The Jose Flash Review
Blair Witch

Meski mungkin bukan yang pertama kali ada, tak bisa dipungkiri bahwa The Blair Witch Project (BWP-1999) adalah salah satu fenomena terpenting dalam sejarah perfilman dunia. Setidaknya, ia telah mendobrak metode mockumentary menjadi sajian yang layak diputar di layar lebar, yang pada akhirnya banyak film dengan metode pembuatan film sejenis hingga saat ini. Tak hanya untuk genre horror, tapi bahkan sci-fi. Pilihan membuatkan sekuel berformat film narasi ‘biasa’, Book of Shadows: Blair Witch 2 (2000) mungkin sebuah kesalahan, apalagi ternyata tidak menawarkan sesuatu hal baru yang menarik pada franchise. Beruntung kemudian seorang sineas horror, Adam Wingard , yang dikenal lewat segmen-segmennya di antologi macamV/H/S (segmen Tape 56 – 2012), The ABC’s of Death (segmen Q is for Quack – 2012), dan V/H/S 2 (segmen Phase I Clinical Trials – 2013), serta home invasion thriller You’re Next (2011), menanyakan kepada pembuat film aslinya. Gayung bersambut, Lionsgate selaku studio tertarik untuk membuatkan sekuel. Penulis naskah Simon Barrett yang menjadi partner tetap Wingard kemudian mem-pitch konsep cerita dan melakukan berbagai riset untuk menjadikan sekuel BWP seseram mungkin.

Namun semua rencana ini berhasil mereka rahasiakan dari publik. Bahkan selama produksi sampai promo awal, mereka menggunakan judul palsu The Woods. Mendekati tanggal perilisan barulah mereka membuka rahasia bahwa The Woods sebenarnya berjudul resmi Blair Witch (BW), yang merupakan sekuel langsung dari BWP yang fenomenal it. Ada alasan mengapa memilih untuk merahasiakannya. Bisa dimaklumi jika mereka menghindari komentar negatif yang diprediksi bakal muncul bahkan sebelum mereka merilis materi promo apa-apa. Terbukti strategi promo seperti ini justru membuat banyak penonton penasaran dan antusias dengan kemunculan BW. Apalagi dengan trailer yang ternyata sangat menjanjikan.

Sebuah potongan rekaman video yang diunggah di YouTube membuat James Donahue penasaran. Pasalnya di rekaman itu muncul sekilas wajah yang ia yakini sebagai kakaknya, Heather, yang hilang di hutan dekat Burkittsville 20 tahun lalu (kejadian di BWP). Yakin sang kakak masih hidup, James mengumpulkan sahabat-sahabatnya; Peter Jones, Ashley Bennett, dan Lisa Arlington, seorang mahasiswi film yang sedang mencari subjek untuk tugas film dokumenter. Dengan peralatan yang tergolong proper, termasuk kamera mini di setiap personel dan sebuah drone, serta petunjuk dari si pengunggah video, warga lokal bernama Lane dan Talia, mereka nekad masuk ke hutan yang paling ditakuti itu. Satu per satu teror mulai bermunculan. Mulai boneka ranting berbentuk manusia yang tiba-tiba muncul mengelilingi camp ground mereka sampai satu per satu mengalami hal aneh dan menghilang. Fakta-fakta baru seputar misteri penyihir Blair memang terkuak, tapi yang tidak kalah pentingnya tentu saja bagaimana bisa keluar dari hutan Burkittsville hidup-hidup.

Sayang, fenomena BWP tak pernah bisa dirasakan di Indonesia karena filmnya sendiri bahkan tak pernah mampir di bioskop kita. Namun tentu saja beberapa pecinta film pada akhirnya menemukan jalan untuk bisa menjadi bagian dari fenomena tersebut. Saya salah satunya. Ketika itu ia menjadi menarik karena kesan real dari teknik found-footage masih tergolong baru. Soal seram, relatif. Saya tak menemukan satu pun yang benar-benar mengerikan. Apalagi memang tak ada penampakan yang blak-blakan muncul sepanjang film. Penonton diajak untuk berimajinasi sendiri seperti apa wujudnya si penyihir Blair ini melalui reaksi para aktor-aktris-nya. Tahun berganti tahun, semakin banyak film horror yang memanfaatkan konsep mockumentary/found-footage hingga sebenarnya sempat berada pada titik jenuh. Di sisi lain, saya akhirnya memperhatikan elemen-elemen apa saja yang bisa membuat film found-footage menjadi menarik, seram, tanpa meninggalkan kaedah-kaedah storytelling yang layak. Wingard dan Barrett rupanya melakukan PR-nya dengan baik. BW memang masih punya gaya visual a la mockumentary/found-footage yang kental, tapi terasa sekali dilakukan dengan penataan yang jauh lebih rapi. Mulai susunan pengadeganan, angle (berbagai jenis) kamera yang dipilih untuk mewakili tiap adegan, hingga momentum-momentum yang menjadi salah satu faktor terpenting dalam film horror. Semuanya begitu terasa tertata rapi dan nyaman untuk diikuti ketimbang kebanyakan found footage yang sering dikeluhkan karena shaky-cam yang biking pusing. Yes BW has shaky cam, tapi masih aman untuk dinikmati.

