2/5
Artistic
Based on a Legend
Drama
Hindi
Musical
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
tragedy
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mirzya [मिर्ज्या]
Sejak lama tanah Hindustan
dikenal kaya akan kisah folklore yang biasanya diwarnai tema kepahlawanan dan/atau
roman. Dari wilayah Punjabi setidaknya ada tiga roman tragis yang paling
populer; Heer Ranjha, Sohni Mahiwal, dan Mirza Sahiba. Yang saya sebutkan terakhir ini punya keunikan
tersendiri karena basically merupakan pasangan saudara angkat yang berakhir
tragis. Tak heran ketika sineas-sineas tertarik untuk mengangkatnya ke medium
film layar lebar. Adalah Rakeysh Omprakash Mehra yang dikenal lewat Rang De Basanti (2006) dan Bhaag Milkha Bhaag (2013) yang tertarik
untuk mengangkatnya dengan visi artistik tersendiri. Menggandeng penulis naskah
sekaligus penulis lirik lagu veteran, Gulzar (bahkan pemenang Oscar untuk Jai Ho, original song Slumdog Millionaire bersama A. R.
Rahman), ia memvisualisasikan kembali cerita Mirza-Sahiba versinya sendiri. Di
lini pelakon, Rakeysh memasang bintang-bintang muda yang justru memulai debutnya
lewat film ini. Mulai Harshvardhan Kapoor yang merupakan putra termuda dari aktor
Anil Kapoor, Saiyami Kher yang selama ini dikenal sebagai atlet cricket dan
badminton, serta Anuj Choudhry. Meski diberi tajuk Mirzya, Rakeysh sebenarnya menggunakan konsep yang cukup menarik
dalam menyampaikan kisahnya; paralel antara dongeng asli Mirzya Sahiba pada
masanya dan pasangan yang nasibnya kurang lebih serupa dengan setting masa
kini.
Munish dan Suchitra adalah sahabat sejak kecil ketika sama-sama tidak tahu persis apa itu cinta. Ketulusan lah yang menggerakkan hubungan mereka. Munish yang bandel sering terlambat ke sekolah dan tidak mengerjakan PR, sementara Suchitra tergolong murid yang rajin. Suatu ketika Suchitra merelakan diri dihukum fisik oleh sang guru karena PR yang ia kerjakan diberikan kepada Munish. Melihat kenyataan itu, Munish nekad membalas dendam kepada sang guru yang mengakibatkan ia harus dipenjara. Bertahun-tahun kemudian, Suchitra pindak ke luar negeri sementara Munish berhasil meloloskan diri dengan identitas baru; Adil, seorang buruh peternakan kuda milik keluarga kaya raya. Siapa sangka takdir mempertemukan kembali Munish dengan Suchitra yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah tunangan dari majikannya, Karan. Adil enggan mengakui diri sebagai Munish, sementara Suchitra ternyata diam-diam merindukan sosok sahabatnya yang dulu. Hingga akhirnya ketika cinta bersemi kembali di antara keduanya, keluarga Suchitra dan Karan adalah rintangan yang harus mereka hadapi bersama.
Dari permukaan terluarnya,
Rakeysh menyuguhkan visual yang luar biasa artistik, grandeur, dan serba
cantik, terutama untuk segmen visualisasi kisah Mirzya-Sahiba yang asli. Begitu
pula dengan iringan music berlirik bak puisi yang semakin menambah nilai
artistiknya. Sayangnya, hanya sampai sebatas itu saja kelebihan Mirzya, karena sisanya benar-benar
berantakan.
Saya mulai dari yang paling
fatal. Menyajikan dua cerita yang berjalan secara paralel dan bergantian
tidaklah mudah. Apalagi jika memang punya korelasi adegan antara keduanya.
Visualisasi Rakeysh menurut saya gagal total dalam mengkoneksikan keduanya.
Mengabaikan banyak detail kisah aslinya yang menurut saya justru sangat menarik,
Rakeysh memilih untuk menghadirkan konflik utama yang jika dilihat dari yang
ditampilkan di layar saja, hanya kisah perebutan Sahiba oleh Mirzya yang miskin
dan Tahir Khan yang kaya raya. Seklise itu. Tentu saya sadar bahwa memasukkan
detail-detail background kisah asli Mirzya-Sahiba bisa makin memperpanjang
durasi dan mempersulit koneksi antara dua cerita yang harus berjalan
beriringan. Then, why bother making it in two separate parallel story? Adaptasi
langsung ke modern saja atau sekedar menceritakan ulang kisah Mirzya-Sahiba
secara verbal mungkin akan jauh lebih aman. Tidak menciderai laju penceritaan
secara keseluruhan. Jujur, visualisasi kisah asli Mirzya-Sahiba meski dibuat
seminimal mungkin, tetap saja mengganggu pace film secara keseluruhan. Di awal
film, batas (dan koneksi) antar keduanya terasa begitu samar hingga
membingungkan. Pada perkembangannya, dihiasi efek slow-mo yang overused.
