3/5
Comedy
disease
Drama
Friendship
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
Public Service Announcement
self-discovery
Socio-cultural
tearjerker
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pinky Promise
Benar, edukasi dan penyuluhan
awareness terhadap suatu penyakit bisa efektif disampaikan lewat medium film.
Film Indonesia sudah berkali-kali mencobanya sampai mungkin sudah pada titik
jenuh lewat pendekatan yang tak jauh-jauh dari sekedar tearjerker semata lewat
visualisasi yang itu-tu saja sementara mengesampingkan logika-logika realita
secara medis. Kanker menjadi penyakit ‘favorit’ untuk dihadirkan dengan
elemen-elemen cliché-nya, terutama penggundulan rambut sebagai tanda
penderitaan yang paling tinggi. Tentu ada juga yang mencoba mengedepankan value
‘harapan’ daripada tearjerker sebagai fokus utama, seperti misalnya I Am Hope yang dirilis tahun 2016 ini
juga. Dalam rangka Breast Cancer Awareness Month yang jatuh pada bulan Oktober
tahun ini, MP Pro Picture merilis film perdananya yang lagi-lagi bertujuan
untuk meningkatkan awareness terhadap kanker payudara. Dengan dukungan penuh
dari LovePink, sebuah organisasi yang punya misi memberikan dukungan moral dan
edukasi terhadap penderita kanker payudara maupun survivor-nya. Kebetulan
organisasi yang kemudian bertransformasi menjadi Yayasan Daya Dara Indonesia ini
diketuai oleh Samantha Barbara, yang tak lain dan tak bukan adalah ibunda dari
Chelsea Islan sehingga membuatnya turut andil dalam proyek film bertajuk Pinky Promise (PP) meski ‘hanya’ menjadi
cameo dan turut mempromosikan di balik kesibukannya. Guntur Soeharjanto (Tampan Tailor, Assalamualaikum Beijing, 99 Cahaya
di Langit Eropa, dan Jilbab Traveler:
Love Sparks in Korea) ditunjuk menjadi sutradara, sementara naskahnya dikerjakan
oleh Ginatri S. Noer (Ayat-Ayat Cinta,
Perempuan Berkalung Sorban, Habibie & Ainun, dan {rudy habibie}). Berfokus pada kisah
persahabatan di atas tema kanker payudara, cast diisi oleh nama-nama populer
seperti Agni Pratistha, Ira Maya Sopha, Alexandra Gottardo, Dhea Seto, Dea
Ananda, Jajang C. Noer, dan Ringgo Agus Rahman.
Baru saja dikecewakan oleh sang tunangan sekaligus partner bisnisnya di sebuah majalah yang mendadak membatalkan pernikahan, Tika memilih untuk merawat sang tante yang sedang menjalani terapi pengobatan kanker payudara, Anind dan pindah di rumahnya. Dengan bantuan Tika, Anind berusaha mewujudkan mimpinya untuk membangun Rumah Pink, sebuah rumah singgah untuk para pasien pengidap kanker payudara maupun survivor yang menjalani terapi pemulihan pasca operasi. Mulailah mereka bertemu banyak kepribadian menarik. Di antaranya adalah Baby, seorang model majalah pria dewasa yang tinggal sendirian di Jakarta dan menjadi simpanan seorang pria beristri, Ken, seorang mahasiswi sekaligus blogger yang melamar menjadi relawan di Rumah Pink, dan Vina, seorang ibu rumah tangga yang kesulitan keuangan untuk berobat karena sang suami, Farid, hanyalah seorang satpam. Persahabatan yang seharusnya saling dukung harus mengalami ujian ketika ‘tekanan’ sebagai penderita kanker semakin lama semakin besar. Above all, Tika yang awalnya menyalahkan semua orang atas semua yang menimpanya selama ini justru belajar tentang hidup dari sahabat-sahabat barunya ini.
Mengambil tema persahabatan dan
menemukan makna hidup dan kematian sebagai story device, PP sebenarnya
berpotensi menjadi disease drama yang berbeda. Apalagi karakter utamanya yang
disorot ternyata non-pasien yang justru belajar dari pasien. Naskah Ginatri pun
menggerakkan perkembangan karakter Tika dengan setup-setup yang tersusun baik.
Mulai penyebab kekecewaan, fase mengalah dan mencoba sesuatu yang baru, masih
canggung, tidak kuat lagi, di-‘tampar’ keras oleh Tante Anind, hingga titik
balik alami lewat persahabatan. Konflik Tika yang memandang Tante Anind memang
berniat mengubah pola pikirnya tentang hidup atau sekedar memanfaatkan-nya
sebagai ‘boneka’ juga menarik. Penonton sempat dibuat meragukan motif Tante
Anind hingga akhirnya terkuak maksud utamanya.
