3/5
Adventure
Based on a True Event
Based on Book
Drama
Family
Indonesia
Mother-and-son
Parenting
Pop-Corn Movie
Psychological
Road Trip
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Wonderful Life
Di Indonesia istilah disleksia
sebagai sebuah kondisi yang berbeda seseorang dari umumnya sehingga membutuhkan
penanganan khusus agaknya masih dipahami oleh sebagian kecil kalangan saja. Di
tengah masyarakat yang mayoritas masih kurang bisa menjangkau informasi, kondisi disleksia lantas
dicemooh sebagai lambat belajar, ‘keterbelakangan’, bahkan ‘bodoh’, ketimbang
menemukan metode khusus yang lebih tepat dan efektif untuk menanganinya.
Berangkat dari fakta tersebut, beruntung ada sosok yang mau membagi
pengalamannya menangani anak disleksia agar bisa diterapkan pada anak-anak
disleksia lainnya. Ia adalah Amalia Prabowo dan putranya. Aqil Prabowo yang
kini berprofesi sebagai seniman, yang menuangkan pengalamannya lewat buku
berjudul Wonderful Life (dirilis
April 2015). Buku ini yang lantas menggerakkan Handoko Hendroyono dari Creative
& Co untuk menyebarkan semangat parenting Amalia lebih luas lagi lewat
medium film. Dwimas Angga Sasongko dari Visinema yang telah menelurkan
karya-karya berkualitas seperti Cahaya
dari Timur: Beta Maluku, Filosofi
Kopi, dan Surat dari Praha,
digandeng untuk memproduksinya. Kebetulan Creative & Co juga pernah bekerja
sama untuk campaign Filosofi Kopi
sebelumnya.
Angga kemudian menunjuk Jenny
Jusuf (Filosofi Kopi) untuk mentransformasi
sari-sari bukunya ke dalam sebuah naskah dan Agus Makkie yang selama ini
berkiprah di TVC, music video, dan film dokumenter dipercaya untuk menangani
film yang menandai debutnya sebagai sutradara ini. Atiqah Hasiholan dipilih
untuk memerankan sosok Amalia atas permintaan Amalia Prabowo sendiri, sementara
aktor cilik pendatang baru, Syamsul Rizal atau yang biasa dipanggil Sinyo,
sebagai Aqil. Judul Wonderful Life
(WL) seperti bukunya, dipilih juga untuk mewakili filmnya.
Amalia adalah seorang creative
director dari sebuah advertising agency yang sering menangani klien-klien besar,
bahkan internasional. Di tengah kesibukannya, ia mendapatkan tekanan yang lebih
besar ketika pihak sekolah memanggil dirinya karena putra tunggalnya yang
berusia 8 tahun, Aqil, dianggap lambat belajar, bahkan susah menulis dan membaca.
Kerjaannya hanya menggambar doodle di buku pelajaran. Ayah Amalia menyalahkan
dirinya dan mantan suaminya sebagai penyebab Aqil menjadi siswa yang ‘bodoh’.
Ia mewajibkan Amalia segera mencari pengobatan untuk Aqil. Maka berangkatlah
Amalia bertualang bersama Aqil hingga pelosok untuk mencari pengobatan yang
bisa menyembuhkan ‘penyakit’-nya. Seiring dengan waktu, Amalia sadar menjadi
lebih dekat dengan Aqil setelah selama ini waktunya tersita untuk pekerjaan.
Sebagai konsekuensinya, Amalia harus memilih karir yang terus menuntut waktu
terbesar dari hidupnya atau Aqil.
Memilih perjalanan Amalia dan
Aqil untuk mewakili peristiwa titik balik Amalia menjadi lebih dekat dengan
putranya memang merupakan keputusan terbaik dan paling efektif untuk
menyampaikan keseluruhan cerita mereka. Seiring dengan perjalanan itu, sedikit
demi sedikit back story yang menjadi pertanyaan penonton diselipkan untuk
dijawab. Seharusnya di treatment storytelling seperti ini, perjalanan tersebut
digunakan sebagai perekat bonding antara kedua pihak yang sebelumnya berjarak.