Tak ketinggalan pula Wingard-Barrett memasukkan fakta-fakta baru seputar mitos penyihir Blair yang menurut saya mampu menjelaskan mengapa dugaan Heather masih hidup masuk akal dan layak untuk dicari tahu sebagai materi utama film. Faktor ‘hope’ pun muncul dan membuat penonton lebih betah mengikuti karena penasaran. Sayangnya, elemen-elemen cerita baru yang sebenarnya menarik ini hanya digunakan untuk ‘menjelaskan’, tak sampai benar-benar dieksplor atau dikembangkan untuk memperkaya cerita. Nevertheless, bagi saya ‘penjelasan’ ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk berkesimpulan bahwa BW masih punya materi yang menarik untuk disampaikan. Tidak hanya sekedar pengulangan (ataupun komersialisasi) dari apa yang sudah dicapai oleh BWP.

Untuk urusan jumpscare dan thrilling moment yang menjadi elemen paling favorit kebanyakan penonton dari film horror, BW tergolong cukup berhasil. Tak sampai menjadi film horror yang luar biasa mengerikan atau menyeramkan, tapi lumayan untuk ‘olahraga jantung’ ringan, terutama karena penonton dibuat takut secara psikologis meski sebenarnya tak ada penampakan yang berarti. Bagi yang pernah atau malah sering masuk hutan, BW knows exactly what’s really scary from its main material. Sementara untuk jumpscare, sayangnya harus banyak bergantung pada suara noise alami khas found-footage yang sengaja diedit (baca: dipotong kasar).

Dalam pemilihan cast, BW tampak tak terlalu tertarik untuk menggandeng aktor-aktris terkenal. In this kind of case, I guess it’s not really necessary anyway. Kesemuanya (which is total hanya ada 6 pelakon) punya porsi yang cukup untuk memikat, atau setidaknya mendapatkan simpati penonton. Sayangnya, kesemuanya tampil biasa saja. Very standard, hingga sulit untuk bisa mengingat sosok tiap pemerannya. Kendati demikian, James Allen McCune sebagai James, Corbin Reid sebagai Ashley, Wes Robinson sebagai Lane, dan Valorie Curry sebagai Talia terasa lebih mudah diingat penonton ketimbang Callie Hernandez sebagai Lisa Arlington dan Brandon Scott sebagai Peter.

Sinematografi Robby Baumgartner tentu menjadi teknis yang paling berpengaruh pada hasil akhir BW. Nyatanya, pemilihan penggunaan kamera dan angle tergolong efektif untuk menyampaikan cerita maupun kengerian secara psikologis. Didukung pula editing Louis Cioffi yang menyusun adegan-adegan secara runtut sesuai kebutuhan cerita dengan momentum yang serba tepat pula, meski seperti biasa, tak ada penampakan secara langsung dan jelas. Scoring minimalis dari Adam Wingard sendiri di beberapa momen semakin mewarnai nuansa ngeri, didukung sound design yang juga menjadi salah satu faktor keberhasilan BW sebagai sebuah horror. Kesemuanya terdengar powerful, clear and crisp, serta serba seimbang dengan pembagian kanal yang sangat efektif membangun nuansa seolah penonton melihat langsung di tempat kejadian, bukan melalui rekaman kamera amatir mereka semata.


Dibandingkan BWP, BW terasa seperti sebuah update yang sangat layak. Mulai dari segi penceritaan maupun teknis a la found footage. Efeknya bisa lebih mengerikan dan jelas ketimbang BW, tapi masih belum mampu meninggalkan sesuatu yang signatural untuk diingat dalam jangka waktu yang lebih panjang. Malah kalau boleh jujur, tanpa menghiraukan nama besar BWP, BW mungkin akan menjadi just another found-footage horror. Yang digarap dengan baik, tentu saja. Tidak asal-asalan. Bagi saya pribadi, lumayan lah untuk sekedar ‘olahraga jantung’ tipis-tipis. Asal nontonnya di teater dengan tata suara yang layak agar mendapatkan experience yang maksimal

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.