4/5
Based on Book
Comedy
Drama
Friendship
Indonesia
medic
Pop-Corn Movie
Professionalism
Psychological
Rivalry
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Catatan Dodol Calon Dokter
Dunia literasi Indonesia era 2000-an diramaikan oleh buku-buku
sketsa komedi. Mungkin harapannya bisa menumbuhkan minat baca di Indonesia yang
tergolong rendah. Tak sedikit buku sketsa komedi yang juga sukses ketika
diangkat ke layar lebar. Buku-buku Raditya Dika dan My Stupid Boss menjadi bukti nyatanya. Mengikuti jejak-jejak
kesuksesan itu, Cado-Cado (Catatan Dodol
Calon Dokter) karya dokter mata Ferdiriva Hamzah yang sudah terbit hingga
tiga jilid akhirnya diangkat juga ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung,
Radikal Films (Love is U dan The Legend of Trio Macan) berhasil menggandeng
CJ Entertainment, salah satu PH terbesar di Korea Selatan yang film-filmnya
sudah sering mencetak box office. Dengan naskah adaptasi yang disusun oleh
Ardiansyah Solaiman dan Chadijah Siregar, serta sutradara Ifa Isfansyah (Sang Penari, 9 Summers 10 Autumns, dan Pendekar
Tongkat Emas), Catatan Dodol Calon
Dokter (CDCD) mengusung aktor-aktris muda seperti Adipati Dolken, Tika
Bravani, Aurellie Moeremans, Albert Halim, dan Rizky Mocil.
Riva, anak orang kaya keturunan Batak yang memutuskan untuk
masuk fakultas kedokteran karena mengikuti sahabat (baca: gebetan)-nya sejak
lama, Evi. Untung semua berjalan mulus hingga program ko-ass dimulai. Riva
kebetulan satu kelompok dengan Evi, bersama dengan calon-calon dokter nyentrik
lainnya; Kresno Rapopo yang lebih suka hal-hal berbau klenik ketimbang medis,
Budi Harianto, Hani Lubis yang suka pakai bahasa Inggris broken, Uba Ratubo yang
punya masalah dengan bau badan, Cilmil yang relijius, dan Kalay Suhaimi yang
berlatar belakang Melayu. Niat Riva untuk menjadi dokter kembali diuji ketika
Evi tak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada dirinya, ditambah muncul anak
pemilik saham rumah sakit, Vena yang tiba-tiba masuk ke dalam kelompok mereka
dan diam-diam jatuh hati padanya. Persaingan makin tajam ketika Riva dan Evi
berada pada kelompok yang berbeda untuk memperebutkan beasiswa pertukaran
pelajar ke Korea Selatan. Tak hanya menguji niat menjadi dokter, tapi juga
persahabatan di tengah-tengah persaingan.
Dibandingkan versi novel, film CDCD agaknya punya konsep yang
berbeda. Jika novelnya adalah sebuah sketsa-sketsa komedi, maka versi film
fokus untuk menjalin satu cerita utuh. Keputusan untuk memilih cerita
persahabatan dan asmara dari Riva-Evi-Vena tampaknya cukup jitu untuk
menjangkau range penonton yang luas (terutama remaja dan anak muda yang menjadi
target audience utamanya). Namun bukan berarti ini menjadikan CDCD sekedar just
another roman picisan yang menye-menye dengan latar belakang medis. Elemen
persaingan vs persahabatan tak hanya menjadikan plotnya menjadi realistis, tapi
juga punya dilematis yang menarik untuk dibahas.
