The Jose Flash Review
Wonderful Life

Di Indonesia istilah disleksia sebagai sebuah kondisi yang berbeda seseorang dari umumnya sehingga membutuhkan penanganan khusus agaknya masih dipahami oleh sebagian kecil kalangan saja. Di tengah masyarakat yang mayoritas masih kurang bisa menjangkau informasi, kondisi disleksia lantas dicemooh sebagai lambat belajar, ‘keterbelakangan’, bahkan ‘bodoh’, ketimbang menemukan metode khusus yang lebih tepat dan efektif untuk menanganinya. Berangkat dari fakta tersebut, beruntung ada sosok yang mau membagi pengalamannya menangani anak disleksia agar bisa diterapkan pada anak-anak disleksia lainnya. Ia adalah Amalia Prabowo dan putranya. Aqil Prabowo yang kini berprofesi sebagai seniman, yang menuangkan pengalamannya lewat buku berjudul Wonderful Life (dirilis April 2015). Buku ini yang lantas menggerakkan Handoko Hendroyono dari Creative & Co untuk menyebarkan semangat parenting Amalia lebih luas lagi lewat medium film. Dwimas Angga Sasongko dari Visinema yang telah menelurkan karya-karya berkualitas seperti Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Filosofi Kopi, dan Surat dari Praha, digandeng untuk memproduksinya. Kebetulan Creative & Co juga pernah bekerja sama untuk campaign Filosofi Kopi sebelumnya.

Angga kemudian menunjuk Jenny Jusuf (Filosofi Kopi) untuk mentransformasi sari-sari bukunya ke dalam sebuah naskah dan Agus Makkie yang selama ini berkiprah di TVC, music video, dan film dokumenter dipercaya untuk menangani film yang menandai debutnya sebagai sutradara ini. Atiqah Hasiholan dipilih untuk memerankan sosok Amalia atas permintaan Amalia Prabowo sendiri, sementara aktor cilik pendatang baru, Syamsul Rizal atau yang biasa dipanggil Sinyo, sebagai Aqil. Judul Wonderful Life (WL) seperti bukunya, dipilih juga untuk mewakili filmnya.

Amalia adalah seorang creative director dari sebuah advertising agency yang sering menangani klien-klien besar, bahkan internasional. Di tengah kesibukannya, ia mendapatkan tekanan yang lebih besar ketika pihak sekolah memanggil dirinya karena putra tunggalnya yang berusia 8 tahun, Aqil, dianggap lambat belajar, bahkan susah menulis dan membaca. Kerjaannya hanya menggambar doodle di buku pelajaran. Ayah Amalia menyalahkan dirinya dan mantan suaminya sebagai penyebab Aqil menjadi siswa yang ‘bodoh’. Ia mewajibkan Amalia segera mencari pengobatan untuk Aqil. Maka berangkatlah Amalia bertualang bersama Aqil hingga pelosok untuk mencari pengobatan yang bisa menyembuhkan ‘penyakit’-nya. Seiring dengan waktu, Amalia sadar menjadi lebih dekat dengan Aqil setelah selama ini waktunya tersita untuk pekerjaan. Sebagai konsekuensinya, Amalia harus memilih karir yang terus menuntut waktu terbesar dari hidupnya atau Aqil.

