Gara-Gara Warisan
[2022]

Menggugat Toxic Fatherhood
dengan Simplifikasi Solusi
Atas Nama Keluarga

Film-film produksi (yang biasanya juga ditulis dan disutradarai) Ernest Prakasa sudah terlanjur lekat dengan citra keluarga dan liburan akhir tahun. Sekalinya ini ia mencoba peruntungan di musim libur lebaran setelah Desember 2021 lalu Teka-Teki Tika hasil (box office-nya) jauh di bawah kebiasaan. Namun kali ini ia hanya duduk di bangku produser sekaligus pengawas skenario yang ditulis dan disutradarai oleh kolega sesama komika, Muhadkly Acho. Film bertajuk Gara-Gara Warisan didukung oleh aktor-aktor yang tak bisa dianggap remeh. Mulai aktor senior Yayu Unru,  Oka Antara, Ira Wibowo, Indah Per
matasari, Ge Pamungkas, Lydia Kandou, Lukman Sardi, Sheila Dara Aisha, dan seabreg cameo yang mencoba menyemarakkan suasana libur lebaran tahun ini di tengah-tengah IP raksasa, KKN di Desa Penari dan Kuntilanak 3.

Menyadari kondisi kesehatannya yang kian menurun, Dahlan (Yayu Unru) memutuskan memanggil ketiga anaknya untuk 'berkompetisi' mendapatkan warisan sebuah guest house yang dikelolanya. Keempat karyawan guest house Salma; Wiwin (Aci Resti), Aceng (Ence Bagus), Ijul (Lolox), dan Umar (Dicky Difie) yang akan menilai kinerja ketiga anak Dahlan sekaligus menentukan siapa yang bakal mendapatkan warisan tersebut. Si sulung Adam (Oka Antara) yang bekerja sebagai call center agent sebuah bank melihat ini sebagai peluang untuk keluar dari pekerjaan yang dibencinya sekaligus memberikan penghidupan yang lebih baik untuk istri dan anaknya. Laras (Indah Permatasari) melihat ini sebagai peluang untuk mendanai panti jompo tempat ia bekerja yang nasibnya sedang di ujung tanduk karena donaturnya membatasi budget, meski ia harus menahan diri karena membenci istri baru sang ayah, Asmi (Ira Wibowo). Sementara si bungsu Dicky (Ge Pamungkas) yang pecandu narkoba tapi selalu menjadi kesayangan ayah, berniat berhenti pakai narkoba, menikahi kekasihnya, Vega (Sheila Dara Aisha) dan memulai hidup baru. Ketiganya berkompetisi dengan strateginya sendiri hingga salah satu dari mereka masuk ke dalam perangkap Sanusi (Lukman Sardi), pengusaha tempat hiburan malam yang berniat membeli lahan guest house untuk mengekspansi bisnsisnya. Persaingan yang semakin memburuk pun kian memperkeruh kondisi kesehatan Dahlan.


Secara premis, Gara-Gara Warisan memang terdengar seperti Cek Toko Sebelah dengan beberapa modifikasi. Terutama sekali terletak pada 'bumbu' kompetisi yang (seharusnya) memperseru plot tapi juga sekaligus menuntut penyelesaian yang lebih rumit agar sama berjalan pada koridor yang benar, adil dan sama-sama memuaskan semua pihak. Sayangnya ia masih belum mampu menyelesaikan tantangan yang dibentuk sendiri sejak awal, justru sebenarnya malah menyebabkan konklusi misleading yang dangkal gara-gara penyelesaian yang terlalu disimplifikasi. 

Film dibuka dengan adegan Adam yang ingin berkarir sebagai pemain bola dan berkesampatan tergabung dalam tim nasional tapi ditentang habis-habisan oleh Sang Ayah, Dahlan. Adegan kemudian berpindah ketika ibu kandung mereka sakit-sakitan dan berakhir meninggal dunia. Kemudian setting berpindah ke sekian tahun kemudian ketika ketiga anak Dahlan beranjak dewasa. Adam yang sudah punya istri dan seorang putra bekerja sebagai customer service outsource di sebuah bank. Lewat sebuah adegan yang meski ditampilkan secara komikal tapi kita tahu bahwa Adam sama sekali tidak bahagia dengan pekerjaan yang membuatnya harus terus bersabar, bahkan ketika dimaki habis-habisan oleh kustomer. Tentu kondisi perekonomian keluarga Adam tidak terlalu baik. Sang istri terobsesi menjadi social media influencer hingga rela mengeluarkan budget tak sedikit demi 'memancing' endorsement. Istrinya juga bersikeras memasukkan putra semata wayangnya bersekolah di sekolah swasta dengan harapan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Dari sini penonton mendapatkan kesan betapa Adam sebenarnya (dan sudah sewajarnya) 'dendam' terhadap Dahlan karena sudah 'membunuh' cita-citanya hingga berdampak terhadap semangat hidup Adam. Ini adalah bentuk toxic fatherhood yang terkesan sepele tapi sebenarnya sangat membahayakan dan dampaknya terasa dalam jangka panjang. Secara pribadi saya mengalami hal serupa. Itu lah mengapa sebenarnya saya sangat relate dengan premis yang ditawarkan Gara-Gara Warisan.


