4/5
Adventure
Based on Book
coming of age
Dolby Atmos
Drama
Europe
Family
Fantasy
Hollywood
Kid
Mother-and-son
Pop-Corn Movie
Psychological
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
A Monster Calls
Patrick Ness, penulis novel asal Amerika Serikat yang hijrah
ke London, dikenal lewat novel anak Monsters
for Men (2011) dan young-adult A
Monster Calls (AMC-2012). Khusus yang saya sebutkan terakhir, AMC, adalah
sebuah novel yang awalnya atas ide Siobhan Dowd ketika sekarat. Setelah
meninggal dunia tahun 2007, Patrick Ness ditunjuk untuk menuliskan ceritanya
menjadi sebuah novel dengan ilustrasi dari Jim Kay. AMC berhasil memenangkan
medali Carnegie dan Greenaway di tahun 2012 serta sejumlah penghargaan buku
bergengsi lainnya, termasuk British Children’s Book of the Year dan masuk
daftar terbaik akhir tahun dari The Independent, Chicago Sun-Times, dan The
Wall Street Journal. Tentu pencapaian setinggi ini menjadi materi yang menarik
untuk diangkat ke layar lebar. Adalah Focus Features yang beruntung mengamankan
haknya. Sutradara Spanyol Juan Antonio Bayona yang populer secara internasional lewat The Orphanage (2007) dan The Impossible (2012) ditunjuk menjadi
sutradara, sementara naskah adaptasinya dikerjakan sendiri oleh Patrick Ness.
Aktor cilik Lewis MacDougall (Pan)
ditunjuk mengisi peran utama, Conor, sementara nama-nama yang lebih populer
seperti Felicity Jones, Toby Kebbell, bahkan sampai sesenior Sigourney Weaver
dan Liam Neeson, dipilih untuk menambah daya tarik film. Di Amerika Serikat,
AMC dijadwalkan tayang 7 Januari 2017 (mungkin dengan pertimbangan dekat award
season) nanti. Sementara kita di Indonesia beruntung bisa menyaksikannya lebih
dulu.
Conor O’Malley yang dianggap freak dan menjadi bahan bulan-bulanan
di sekolah ternyata sedang menghadapi masalah hidup yang jauh lebih rumit. Ia
hanya tinggal bersama ibunya yang sedang mengidap penyakit stadium akhir. Di
usianya yang tak lama lagi dan segala bentuk pengobatan tidak berhasil, sang
ibu tak bisa memberikan support sebagaimana mestinya kepada Conor. Kedatangan
sang nenek juga tak memberikan kontribusi apa-apa. Conor menganggap sang nenek
terlalu kolot dan strict. Sementara sang ayah yang sudah pindah ke Amerika
Serikat juga tak bisa menampungnya karena sudah punya keluarga lagi. Di tengah
himpitan keadaan serba tak menguntungkan ini Conor tiba-tiba didatangi oleh
sosok monster pohon raksasa yang berniat menyampaikan tiga cerita sebelum
menagih Conor bercerita tentang mimpi buruk yang dialaminya beberapa hari
terakhir. Lewat monster pohon raksasa ini Conor belajar banyak hal yang tak
bisa ia dapatkan dari kedua orang tuanya.
Basically, AMC adalah sebuah kisah pergulatan coming-of-age
dengan himpitan keadaan yang serba tak mendukung, yang disampaikan lewat
fantasi yang visioner. Tak heran jika J.A. Bayona menjadi sosok yang tepat
untuk memvisualisasikannya. Benar saja, di tangan Bayona AMC menjadi sajian
visual grandeur yang cantik dengan momen-momen emosional yang sangat kuat
sebagai hasil dari metafora dongeng yang relevan. Tak hanya lewat tampilan
visual effect yang memanjakan mata, tapi juga visualisasi dongeng lewat lukisan
cat air yang ‘dihidupkan’ sehingga menjadi berlipat-lipat kecantikannya.