Memilih perjalanan Amalia dan Aqil untuk mewakili peristiwa titik balik Amalia menjadi lebih dekat dengan putranya memang merupakan keputusan terbaik dan paling efektif untuk menyampaikan keseluruhan cerita mereka. Seiring dengan perjalanan itu, sedikit demi sedikit back story yang menjadi pertanyaan penonton diselipkan untuk dijawab. Seharusnya di treatment storytelling seperti ini, perjalanan tersebut digunakan sebagai perekat bonding antara kedua pihak yang sebelumnya berjarak. Ada peristiwa demi peristiwa yang semakin mendekatkan keduanya menjadi saling memahami, hingga titik klimaks sebuah peristiwa ‘luar biasa’ yang benar-benar membuat kedua pihak ‘bersatu’ sebagai sebuah konklusi. WL terlihat punya intensi ke arah tersebut, tapi sayangnya menurut saya, masih kurang terasa sebagai sebuah transformasi yang natural. Ya, memang ada adegan Amalia yang awalnya digambarkan hygiene-freak, mau menuruti Aqil untuk tidur di alam bebas, misalnya. Tapi perubahan karakter Amalia secara keseluruhan terasa terlalu tiba-tiba dan signifikan. Tak ada yang terasa seperti sebuah penerimaan secara bertahap. Selama satu jam pertama dari durasi, karakter Amalia hanya digambarkan terus-terusan membentak Aqil. Pilihan mengikuti apa yang dimau Aqil kesemuanya tampak karena keterpaksaan keadaan. Adegan yang dipilih menjadi titik balik Amalia benar-benar menyadari pentingnya Aqil pun menurut saya, ganjil. Awalnya kita disuguhi setup bahwa ada kecelakaan. Eh tiba-tiba Aqil ditemukan dalam kondisi sedang dikerumuni orang-orang dengan penjelasan ‘mereka senang melihat gambar-gambar Aqil’. Lantas apa yang membuat orang penyampai setup berpikir ada kecelakaan? Setelah itu pun tak ada cukup momen untuk menggambarkan Amalia menyadari secara penuh betapa pentingnya Aqil dalam hidupnya. Jika sebelumnya sempat ada adegan visualisasi Amalia meluapkan stress lewat teriakan, mengapa justru tak ada visualisasi transformasi Amalia yang bisa dinalar sekaligus ikut dirasakan penonton secara penuh juga, yang menurut saya fungsinya jauh lebih krusial sebagai konklusi film?

Faktor lain yang membuat WL semakin terasa kurang engaging sebagai sebuah drama mother-son dengan tema disleksia adalah konklusi di akhir yang menurut saya, terlalu generik. Saya tahu bahwa anak disleksia lebih bisa memahami dan menyerap ilmu lewat pengalaman langsung di alam terbuka dan kegiatan-kegiatan fisik. Jika mau menjelaskan ke penonton (awam) seperti apa metodenya, seharusnya ada lah satu saja contoh materi pelajaran untuk mewakili yang disampaikan ke Aqil dengan metode tersebut. Sederhana saja, misalnya pengenalan spesies atau ilmu alam. Itu pun bisa ditampilkan lewat gambar-gambar insert yang di-dissolve cepat. Yang penting penonton paham, oh seperti itu to metode penyampaian materinya. Namun apa yang ditampilkan di hasil akhir hanyalah sekedar Amalia-Aqil menghabiskan quality time bersama di alam bebas. Jika film memang bertujuan untuk mengedukasi atau menginformasikan masyarakat awam, maka apa yang ditampilkan WL di layar terasa serba tanggung. Atau mungkin dengan latar belakang sutradara Agus Makkie di advertising, ini adalah cara untuk membuat penonton penasaran mencari tahu lebih lanjut? Well, I guess our society was not that bothering type, unless they do face the exact problem.

Other than that, saya tidak akan komplain tentang moral choice saat Amalia kabur dari depot karena dompetnya hilang (karena selain menunjukkan sisi manusiawi dan setup untuk adegan ‘seru’ bersama yang diharapkan semakin memperkuat ‘bonding’ Amalia-Aqil, toh sudah dibayar dengan redemption memuaskan di akhir film), atau adegan-adegan Amalia mencari pengobatan alternatif padahal dirinya sendiri digambarkan sangat modern (come on, it’s to show that level of desperation!), atau bagaimana mungkin Amalia-Aqil bisa tetap punya cukup bensin untuk pulang atau iPhone Amalia yang bisa terus hidup sampai tiba di rumah (again, come on, dalam film ada yang namanya pilihan terbaik untuk menggerakkan cerita sesuai tujuannya, lebih dari logika-logika kecil. Pace and duration is still the highest priority!). Ya, ketiga ‘masalah’ ini sempat dipertanyakan ketika presscon WL di Surabaya. Above all, setidaknya punya satu elemen yang menurut saya paling menarik, yaitu mempertanyakan wewenang dan tuntutan orang tua terhadap anak yang sudah tertanam kuat sejak lama dalam masyarkat kita. Berbagai line di sepanjang film secara konsisten menggugat. Misalnya, “Aqil nggak sakit, kita yang sakit!”, “Nilai-nilainya sudah bagus? Sudah jadi juara kelas?”, “kamu sudah gagal menjadi orang tua!” dan masih banyak lagi, terutama di adegan klimaks dimana Amalia akhirnya berani mengkonfrontasi sang ayah dengan revealing masa lalu yang menjawab mengapa hubungan Amalia dan ayahnya merenggang (sayangnya, justru menimbulkan pertanyaan baru yang tak terjawab hingga akhir, ‘lantas ke mana ayah Aqil?’). Dengan demikian, bukannya memberi konklusi sesuai subjeknya (yaitu tentang disleksia), WL menyodorkan konklusi dengan mempertanyakan pola hubungan orang tua-anak secara general dalam tatanan masyarakat kita, yang mau tak mau juga menjadi penyebab konflik dalam film secara khusus. Pilihan konklusi yang bersifat universal, pada akhirnya bisa dipahami secara lebih mudah oleh penonton terawam sekalipun.

