3.5/5
Action
Based on a True Event
Disaster
Drama
Family
Hollywood
Humanity
Oscar 2017
Pop-Corn Movie
Survival
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Deepwater Horizon
Jika kita di Indonesia sempat
dihebohkan oleh kasus Lumpur Lapindo yang menjadi bencana nasional dan bahkan
menjadi polemik hingga bertahun-tahun, ‘bencana’ yang berkaitan dengan
pengeboran minyak ternyata juga pernah terjadi di Teluk Meksiko pada 2010 lalu.
Bahkan mungkin jauh lebih buruk. Bencana yang dinobatkan sebagai bencana kebocoran
minyak terbesar di dunia sekaligus bencana lingkungan terbesar sepanjang
sejarah Amerika Serikat ini menewaskan 11 pekerja dan 17 lainnya luka-luka.
Tahun 2011, ketika kasus ini belum sepenuhnya mencapai titik final di
pengadilan (yang mana baru berakhir pertengahan 2015 lalu), Summit
Entertainment, Participant Media, dan Image Nation membeli hak berdasarkan
artikel yang ditulis oleh David Barstow, David S. Rohde, dan Stephanie Saul di
The New York Times. Matthew Sand (Ninja
Assassin) ditunjuk untuk menyusun naskahnya bersama dengan Matthew Michael
Carnahan (The Kingdom, World War Z). Sementara Peter Berg (The Rundown, Friday Night Lights, The
Kingdom, Hancock, Battleship, dan
Lone Survivor) yang cukup
berpengalaman menyandingkan tema aksi dengan drama kemanusiaan akhirnya
ditunjuk sebagai sutradara, setelah J. C. Chandor (All is Lost) mundur
karena alasan perbedaan kreativitas. Berg menggandeng kembali Mark Wahlberg,
menyusul Dylan O’ Brien, Kurt Russell, John Malkovich, Kate Hudson, dan bintang
Hispanic berbakat, Gina Rodriguez (yes, she reminded me of Michelle Rodriquez
and shared the same last name, but no. They’re not siblings!
Tak ada yang menyangka bahwa
kembalinya tim perusahaan penambangan Transocean ke Deepwater Horizon, sebuah
unit pengeboran minyak di lepas pantai Louisiana akan berakhir bencana besar.
Penambangan yang mereka lakukan untuk BP ternyata tak melalui proses uji yang
semestinya. Alhasil terjadi luapan lumpur yang akhirnya mengakibatkan ledakan
dahsyat dan meluluh-lantakkan penambangan Deepwater Horizon. ‘Neraka’ belum
berakhir karena proses evakuasi tak mudah dilakukan. Tak hanya lokasi mereka
yang jauh dari daratan, tapi juga kebocoran minyak yang tentu bisa
mengakibatkan bencana yang lebih besar. Salah satu yang berjasa dalam proses
evakuasi adalah Mike Williams, seorang teknisi Transocean yang juga seorang
suami dan ayah, Jimmy Harrell yang sejak awal menentang keras upaya analis BP,
Donald Vidrine, untuk melewatkan uji coba yang semestinya, dan Andrea Fleytas,
satu-satunya kru wanita di antara para pria.
Bumbu kemanusiaan, terutama
dengan setup keluarga memang sudah sejak lama menjadi formula dasar dari genre
disaster. Wajar, mengingat drama keluarga bisa dengan mudah relate dengan range
penonton yang begitu luas sehingga mudah pula untuk memancing emosi penonton. Deepwater Horizon (DH) pun tetap
mempercayai formula ini. Ia membangun setup cerita dari keluarga karakter Mike.
Mulai sang putri yang bangga dan menceritakan pekerjaan sang ayah, sementara
sang istri, Felicia, di-‘dekatkan’ ke penonton lewat relasi yang cukup intim,
terutama lewat tatapan mata. Karakter Andrea pun diberi sedikit ‘setup’ di
awal. Sayangnya, setup-setup ini rupanya hanya untuk syarat di genre sejenis.
Nyatanya ini semua tak dimanfaatkan secara maksimal di titik klimaks sebagai
materi untuk menyentuh penonton. Terlihat ada upaya ke arah sana, tapi tak
pernah benar-benar terasa sebagai elemen yang penting. Efek psikologis pasca
bencana pun sempat ditampilkan, tapi lagi-lagi hanya sebagai ‘syarat ada’, tak
tergali dengan baik maupun dipresentasikan dengan porsi yang benar-benar mampu
memancing emosi penonton.