Namun tentu di balik visualisasi yang luar biasa, kekuatan
utama AMC adalah ceritanya yang memang menarik dan punya value yang luar biasa
dan dengan relevansi tema yang realistis. Mulai soal dealing with bully,
melihat baik-buruk hitam-putih lewat sudut pandang yang berbeda, sampai yang
paling penting di sini; mengikhlaskan segala yang terjadi dalam hidup. Kesemua
value penting yang menjawab (atau lebih tepatnya, memandu) karakter Conor lewat
dongeng-dongeng yang bagi penonton dewasa seperti saya pun jadi merenung. Luar
biasa tajam, menggugah, sekaligus menyentuh. Kemudian jika mencoba untuk
menganalisis kehadiran sosok sang monster pohon raksasa yang memang tidak
dijelaskan secara gamblang, Anda akan menemukan kajian psikologis yang mendalam
dan rasional. Tentu kekaguman terhadap kisah AMC menjadi semakin bertambah.
Bayona pun dengan piawai menyusun kesemuanya menjadi satu rangkaian yang serba
seimbang, runtut, dan saling mendukung satu sama lain.
Mengisi peran utama, Lewis McDougall sebagai Conor mampu jadi
penyedot utama perhatian penonton. Meski memang tak terlalu istimewa pula,
McDougall mampu menghidupkan karakter Conor yang depresif, punya ketakutan
besar tapi juga rebellious, sesuai dengan kebutuhan serta porsinya. Performa
Felicity Jones sebagai sang ibu memberikan dukungan sesuai kebutuhan cerita. Sementara
Sigourney Weaver sebagai sang nenek menurut saya memberikan performa yang
seperti biasa, mengagumkan, tentu dengan porsi karakter yang memang cukup
penting. Transformasi dari nenek yang ketus dan tegas menjadi sosok rapuh dan
penyayang mampu menghangatkan film. Toby Kebbell sebagai sang ayah juga
memberikan performa yang pas sesuai kebutuhan cerita. Bahkan salah satu line
penting terlontarkan dari karakter yang ia perankan dengan level kharisma yang
lebih dari cukup. Terakhir, tentu pantang melewatkan voice talent Liam Neeson
sebagai sang monster pohon raksasa yang punya kekuatan kharisma tak
tertandingi. Mengancam di satu momen sekaligus hangat di momen yang lain.
Visualisasi AMC memang termasuk one of a kind. Tak hanya
berkat visual effect yang mumpuni (terutama dalam menghidupkan sosok monster
pohon raksasa), dan lukisan-lukisan cat air yang ‘dihidupkan’, tapi juga
sinematografi Oscar Faura yang tak hanya efektif dalam bercerita, tapi juga
memberikan efek grande di banyak adegan serta perfect shot indah. Editing Jaume
Martí dan Bernat Vilaplana pun membuat plotnya mengalir lancar dengan pace
tepat pula. Scoring Fernando Velázquez yang powerful memperkuat adegan-adegan
yang ada, mulai yang melankoli sampai yang mendebarkan. Terakhir dan menurut
saya menjadi salah satu elemen terkuat AMC, yaitu sound design yang begitu
detail (dengarkan crack ranting pohon atau gemuruh tanah yang terbelah),
terdengar dengan deep bass sehingga terkesan serba bombastis dan pembagian
kanal surround yang tak kalah mumpuni. I wonder how it will sound in Dolby
Atmos auditorium.
Sama seperti The
Orphanage dan The Impossible yang
menurut saya termasuk karya visual klasik, AMC pun menjadi karya yang luar
biasa dari seorang J.A. Bayona. Memikat lewat visual, dengan value-value yang
relevan dan penting terutama sebagai sebuah kisah coming-of-age at the worst
case scenario. Indah sekaligus tought-provoking dan moving. Sayang jika sampai
melewatkan pengalamannya di layar lebar dengan dukungan tata suara mumpuni.
Lihat data film ini di IMDb.