Autobiography
Status Militer,
Momok yang Meneror
Sekaligus Menular

Arogansi militer kerap menjadi objek kritik lewat media film di berbagai belahan dunia. Di Indonesia memang belum banyak karena adanya pembatasan dan pengawasan dari LSF dalam menampilkan citra aparatur negara sisa-sisa propaganda Orde Baru dimana militer memegang peranan penting bagi negara. Dalam ingatan saya ada terakhir ada Istirahatlah Kata-Kata karya Yoseph Anggi Noen yang merupakan interpretasi bebas dari otobiografi aktivis, Alm. Wiji Thukul. Satu adegan di tukang cukur rambut yang (kebetulan juga) dimainkan oleh Arswendy Bening Swara terus menghantui benak saya sampai sekarang. Kini muncul film yang lebih spesifik dan berani menampilkan sosok ‘momok militer’ lewat Autobiography karya Makbul Mubarak yang mana ini merupakan debut film panjangnya setelah selama ini dikenal sebagai sineas film pendek pemenang Piala Citra, Ruah. (Masih) menghadirkan Arswendy Bening Swara yang entah kenapa seringkali memberikan vibe sosok misterius yang menakutkan tanpa perlu memperlihatkan adegan eksplisit lewat peran-perannya, Kevin Ardilova yang karir aktingnya kian diperhitungkan setelah Yuni, Yusuf Mahardika, Rukman Rosadi, Lukman Sardi, dan penampilan terakhir Alm. Gunawan Maryanto yang kali ini hanya mengisi peran cameo

Mendapatkan pendanaan dari beberapa program internasional seperti Torino Film Lab 2017, Locarno Film Festival, juga berbagai negara, meliputi Simgapura, Polandia, Jepang, Thailand, Jerman, Perancis, dan Filipin, Autobiography juga sukses mengantongi berbagai penghargaan bergengsi internasional seperti FIPRESCI Prize-Orizzonti and Parallel Sections di Venice Film Festival 2022, Tokyo FILMex, Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022, dan Skenario Asli Terbaik di FFI 2022. 19 Januari 2023 Autobiography akhirnya mendapatkan kesempatan menyambangi penontonnya di bioskop komersial Indonesia.


Rakib (Kevin Ardilova) yang bertugas menjaga rumah kedatangan tuan rumahnya, Pak Purna (Arswendy Bening Swara), seorang pensiunan jenderal yang sedang mencalonkan diri menjadi bupati di desanya. Rakib sudah dianggap seperti anak sendiri setelah sang ayah (Rukman Rosadi), dipenjara. Merasa dekat dengan Pak Purna, Rakib mulai bertingkah bak Sang Jenderal, apalagi setelah dipuji teman-temannya berkat pemberian seragam bekas dari Sang Jenderal. Maka ketika ada oknum misterius yang merusak atribut kampanye Pak Purna, Rakib menawarkan diri menginvestigasi sang pelaku. Ketika mendapati sang pelaku, Agus (Yusuf Mahardika), pemuda desa yang kecewa dengan nasib keluarganya yang tidak mendapatkan perhatian bantuan dari Pak Purna, dihajar habis-habisan oleh Sang Jenderal, ketakutan mulai menghadang. Diam-diam ia menyusun rencana untuk ‘mengatasinya’.

Dijual sebagai film ‘seram tanpa setan’, promo film bergenre drama thriller ini mencoba menitikberatkan pada suasana tegang dan seram dari sosok Pak Purna yang mewakili arogansi status (mantan) militer. Padahal sebenarnya film menawarkan sudut pandang dan topik yang jauh lebih mendalam lewat karakter utama Rakib. Bagaimana Rakib sebagai pemuda tanpa pendidikan mumpuni dan latar belakang keluarga kurang baik menyikapi pengaruh kedekatan dengan sosok ‘berkuasa’. Sempat ‘tertular’ arogansinya, muncul ketakutan, bagaimana ia mengatasi ketakutan tersebut, hingga akhirnya memanfaatkan kesempatan untuk sepenuhnya menerima status ‘berkuasa’ tersebut. Bagaimana sebuah status militer yang bisa menjadi momok yang meneror, tapi pada akhirnya juga bisa menularkan. Sebuah proses pembentukan kepribadian karakter Rakib yang menjadi highlight film, digulirkan dengan pace yang sebenarnya tergolong pas jika ditilik dari kebutuhan pengembangan plot, tapi tentu saja terlalu lambat bagi penonton umum, sebagaimana kebanyakan film yang mendapatkan label ‘film festival’.


Secara teknis, Autobiography memanfaatkan terutama pergerakan kamera yang efektif bercerita dari sudut pandang apa yang dilihat dan dirasakan Rakib berkat sinematografi superior dari Wojciech Staron, sinematografer asal Polandia. Desain suara yang dikerjakan di Perancis serta score music dari Bani Haykal membangun atmosfer ketegangan dan suasana tak mengenakkan sepanjang film meski secara penanganan timing dan klimaks Makbul masih tergolong biasa saja dalam memainkan adrenalin penonton. Satu adegan superior di Istirahatlah Kata-Kata masih jauh lebih mencekam meski sama-sama mengandalkan kharisma akting seorang Arswendy.

Di jajaran pemeran, Arswendy seperti biasa effortlessly menampilkan kharisma misterius dan mengintimidasi. Justru penampilan Kevin Ardilova yang diposisikan sebagai karakter sentral dengan porsi pengembangan paling banyak dan cukup signifikan, yang patut mendapatkan apresiasi lebih. Tantangan akting yang ditawarkan berhasil diemban dengan maksimal. Sementara pendukung lainnya, seperti Yusuf Mahardika, Lukman Sardi, dan Rukman Rosadi yang memang tak diberi terlalu banyak layer karakter, setidaknya mampu menghidupkan suasana tersendiri yang menarik di tiap kali penampilannya.


Dengan durasi 115 menit, Makbul sebenarnya menawarkan sebuah sudut pandang cerita yang unik, menarik, dan memantik diskusi lebih jauh tentang bagaimana hakekat manusia menyikapi arogansi sebuah status (dalam hal ini, militer), sebagai momok yang meneror sekaligus ego yang menular. Tak heran jika banyak penghargaan lebih banyak untuk kategori penulisan skenario asli. Konsistensi fokus sejak awal terjaga hingga konklusi di ending dengan proses pengembangan yang juga disusun sangat baik. Namun sebagai sutradara yang tugasnya membangun atmosfer teror terutama lewat pacing dan timing, sebenarnya masih tergolong biasa. Bagus, tapi agaknya berlebihan jika disebut superior maupun exceptional. Bagus, menawarkan sesuatu yang menarik sebagai variasi perfilman Indonesia, baik dari segi genre, tema, dan gaya bertutur, tapi setidaknya bagi saya pribadi, tak juga terlalu istimewa. 

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.

Diberdayakan oleh Blogger.