The Jose Flash Review
Pinky Promise

Benar, edukasi dan penyuluhan awareness terhadap suatu penyakit bisa efektif disampaikan lewat medium film. Film Indonesia sudah berkali-kali mencobanya sampai mungkin sudah pada titik jenuh lewat pendekatan yang tak jauh-jauh dari sekedar tearjerker semata lewat visualisasi yang itu-tu saja sementara mengesampingkan logika-logika realita secara medis. Kanker menjadi penyakit ‘favorit’ untuk dihadirkan dengan elemen-elemen cliché-nya, terutama penggundulan rambut sebagai tanda penderitaan yang paling tinggi. Tentu ada juga yang mencoba mengedepankan value ‘harapan’ daripada tearjerker sebagai fokus utama, seperti misalnya I Am Hope yang dirilis tahun 2016 ini juga. Dalam rangka Breast Cancer Awareness Month yang jatuh pada bulan Oktober tahun ini, MP Pro Picture merilis film perdananya yang lagi-lagi bertujuan untuk meningkatkan awareness terhadap kanker payudara. Dengan dukungan penuh dari LovePink, sebuah organisasi yang punya misi memberikan dukungan moral dan edukasi terhadap penderita kanker payudara maupun survivor-nya. Kebetulan organisasi yang kemudian bertransformasi menjadi Yayasan Daya Dara Indonesia ini diketuai oleh Samantha Barbara, yang tak lain dan tak bukan adalah ibunda dari Chelsea Islan sehingga membuatnya turut andil dalam proyek film bertajuk Pinky Promise (PP) meski ‘hanya’ menjadi cameo dan turut mempromosikan di balik kesibukannya. Guntur Soeharjanto (Tampan Tailor, Assalamualaikum Beijing, 99 Cahaya di Langit Eropa, dan Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea) ditunjuk menjadi sutradara, sementara naskahnya dikerjakan oleh Ginatri S. Noer (Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Habibie & Ainun, dan {rudy habibie}). Berfokus pada kisah persahabatan di atas tema kanker payudara, cast diisi oleh nama-nama populer seperti Agni Pratistha, Ira Maya Sopha, Alexandra Gottardo, Dhea Seto, Dea Ananda, Jajang C. Noer, dan Ringgo Agus Rahman.

Baru saja dikecewakan oleh sang tunangan sekaligus partner bisnisnya di sebuah majalah yang mendadak membatalkan pernikahan, Tika memilih untuk merawat sang tante yang sedang menjalani terapi pengobatan kanker payudara, Anind dan pindah di rumahnya. Dengan bantuan Tika, Anind berusaha mewujudkan mimpinya untuk membangun Rumah Pink, sebuah rumah singgah untuk para pasien pengidap kanker payudara maupun survivor yang menjalani terapi pemulihan pasca operasi. Mulailah mereka bertemu banyak kepribadian menarik. Di antaranya adalah Baby, seorang model majalah pria dewasa yang tinggal sendirian di Jakarta dan menjadi simpanan seorang pria beristri, Ken, seorang mahasiswi sekaligus blogger yang melamar menjadi relawan di Rumah Pink, dan Vina, seorang ibu rumah tangga yang kesulitan keuangan untuk berobat karena sang suami, Farid, hanyalah seorang satpam. Persahabatan yang seharusnya saling dukung harus mengalami ujian ketika ‘tekanan’ sebagai penderita kanker semakin lama semakin besar. Above all, Tika yang awalnya menyalahkan semua orang atas semua yang menimpanya selama ini justru belajar tentang hidup dari sahabat-sahabat barunya ini.

Mengambil tema persahabatan dan menemukan makna hidup dan kematian sebagai story device, PP sebenarnya berpotensi menjadi disease drama yang berbeda. Apalagi karakter utamanya yang disorot ternyata non-pasien yang justru belajar dari pasien. Naskah Ginatri pun menggerakkan perkembangan karakter Tika dengan setup-setup yang tersusun baik. Mulai penyebab kekecewaan, fase mengalah dan mencoba sesuatu yang baru, masih canggung, tidak kuat lagi, di-‘tampar’ keras oleh Tante Anind, hingga titik balik alami lewat persahabatan. Konflik Tika yang memandang Tante Anind memang berniat mengubah pola pikirnya tentang hidup atau sekedar memanfaatkan-nya sebagai ‘boneka’ juga menarik. Penonton sempat dibuat meragukan motif Tante Anind hingga akhirnya terkuak maksud utamanya.

