi jangan mengharapkan ada kejelasan tentang asal-usul Brandon ataupun penyebab mengapa perangai Brandon tiba-tiba berubah. Penonton seolah hanya boleh mengetahui bahwa Brandon was simply a sinister kind. That’s all. Penonton boleh menakuti sosok Brandon tapi tak sedikit pun bersimpati terhadap sosoknya. Bahkan ketika ada kesempatan untuk menghadirkan momentum ikatan batin orang tua-anak yang berpotensi membuat segalanya menjadi lebih terarah dan bermakna (that ‘kryptonite’ scene, tetap saja akhirnya dipatahkan begitu saja. Pada akhirnya, Brightburn melewatkan banyak potensi kedalaman dan menjadi hanya sekedar hiburan horror thriller mencekam lewat sosok Brandon dan adegan-adegan kematian tragis yang bikin ngilu, tapi at some point, morally very wrong.
Dengan style yang banyak mengingatkan saya akan gaya Zack Snyder, terutama  ketika menggarap DCEU (konon katanya film ini merupakan mocking terhadap DCEU menurut visi Zack), Brightburn di mata saya terasa style over substance. Untung saja lagu tema yang diputar saat credit title, bad guy dari Billie Eilish, memang semakin memperkuat kesan style over substance tapi juga sekaligus membuat kesan penutup yang ‘asyik’ dan gokil.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.