Ada peristiwa demi peristiwa yang semakin mendekatkan keduanya menjadi saling
memahami, hingga titik klimaks sebuah peristiwa ‘luar biasa’ yang benar-benar
membuat kedua pihak ‘bersatu’ sebagai sebuah konklusi. WL terlihat punya intensi
ke arah tersebut, tapi sayangnya menurut saya, masih kurang terasa sebagai
sebuah transformasi yang natural. Ya, memang ada adegan Amalia yang awalnya digambarkan
hygiene-freak, mau menuruti Aqil untuk tidur di alam bebas, misalnya. Tapi
perubahan karakter Amalia secara keseluruhan terasa terlalu tiba-tiba dan
signifikan. Tak ada yang terasa seperti sebuah penerimaan secara bertahap. Selama satu
jam pertama dari durasi, karakter Amalia hanya digambarkan terus-terusan membentak Aqil. Pilihan
mengikuti apa yang dimau Aqil kesemuanya tampak karena keterpaksaan keadaan.
Adegan yang dipilih menjadi titik balik Amalia benar-benar menyadari pentingnya
Aqil pun menurut saya, ganjil. Awalnya kita disuguhi setup bahwa ada
kecelakaan. Eh tiba-tiba Aqil ditemukan dalam kondisi sedang dikerumuni
orang-orang dengan penjelasan ‘mereka senang melihat gambar-gambar Aqil’.
Lantas apa yang membuat orang penyampai setup berpikir ada kecelakaan? Setelah
itu pun tak ada cukup momen untuk menggambarkan Amalia menyadari secara penuh
betapa pentingnya Aqil dalam hidupnya. Jika sebelumnya sempat ada adegan
visualisasi Amalia meluapkan stress lewat teriakan, mengapa justru tak ada
visualisasi transformasi Amalia yang bisa dinalar sekaligus ikut dirasakan
penonton secara penuh juga, yang menurut saya fungsinya jauh lebih krusial
sebagai konklusi film?
Faktor lain yang membuat WL
semakin terasa kurang engaging sebagai sebuah drama mother-son dengan tema
disleksia adalah konklusi di akhir yang menurut saya, terlalu generik. Saya
tahu bahwa anak disleksia lebih bisa memahami dan menyerap ilmu lewat
pengalaman langsung di alam terbuka dan kegiatan-kegiatan fisik. Jika mau
menjelaskan ke penonton (awam) seperti apa metodenya, seharusnya ada lah satu
saja contoh materi pelajaran untuk mewakili yang disampaikan ke Aqil dengan
metode tersebut. Sederhana saja, misalnya pengenalan spesies atau ilmu alam.
Itu pun bisa ditampilkan lewat gambar-gambar insert yang di-dissolve cepat.
Yang penting penonton paham, oh seperti itu to metode penyampaian materinya.
Namun apa yang ditampilkan di hasil akhir hanyalah sekedar Amalia-Aqil
menghabiskan quality time bersama di alam bebas. Jika film memang bertujuan
untuk mengedukasi atau menginformasikan masyarakat awam, maka apa yang
ditampilkan WL di layar terasa serba tanggung. Atau mungkin dengan latar
belakang sutradara Agus Makkie di advertising, ini adalah cara untuk membuat
penonton penasaran mencari tahu lebih lanjut? Well, I guess our society was not
that bothering type, unless they do face the exact problem.
Other than that, saya tidak akan
komplain tentang moral choice saat Amalia kabur dari depot karena dompetnya
hilang (karena selain menunjukkan sisi manusiawi dan setup untuk adegan ‘seru’
bersama yang diharapkan semakin memperkuat ‘bonding’ Amalia-Aqil, toh sudah
dibayar dengan redemption memuaskan di akhir film), atau adegan-adegan Amalia
mencari pengobatan alternatif padahal dirinya sendiri digambarkan sangat modern
(come on, it’s to show that level of desperation!), atau bagaimana mungkin
Amalia-Aqil bisa tetap punya cukup bensin untuk pulang atau iPhone Amalia yang
bisa terus hidup sampai tiba di rumah (again, come on, dalam film ada yang
namanya pilihan terbaik untuk menggerakkan cerita sesuai tujuannya, lebih dari
logika-logika kecil. Pace and duration is still the highest priority!). Ya,
ketiga ‘masalah’ ini sempat dipertanyakan ketika presscon WL di Surabaya. Above
all, setidaknya punya satu elemen yang menurut saya paling menarik, yaitu
mempertanyakan wewenang dan tuntutan orang tua terhadap anak yang sudah
tertanam kuat sejak lama dalam masyarkat kita. Berbagai line di sepanjang film
secara konsisten menggugat. Misalnya, “Aqil nggak sakit, kita yang sakit!”, “Nilai-nilainya
sudah bagus? Sudah jadi juara kelas?”, “kamu sudah gagal menjadi orang tua!”
dan masih banyak lagi, terutama di adegan klimaks dimana Amalia akhirnya berani
mengkonfrontasi sang ayah dengan revealing masa lalu yang menjawab mengapa
hubungan Amalia dan ayahnya merenggang (sayangnya, justru menimbulkan
pertanyaan baru yang tak terjawab hingga akhir, ‘lantas ke mana ayah Aqil?’).