Atiqah Hasiholan sebagai Amalia yang menjadi karakter sentral, pusat sudut pandang cerita, hanya menunjukkan sisi stressful dan sisi loving mother setelah klimaks secara satu dimensi untuk masing-masing sisi. Mungkin ada character development, tapi sayangnya tak begitu tampak maupun terasa di layar. Saya tidak tahu keseharian Sinyo, tapi menampilkan sosok Aqil yang kesulitan membaca dan autis ringan, Sinyo terlihat cukup natural. Tidak ada yang terkesan berlebihan atau dibuat-buat. Sikapnya ke sang ummi pun cukup wajar. Ada awkwardness yang wajar mengingat karakter Amalia yang sering marah-marah kepadanya, tapi overall chemistry Atiqah-Sinyo lebih dari cukup untuk menjadi convincing. Alex Abbad sebagai Aga, partner Amalia di advertising agency, yang di presscon mengaku melakukan riset terhadap Agus Makkie yang memang berkiprah di dunia tersebut, memang terlihat punya pressure yang cukup kendati sebenarnya menurut saya cukup general di bidang apa saja, tak hanya advertising agency, dan hanya sampai sebatas itu saja keperluannya dalam cerita. Di lini pemeran pendukung ada Lydia Kandou, Arthur Tobing, dan Putri Ayudya yang sama-sama memberikan performa pendukung  sesuai porsi masing-masing. Terakhir, Didik Nini Thowok sebagai ahli herbal beruntung menjadi salah satu pencuri perhatian berkat one liner-nya yang bisa menjadi salah satu highlight keseluruhan film.

Dengan background di TVC dan dokumenter, Agus Makkie bisa dengan piawai memberikan pengaruh gambar-gambar cantik yang diarahkan oleh Robie Taswin. Terutama established shot yang sinematis dengan pergerakan kamera yang smooth dan tertata rapi. Editing Ahsan Andrian juga mampu menggerakkan cerita dengan cukup baik, terutama dalam meletakkan adegan-adegan flashback dengan momentum dan pace yang pas. Saya ragu jika adegan-adegan ‘tanggung’ dan ‘kurang jelas’ adalah faktor editing. Musik dari Bottlesmoker dan McAnderson yang mayoritas bernuansa folk cukup berhasil mengiringi adegan-adegan menjadi lebih punya rasa dan emosi tersendiri.

Dengan tujuan besarnya untuk mengedukasi dan menyampaikan informasi tentang parenting, WL mungkin masih belum mampu menyadarkan penonton (terutama yang berasal dari kalangan orang tua) secara menyeluruh, apalagi bagi penonton awam. Tapi ia masih punya momen yang secara generik dan instan menyentuh, thanks to Atiqah-Sinyo performances. Pertanyaan-pertanyaan gugatan tentang pola hubungan orang tua-anak juga secara kritis bisa menggugah beberapa penonton. Selebihnya, film WL setidaknya bisa menjadi trigger agar orang tua bisa lebih aware soal parenting lewat kegiatan-kegiatan pendamping kampanye parenting yang diadakan Creative & Co. Karena jujur, jika hanya lewat film WL saja, I don’t think it will be impactful enough.

Lihat data film ii di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.