Naskah (dan juga directing Berg)
tampaknya juga kurang mampu secara luwes menjelaskan teknis dari pemicu bencana
sehingga membuat penonton yang awam dengan dunia pertambangan mungkin tak
sepenuhnya paham apa yang terjadi. Saya hanya sekedar tahu ada proses ini-itu
yang harus dijalani sebagai uji coba, tanpa benar-benar paham cara kerjanya
seperti apa dan tujuannya untuk apa. Padahal untuk menjelaskan teknis kerja
pertambangan yang otomatis berkaitan dengan penyebab bencana, DH meluangkan
durasi sekitar 1 jam pertama, sebelum akhirnya masuk ke pertunjukan utamanya.
Kendati demikian daya tarik utama
DH ternyata terletak pada suguhan adegan bencana utama yang membuat saya harus
mengakuinya sebagai film bencana yang paling horror selama beberapa tahun
terakhir, atau malah sepanjang masa. Berg masih piawai dalam menggarap adegan
bencana utama dengan alur serta timing yang serba pas. Tiap detail detik-detik
bencana tervisualisasi dengan begitu mengerikan, membuat penonton seolah
benar-benar berada di tengah kejadian. Harus menghindari objek-objek berat yang
runtuh, kobaran api yang siap menyambar kapan saja, dan yang menurut saya paling
parah ngerinya: serpihan pecahan kaca yang berhamburan.
Kendati tak ada perkembangan
karakter yang benar-benar diperhatikan, performa aktor-aktor DH masih mampu
mengundang simpati penonton. Tentu saja Mark Wahlberg sebagai Mike berada di
lini terdepan yang porsinya paling mendominasi, termasuk as a husband and a
father meski pada proporsi yang seadanya. Lini berikutnya ada Kurt Russell
sebagai Mr. Jimmy yang dengan mudah mendapatkan simpati penonton karena
keteguhan moral dalam menjalankan profesinya. Gina Rodriguez sebagai Andrea
yang notabene satu-satunya karakter wanita di kru Transocean, masih mampu
mencuri perhatian penonton lewat tampilan fisiknya yang ‘unik’ dan pembawaannya
yang asyik. Seperti yang saya katakan sebelumnya, banyak mengingatkan saya akan
Michelle Rodriguez di awal karirnya. John Malkovich sebagai antagonis Donald
Vidrine agak terkesan mubazir. Hanya efektif sebagai villain licik semata, tak
ada kedalaman maupun kharisma villain yang benar-benar kuat. Terakhir,
penampilan Kate Hudson sebagai Felicia, istri Mike yang tergolong minim tapi
masih mampu mencuri perhatian saya. Ada gimmick di film yang membuat saya
ikut-ikutan terpesona oleh sorot matanya.
Dalam menghidupkan adegan
bencananya, DH utamanya didukung oleh sound design yang benar-benar luar biasa.
Apalagi dengan fasilitas Dolby Atmos yang benar-benar dimanfaatkan di hampir
sepanjang film. Mulai suara bising helikopter hingga suasana di tengah-tengah
kebakaran yang begitu detail dan hidup. Malah sound design menjadi kekuatan
terbesar dari DH. Sinematografi Enrique Chediak tergolong efektif dalam
menghadirkan suasana kengerian yang mencekam dan jump-scare, didukung editing
Gabriel Fleming dan Colby Parker Jr. dengan timing yang serba pas, baik untuk
adegan thrilling maupun drama kemanusiaannya. Scoring music dari Steve Jablosky
lebih dari cukup untuk mengiringi adegan-adegan horror maupun dramatis, kendati
tak ada yang benar-benar remarkable.
DH memang masih menggunakan formula-formula
standard untuk membangun drama kemanusiaan di balik bencana. Itupun tak
benar-benar dikembangkan menjadi elemen yang kuat. Kekuatan utamanya justru
terletak pada elemen yang menjadi komoditas utama sejak awal: adegan bencana.
Jika Anda penggemar genre disaster, DH jelas termasuk film wajib tonton di
teater dengan dukungan tata suara terbaik. Even better, in Dolby Atmos. I don’t
know about you, but I think DH was the most horrifying disaster movie in recent
years.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Visual Effects - Craig Hammack, Jason Snell, Jason Billington, and Burt Dalton
- Sound Editing - Wylie Stateman and Renée Tondelli