Masuk ke fase persahabatan, cerita pun jadi semakin berwarna. Baby, Ken, dan Vina memang terkesan karakter-karakter tipikal yang amat sangat generik di kebanyakan film drama sosial sejenis, tapi setidaknya cukup efektif untuk mewakili tiap tipe karakter. Toh ketiganya tidak dibuat serba hitam atau putih, malah masing-masing memuat kritik sosial terhadap pola pikir mayoritas masyarakat kita yang cukup tajam. Tak lupa selipan humor ringan di sana-sini, terutama dari karakter Baby yang dibuat ceplas-ceplos dengan logat Jawa medok. Lahir pula jargon-jargon plesetan menggelitik seperti WTS (bukan Wanita Tuna Susila. Jika penasaran, coba saksikan sendiri saja) dan penggunaan kata ‘tetek’ untuk membuat kesan lebih sehari-hari dan natural, tanpa ada kesan terlalu vulgar. Begitu juga fakta-fakta kecil tentang kanker payudara yang diselipkan di antara adegan-adegan utama. Terlepas benar secara medis atau tidak, fakta-fakta ini cukup informatif bagi saya yang termasuk awam, dan disampaikan dengan halus dalam cerita.

Above all, saya menyukai pilihan PP untuk membuat perkembangan karakter Tika dalam memaknai hidup dan juga kematian melalui pasien-pasien kanker payudara. Ini membuat temanya tak lagi spesifik tentang kanker payudara, tapi relevan dan universal bagi siapa saja, tanpa mengabaikan kanker payudara sebagai subjek yang diangkat. Sayangnya, ketika tema pemaknaan hidup Tika sudah tercapai dan mencapai klimaks dengan kematian salah satu karakter penting, ternyata masih ada cerita lain yang bergulir. Memang tidak adil rasanya jika tidak semua karakter mendapatkan konklusi, tapi peletakannya dalam susunan cerita tentu harus menjadi perhatian khusus demi menjaga mood penonton untuk mengikuti cerita. Yang dilakukan PP seperti sebuah antiklimaks setelah durasi satu setengah jam yang tersusun baik. Sekitar 20 menit berikutnya sebenarnya mencoba menyelesaikan konflik karakter yang lain, tapi mood saya untuk mengikuti ceritanya sudah terlanjur buyar seiring dengan tercapainya konklusi dari karakter utama (Tika) dan kematian karakter penting yang menurut saya, paling efektif jika dijadikan titik klimaks sebuah cerita. Belum lagi ternyata karakter Tika masih diutak-atik lagi sehingga menjadi semakin bertele-tele. Saya membayangkan jika saja penyelesaian konflik karakter yang antiklimaks ini diletakkan sebelum klimaks, mungkin PP akan menjadi jauh lebih enak dinikmati secara utuh.

Mengisi peran utama, Agni Pratistha sebagai Tika memang punya porsi paling banyak sekaligus transformasi karakter yang paling krusial. Thankfully, Agni melakoni tuntutan-tuntutan itu dengan baik. Ira Maya Sopha sebagai Tante Anind tampil tak kalah menariknya, bahkan menurut saya lebih mencuri perhatian ketimbang Agni sendiri. Ketegasan, kerapuhan, dan ketulusan ditampilkan dengan begitu nyata olehnya. Alexandra Gottardo mencuri perhatian lewat karakter Baby yang lebih sebagai penyampai komedi dengan celetukan-celetukan logat Jawa, tapi tetap bisa menyentuh di part-part emosionalnya. Dea Ananda sebagai Vina dan Dhea Seto sebagai Ken tampil fairly sesuai karakter dan porsi masing-masing. Sementara pendukung-pendukung lainnya, mulai Ringgo Agus Rahman, Derby Romero, Maudy Koesnaedi, Gunawan, Joshua Pandelaki, sampai Jajang C. Noer juga cukup mewarnai film dengan porsi peran amsing-masing.

Sinematografi Enggar Budiono lebih dari cukup dalam menyampaikan ceritanya secara efektif pun juga pergerakan-pergerakan yang cukup sinematis, meski tak ada yang terlalu istimewa pula. Editing Ryan Purwoko secara keseluruhan mampu menyusun adegan secara runtut dan menjaga segala kebutuhan emosional yang ingin ditampilkan, meski terkadang adegan-adegannya terkesan seperti fragmen-fragmen sendiri, serta komplain terbesar saya tentang kesan antiklimaks yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Musik Tya Subiakto juga lebih dari cukup untuk mengiringi emosi adegan-adegan sesuai kebutuhan. Hanya ada satu scoring yang menurut saya terdengar terlalu berlebihan, yaitu ketika Tante Anind melakukan kampanye di kampung-kampung. Di soundtrack ada Pergi untuk Selamanya dari Eka Deli dan Jalan Terus dari Afgan yang pas mewakili nuansa keseluruhan film. Untuk tata artistik yang dilakukan Allan Sebastian, saya memberikan kredit tertinggi atas desain Rumah Pink yang paling menonjol sepanjang film.

Dibandingkan kebanyakan disease drama, PP memang mencoba pendekatan yang sedikit berbeda meski tetap banyak tipikal-tipikal karakter yang cliché. Namun yang paling fatal karena menciderai penceritaan PP bagi saya adalah antiklimaks setelah satu setengah jam pertama. Andai saja adegan-adegan pasca klimaks itu diletakkan dan diselesaikan sebelum klimaks, mungkin ia akan jauh lebih enak untuk diikuti dan dinikmati, selain value sebagai awareness campaign yang informatif.


Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.