Dengan demikian, bukannya memberi konklusi sesuai subjeknya (yaitu tentang
disleksia), WL menyodorkan konklusi dengan mempertanyakan pola hubungan orang
tua-anak secara general dalam tatanan masyarakat kita, yang mau tak mau juga
menjadi penyebab konflik dalam film secara khusus. Pilihan konklusi yang
bersifat universal, pada akhirnya bisa dipahami secara lebih mudah oleh
penonton terawam sekalipun.
Atiqah Hasiholan sebagai Amalia
yang menjadi karakter sentral, pusat sudut pandang cerita, hanya menunjukkan
sisi stressful dan sisi loving mother setelah klimaks secara satu dimensi untuk
masing-masing sisi. Mungkin ada character development, tapi sayangnya tak
begitu tampak maupun terasa di layar. Saya tidak tahu keseharian Sinyo, tapi
menampilkan sosok Aqil yang kesulitan membaca dan autis ringan, Sinyo terlihat
cukup natural. Tidak ada yang terkesan berlebihan atau dibuat-buat. Sikapnya ke
sang ummi pun cukup wajar. Ada awkwardness yang wajar mengingat karakter Amalia
yang sering marah-marah kepadanya, tapi overall chemistry Atiqah-Sinyo lebih
dari cukup untuk menjadi convincing. Alex Abbad sebagai Aga, partner Amalia di
advertising agency, yang di presscon mengaku melakukan riset terhadap Agus
Makkie yang memang berkiprah di dunia tersebut, memang terlihat punya pressure
yang cukup kendati sebenarnya menurut saya cukup general di bidang apa saja,
tak hanya advertising agency, dan hanya sampai sebatas itu saja keperluannya
dalam cerita. Di lini pemeran pendukung ada Lydia Kandou, Arthur Tobing, dan
Putri Ayudya yang sama-sama memberikan performa pendukung sesuai porsi masing-masing. Terakhir, Didik
Nini Thowok sebagai ahli herbal beruntung menjadi salah satu pencuri perhatian
berkat one liner-nya yang bisa menjadi salah satu highlight keseluruhan film.
Dengan background di TVC dan
dokumenter, Agus Makkie bisa dengan piawai memberikan pengaruh gambar-gambar
cantik yang diarahkan oleh Robie Taswin. Terutama established shot yang
sinematis dengan pergerakan kamera yang smooth dan tertata rapi. Editing Ahsan
Andrian juga mampu menggerakkan cerita dengan cukup baik, terutama dalam meletakkan
adegan-adegan flashback dengan momentum dan pace yang pas. Saya ragu jika adegan-adegan
‘tanggung’ dan ‘kurang jelas’ adalah faktor editing. Musik dari Bottlesmoker
dan McAnderson yang mayoritas bernuansa folk cukup berhasil mengiringi
adegan-adegan menjadi lebih punya rasa dan emosi tersendiri.
Dengan tujuan besarnya untuk mengedukasi
dan menyampaikan informasi tentang parenting, WL mungkin masih belum mampu
menyadarkan penonton (terutama yang berasal dari kalangan orang tua) secara
menyeluruh, apalagi bagi penonton awam. Tapi ia masih punya momen yang secara
generik dan instan menyentuh, thanks to Atiqah-Sinyo performances.
Pertanyaan-pertanyaan gugatan tentang pola hubungan orang tua-anak juga secara
kritis bisa menggugah beberapa penonton. Selebihnya, film WL setidaknya bisa
menjadi trigger agar orang tua bisa lebih aware soal parenting lewat kegiatan-kegiatan
pendamping kampanye parenting yang diadakan Creative & Co. Karena jujur,
jika hanya lewat film WL saja, I don’t think it will be impactful enough.
Lihat data film ii di filmindonesia.or.id.