Masuk ke fase persahabatan,
cerita pun jadi semakin berwarna. Baby, Ken, dan Vina memang terkesan karakter-karakter
tipikal yang amat sangat generik di kebanyakan film drama sosial sejenis, tapi
setidaknya cukup efektif untuk mewakili tiap tipe karakter. Toh ketiganya tidak
dibuat serba hitam atau putih, malah masing-masing memuat kritik sosial
terhadap pola pikir mayoritas masyarakat kita yang cukup tajam. Tak lupa
selipan humor ringan di sana-sini, terutama dari karakter Baby yang dibuat
ceplas-ceplos dengan logat Jawa medok. Lahir pula jargon-jargon plesetan
menggelitik seperti WTS (bukan Wanita Tuna Susila. Jika penasaran, coba
saksikan sendiri saja) dan penggunaan kata ‘tetek’ untuk membuat kesan lebih
sehari-hari dan natural, tanpa ada kesan terlalu vulgar. Begitu juga fakta-fakta
kecil tentang kanker payudara yang diselipkan di antara adegan-adegan utama.
Terlepas benar secara medis atau tidak, fakta-fakta ini cukup informatif bagi
saya yang termasuk awam, dan disampaikan dengan halus dalam cerita.
Above all, saya menyukai pilihan
PP untuk membuat perkembangan karakter Tika dalam memaknai hidup dan juga
kematian melalui pasien-pasien kanker payudara. Ini membuat temanya tak lagi
spesifik tentang kanker payudara, tapi relevan dan universal bagi siapa saja,
tanpa mengabaikan kanker payudara sebagai subjek yang diangkat. Sayangnya,
ketika tema pemaknaan hidup Tika sudah tercapai dan mencapai klimaks dengan
kematian salah satu karakter penting, ternyata masih ada cerita lain yang
bergulir. Memang tidak adil rasanya jika tidak semua karakter mendapatkan
konklusi, tapi peletakannya dalam susunan cerita tentu harus menjadi perhatian
khusus demi menjaga mood penonton untuk mengikuti cerita. Yang dilakukan PP seperti
sebuah antiklimaks setelah durasi satu setengah jam yang tersusun baik. Sekitar
20 menit berikutnya sebenarnya mencoba menyelesaikan konflik karakter yang
lain, tapi mood saya untuk mengikuti ceritanya sudah terlanjur buyar seiring
dengan tercapainya konklusi dari karakter utama (Tika) dan kematian karakter
penting yang menurut saya, paling efektif jika dijadikan titik klimaks sebuah
cerita. Belum lagi ternyata karakter Tika masih diutak-atik lagi sehingga
menjadi semakin bertele-tele. Saya membayangkan jika saja penyelesaian konflik
karakter yang antiklimaks ini diletakkan sebelum klimaks, mungkin PP akan
menjadi jauh lebih enak dinikmati secara utuh.
Mengisi peran utama, Agni Pratistha
sebagai Tika memang punya porsi paling banyak sekaligus transformasi karakter
yang paling krusial. Thankfully, Agni melakoni tuntutan-tuntutan itu dengan
baik. Ira Maya Sopha sebagai Tante Anind tampil tak kalah menariknya, bahkan
menurut saya lebih mencuri perhatian ketimbang Agni sendiri. Ketegasan,
kerapuhan, dan ketulusan ditampilkan dengan begitu nyata olehnya. Alexandra
Gottardo mencuri perhatian lewat karakter Baby yang lebih sebagai penyampai
komedi dengan celetukan-celetukan logat Jawa, tapi tetap bisa menyentuh di
part-part emosionalnya. Dea Ananda sebagai Vina dan Dhea Seto sebagai Ken
tampil fairly sesuai karakter dan porsi masing-masing. Sementara
pendukung-pendukung lainnya, mulai Ringgo Agus Rahman, Derby Romero, Maudy
Koesnaedi, Gunawan, Joshua Pandelaki, sampai Jajang C. Noer juga cukup mewarnai
film dengan porsi peran amsing-masing.
Sinematografi Enggar Budiono
lebih dari cukup dalam menyampaikan ceritanya secara efektif pun juga pergerakan-pergerakan
yang cukup sinematis, meski tak ada yang terlalu istimewa pula. Editing Ryan
Purwoko secara keseluruhan mampu menyusun adegan secara runtut dan menjaga
segala kebutuhan emosional yang ingin ditampilkan, meski terkadang
adegan-adegannya terkesan seperti fragmen-fragmen sendiri, serta komplain terbesar
saya tentang kesan antiklimaks yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Musik Tya
Subiakto juga lebih dari cukup untuk mengiringi emosi adegan-adegan sesuai
kebutuhan. Hanya ada satu scoring yang menurut saya terdengar terlalu berlebihan,
yaitu ketika Tante Anind melakukan kampanye di kampung-kampung. Di soundtrack
ada Pergi untuk Selamanya dari Eka
Deli dan Jalan Terus dari Afgan yang
pas mewakili nuansa keseluruhan film. Untuk tata artistik yang dilakukan Allan
Sebastian, saya memberikan kredit tertinggi atas desain Rumah Pink yang paling
menonjol sepanjang film.
Dibandingkan kebanyakan disease
drama, PP memang mencoba pendekatan yang sedikit berbeda meski tetap banyak
tipikal-tipikal karakter yang cliché. Namun yang paling fatal karena menciderai
penceritaan PP bagi saya adalah antiklimaks setelah satu setengah jam pertama.
Andai saja adegan-adegan pasca klimaks itu diletakkan dan diselesaikan sebelum
klimaks, mungkin ia akan jauh lebih enak untuk diikuti dan dinikmati, selain value
sebagai awareness campaign yang informatif.