Putri tunggal, Laras, membenci Dahlan karena menikahi wanita baru selepas ibu kandung mereka meninggal dunia. Sebenarnya kebencian Laras tak terlalu berdasar, hanya alasan klise dan stereotipikal terhadap sosok 'ibu tiri' yang negatif. Sementara putra bungsu, Dicky, menjadi pemakai narkoba sejak lama dan terobsesi menjadi musisi. Sikap Dahlan terhadap Dicky menjadikan sosoknya terkesan semakin toxic. Dahlan selalu membela dan memenuhi apa pun yang diminta Dicky dengan alasan rasa bersalah telah membuat Dicky mengidap lemah jantung sejak dalam kandungan. Menjelang klimaks, Dicky digambarkan melakukan kesalahan yang fatal hingga harus mengganti rugi sebesar 5 milyar terhadap gembong narkoba. Dengan segera Dahlan malah memutuskan untuk menjual guest house untuk menebus hutang Dicky. Sebuah keputusan gegabah yang lagi-lagi membuktikan toxic fatherhood yang seolah-olah tak pernah berubah hingga penghujung usianya. Tak hanya menciderai masa depan keluarga anak-anaknya yang lain, terutama Adam yang sudah nekad resign dari pekerjaannya demi memenuhi sayembara yang digagas oleh Sang Ayah, tapi juga jauh dari kesan bijak. Bagaimana dengan nasib karyawan-karyawan guest house yang mendadak harus di-PHK begitu saja tanpa pesangon sama sekali mengingat angka yang harus ditebus Dicky sama persis dengan angka jual guest house? Mohon maaf sekali, mau bagaimana pun kondisi kesehatan Dahlan dibuat untuk mengemis iba penonton, sama sekali gagal mengundang simpati saya terhadap sosoknya yang tak henti-hentinya membuat kesalahan. Lantas anak-anaknya harus memaklumi dan memaafkan semua keselahan Dahlan selama ini hanya karena alasan seklise dan sedangkal 'karena kita keluarga'? Well, maaf seribu maaf. Saya tidak bisa menolerir sebuah kedangkalan pemahaman 'keluarga' yang jelas-jelas toxic parah sejak awal dan meski diakui tapi tetap saja diulang berkali-kali kemudian.

Mungkin penonton yang lebih relate ke karakter Dicky ketimbang Adam akan mengalami emotional impact yang berbeda dari saya yang sejak awal sudah sangat relate dengan sosok Adam dan tidak akan mempermasalahkan penyelesaian konflik yang demikian.

Pilihan penyelesaian konflik Gara-Gara Warisan pun terkesan terlalu disimplifikasi dan khayal demi memuluskan ending yang everybody's happy. Secara logika di dunia yang realistis, gembong narkoba sebesar itu mustahil sebegitu mudahnya tertangkap tanpa potensi mengancam keselamatan keluarga Dahlan sama sekali yang bisa dikatakan sebagai pengadunya. Apa pun kemungkinannya, keluarga Dahlan tidak akan bisa hidup tenang ke depannya akibat kesalahan besar dari Dicky yang diperparah oleh 'kebijakan' Dahlan. Setidaknya keputusan tersebut berimbas besar terhadap nasib Adam dan keluarganya. Bagi Laras yang masih single mungkin tak mengalami banyak imbas selain harus berusaha semakin keras untuk memperjuangkan panti jompo tempat ia bekerja.


Komedi yang membumbui hampir sepanjang durasi Gara-Gara Warisan juga tak lepas dari masalah. Selain hampir semua pilihan set komedi yang terkesan terlalu out of place dengan kontekstual adegannya dan set komedi yang melibatkan para karyawan guest house yang terasa terlalu dibuat-buat sekaligus penggambaran yang kelewat bodoh, juga ada dua kali sexual jokes yang melibatkan karakter (tentu saja juga diperankan oleh aktor) anak-anak. Dari semua upaya komedinya, hanya penampilan dari Hesti Purwadinata yang memerankan sosok istri Adam, Rini, yang berhasil memancing tawa saya lewat keluguan dan pembawaannya yang sangat natural.

Dari sekian banyak problematika Gara-Gara Warisan, tampaknya tak banyak penonton yang merasa terganggu. Setidaknya bagi penonton umum (yang tidak mengalami kondisi keluarga seperti yang digambarkan, dan/atau sudah ditinggal oleh sosok ayah dengan kesan baik-baik), kemasan drama komedi keluarga dengan bumbu 'bawang' yang ditawarkan Gara-Gara Warisan masih akan berhasil-berhasil saja menghibur sekaligus menyentuh. Namun jika diteliti dan direnungkan lebih mendalam, tak sulit untuk berkesimpulan bahwa apa yang digambarkan dalam film dengan konklusi yang demikian bukanlah sebuah gambaran keluarga yang 'sehat'.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.

Diberdayakan oleh Blogger.