Sebagai sub-plot, dimasukkan pula elemen-elemen yang tak kalah
menarik dan krusial, terutama terkait alasan masuk fakultas kedokteran dan
hubungan dilematis moral antara dokter-pasien, terutama jika menyangkut ancaman
nyawa. Jika Anda sudah tak asing dengan kasus dokter yang mudah dituduh
malpraktik tiap kali ada pasien yang gagal diselamatkan, maka CDCD mencoba untuk
‘mendamaikan’ kubu dokter-pasien. Jika selama ini masyarakat awam punya
pandangan yang negatif tentang profesi dokter, CDCD menampilkan dari sisi kaum
dokter yang manusiawi. Ini semua memperkaya CDCD menjadi satu paket yang terasa
komplit, saling mendukung tanpa ada kesan tumpang-tindih, dan punya emotional
moment yang berhasil menyentuh tanpa kesan dramatisasi berlebihan. Saya
termasuk penonton yang susah dibuat tersentuh apalagi jika punya logika cerita
yang mengganggu. CDCD terbukti berhasil menjebol ‘pertahanan’ saya, and it
means it’s good. Bahasan medisnya tidak asal, tapi tetap accessible bagi
penonton awam sekalipun.
Adipati Dolken sebagi Riva terasa mengalami perkembangan
akting yang cukup matang, ditambah kharisma sebagai lead character yang semakin
kuat. Karakter gokil sekaligus melankoli mampu dilakoninya dengan cukup pas dan
dengan transformasi yang natural serta masuk akal pula. Tika Bravani sebagai
Evi menjadi highlight yang mencuri perhatian. Mungkin Evi menjadi karakter
paling kuat dan memorable dari semua peran yang pernah dilakoninya sejauh ini,
terutama karena gesture unik yang cukup detail. Aurellie Moeremans sebagai Vena
yang manipulatif mungkin tak terlalu punya detail yang tegas dan kuat. Dari
luar malah tampak seperti protagonis baik hati yang lemah. Namun aura keseksian
dan daya tarik fisiknya masih terasa.
Rizky Mocil terasa lebih dewasa sebagai Kresno Rapopo. Masih
gokil dengan gayanya sendiri, minus suara cempreng yang memberikan kesan
kekanakan pada sosoknya selama ini. Sementara Ali Mensan sebagai Budi, Albert
Halim sebagai Hani, Cindy Valery sebagai Uba, Rizka Dwi Septiana sebagai
Cilmil, dan Amec Aris (mantan personel Lyla) sebagai Kalay Suhaimi cukup mampu
memberi warna tersendiri meski harus diakui tak punya porsi lebih selain
sekedar keunikan karakter masing-masing. Kehadiran Adi Kurdi sebagai Profesor
Burhan dan sederetan cameo populer, seperti Ingrid Widjanarko, Donna Harun,
Torro Margens, Ikke Nurjanah, sampai Gito Gilas cukup noticeable.
Dengan dukungan dari CJ Entertainment, teknis CDCD terkesan
punya rasa film Korea Selatan yang serba mumpuni. Mulai tata kamera Gandang
Warah yang memberikan angle serta pergerakan kamera sinematis dan enak diikuti,
editing Cesa David Luckmansyah yang menjaga pace sebagai drama pada kapasitas
yang serba pas. Tak terlalu lambat namun juga masih bisa membuat penonton
merasakan emosi adegan-adegan krusialnya. Tata rias Cherry Wirawan dan efek visual Satria Bayangkara memberikan detail terutama berkaitan dengan medis yang real dan convincing. Musik yang ditata oleh Budi Kristanda
dan Andre Harihandoyo lebih dari cukup untuk mengiringi tiap adegan dengan
warna emosi yang pas. Pilihan lagu-lagu populer dan ear-catchy juga menjadi
highlight tersendiri dari CDCD.
Bagi penonton yang mengharapkan film komedi sketsa layaknya My Stupid Boss, agaknya harus kecewa
karena versi film CDCD nyatanya punya pendekatan yang berbeda dalam
menyampaikan cerita. Di mata saya, film CDCD justru terasa lebih matang dan
kaya secara cerita. Tak hanya urusan asmara yang menjadi problematika sejuta
umat, tapi juga dilematis-dilematis berkaitan profesi dokter yang dihadirkan
sekaligus ‘didamaikan’ dengan begitu hangat. Ringan untuk dinikmati oleh
penonton dari berbagai kalangan, awam sekalipun, tapi juga memuat value-value
berbobot yang penting untuk diketahui sekaligus direnungkan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.