Kemudian juga klimaks yang mana kisah Mirzya-Sahiba jauh mendahului sehingga
membuat kisah Munish-Suchitra tak lagi menarik untuk diikuti ketika gilirannya
tiba.
Kisah perkembangan hubungan
antara Munish-Suchitra yang (seharusnya) menjadi fokus utama cerita pun punya
masalah yang tak kalah seriusnya dari segi kewajaran. Mulai Suchitra yang
awalnya tampak baik-baik saja dengan tunangannya, Karan (bahkan terasa jauh
lebih hangat dan romantis ketimbang Cinta-Trian di Ada Apa dengan Cinta 2,) bisa berubah begitu drastisnya ketika
menemukan Munish kembali. Seolah ada missing moment yang membuat transforamsi
Suchitra seharusnya masuk akal. Perubahan sikap Munish yang awalnya menghindari
Suchitra tahu tentang identitas aslinya karena merasa tak layak hingga akhirnya
memutuskan untuk membawa lari Suchitra juga tak kalah irasionalnya. Belum lagi
ternyata pada perkembangannya hubungan mereka menjadi semakin tidak mengundang
simpati penonton ketika Munish memutuskan untuk membunuh ayah Suchitra dan
Suchitra sendiri seperti tak mempermasalahkan sama sekali. What kind of healthy
romantic relationship is that?
Penggunaan aktor-aktris yang
masih debutant ternyata tak membuat Mirzya
menjadi sajian yang lebih segar. Harshvardhan Kapoor masih terlihat sangat kaku,
lebih sering tampak kebingungan, dan gagal menghadirkan kharisma yang
(seharusnya) kuat sebagai karakter utama, Munish. Saiyami Kher sebagai Suchitra
masih terasa sedikit lebih luwes dan baik, tapi kharisma maupun pesona
keanggunan fisiknya masih perlu banyak diasah lagi untuk benar-benar menjadi
aktris muda yang layak diperhitungkan. Sementara Anuj Choudhry sebagai Karan
yang (seharusnya) juga punya potensi untuk menjadi karakter menarik, harus rela
menjadi karakter yang tak begitu dipedulikan penonton. Penyebab utama tentu
dari penulisan karakter yang memang tak memberikan ruang cukup untuk bersinar.
Namun penampilan Anuj sendiri memang sama sekali tidak punya daya tarik lebih
selain just another antagonist character.
Dengan mengandalkan visualisasi artistik
sebagai kekuatan utama, Rakeysh beruntung bekerja sama dengan Pawel Dyllus yang
berhasil mem-framing gambar-gambar luar biasa cantik, baik terutama dari kisah
Mirzya-Sahiba maupun kisah Munish-Suchitra yang memang sama-sama punya desain
produksi yang cantik dan grandeur. Pun juga dance performance dengan iringan musik
puitis yang menyatu menjadi sebuah visual poetry yang indah, meski ketika
dipadukan dengan kedua narasi utama kehadirannya sebenanarnya justru ‘mengganggu’.
Editing P.S. Bharathi mungkin tak sepenuhnya salah sebagai penyebab pace dan
kurang menyatunya kedua narasi cerita. Setidaknya ia telah mengupayakan
transisi semulus mungkin, selaras dengan iringan musik yang menjembatani. Visaul
effect mungkin tak semuanya terlihat rapi, tapis ecara keseluruhan masih
tergolong acceptable. Lagu-lagu karya Gulzar sebenarnya juga indah. Sayang
peletakan dan pengulangan lirik membuat tak ada nomer musikal yang benar-benar
membekas dalam memori saya.
Punya potensi yang luar biasa, Mirzya sebenarnya bisa menjadi sajian
roman tragis yang tak hanya cantik secara visual, tapi juga menyentuh. Sayang,
tampaknya ambisi Rakeysh yang terlalu besar (atau bahkan, mustahil?) ini justru
menciderai kenikmatan mengikuti kisahnya secara keseluruhan. Alhasil durasi
yang sebenarnya ‘hanya’ 2 jam 8 menit (tergolong pendek untuk film Hindi)
terasa begitu melelahkan dengan cerita asmara yang sudah terlalu familiar
sehingga membuat saya tak lagi tertarik mengikuti. Belum lagi chemistry yang
sama sekali tak terasa dan logika yang unsympathetic dari kisah romansa Munish-Suchitra.
Untung setidaknya masih ada sajian visualisasi cantik (yang sebenarnya lebih
cocok untuk tampilan sebuah music video) yang setidaknya masih layak dinikmati
di layar lebar.
Lihat data film ini di IMDb.