
Di skena anime, judul Violet Evergarden yang pertama kali diperkenalkan ke publik tahun 2015 dalam format novel ringan tergolong populer. Apalagi setelah diadaptasi ke format serial anime yang terdiri dari 14 episode di tahun 2018, disusul film spin-off pertamanya, Violet Evergarden: Eternity and the Auto Memory Doll yang dirilis tahun 2019 silam. Kini di awal 2021, penggemar di Indonesia mendapatkan kesempatan untuk menjadi saksi film layar lebar kedua yang di negara asalnya rilis September 2020 silam, Violet Evergarden: The Movie.
Tak tanggung-tanggung, performa box office di negara asalnya berhasil melampaui pendapatan film layar lebar pertamanya dengan membukukan 559 juta Yen di 5 hari pertama tayang dan ditutup dengan angka 2.13 miliar Yen (US$ 21 juta) sekaligus menduduki peringkat ketujuh film dengan penghasilan tertinggi sepanjang tahun 2020 di box office Jepang. Tiga dari Lima nominasi penghargaan Tokyo Anime Awards Festival 2021 pun berhasil dimenangkan, yaitu untuk kategori Grand Prize for Feature Film Animation, Best Art Direction, dan Best Screenplay/Original Story.
Tak seperti film panjang pertamanya yang tergolong tayang terbatas di jaringan-jaringan bioskop tertentu saja di Indonesia, film layar lebar keduanya ini mendapatkan layar yang lebih banyak, termasuk jaringan Cinema 21 yang merupakan terbesar di Indonesia, sejak 3 Maret 2021.
Setelah mengemban profesi sebagai boneka penulis pesan atau Auto Memory Doll (penulis yang tugasnya membantu menerjemahkan perasaan terpendam seseorang ke orang lainnya yang mungkin sulit disampaikan oleh sang klien dalam bentuk kalimat) di kantor pelayanan pos CH Postal Company, Violet Evergarden perlahan mulai pulih dari trauma masa lalu saat menjadi bagian dari perang yang juga membuat tangannya harus diganti dengan prostetik metal. Saat sedang disewa oleh Yurith, seorang anak laki-laki yang sedang sekarat untuk menuliskan surat kepada orang tua dan sang adiknya, Violet makin memahami emosi dan perasaan manusia, termasuk mendefinisikan "Cinta" yang pernah disampaikan kepadanya oleh seorang prajurit bernama Mayor Gilbert Bougainvillea terakhir kali sebelum Violet tak sadarkan diri dalam perang. Perlahan hatinya mulai mampu memahami dan merasakan Yurith sehingga ia pun setuju untuk melayani permintaan Yurith.
Sialnya, di saat yang sama Violet mendapatkan kabar keberadaan Mayor Gilbert sekarang. Dilema moral dalam diri Violet mulai bergejolak. Tetap ingin membantu Yurith yang tampaknya tak lagi punya banyak waktu untuk menyelesaikan menulis surat-suratnya, atau nekad menghampiri lokasi yang disinyalir menjadi tempat Mayor Gilbert mengasingkan diri paska perang, untuk sekadar meluapkan kerinduannya maupun mendapatkan jawaban mengapa dirinya meninggalkan Violet sendiri dan mengasingkan diri.
Begitulah kurang lebih garis besar plot yang diusung Violet Evergarden: The Movie lewat durasinya yang mencapai 140 menit (!). Bagi yang belum familiar dengan plot maupun konsep besar dari anime-nya, tak perlu berkecil hati. Di awal film ditampilkan gambaran yang cukup tentang masa lalu Violet maupun konsep profesi Auto Memory Doll. Ini setidaknya lebih dari cukup untuk sekadar memahami apa yang ditawarkan di film panjang keduanya ini. Memang dengan durasi yang tergolong panjang, tergolong efektif untuk memberikan gambaran perasaan Violet sehingga penonton yang sebelumnya awam sama sekali pun mampu bersimpati pada karakternya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa tak banyak pengembangan plot untuk menjadikan durasi 140 menit terasa padat. Alhasil alur yang digulirkan terasa sangat lambat (atau meminjam istilah bahasa Jawa, lebih tepatnya, lelet atau klemak-klemek), ditambah nuansa yang dibangun konsisten mendayu-dayu sepanjang film, menjadikan film terasa dibuat-buat terlalu dramatis dan kurang berenergi. Bahkan bukan tak mungkin jika sampai ada penonton (terutama yang awam dengan materi aslinya) yang mengantuk hingga terlelap.
Namun tak bisa dipungkiri pula, Violet Evergarden: The Movie di beberapa bagian memang berhasil memancing simpati dan/atau iba dari penonton terhadap para karakter. Bagi saya pribadi melihat ekspresi wajah adik Yurith yang polos dan kerap sedih karena sering diperlakukan kasar oleh Yurith sudah dengan mudah memancing rasa iba saya yang sebenarnya tergolong 'pelit'.
Untuk urusan kualitas gambar animasi yang begitu cantik dan mendetail, tentu tidak perlu diragukan lagi keindahannya. Meski tak sampai menjadi sesuatu yang eksepsional (apalagi di ranah anime), setidaknya kualitas animasi Violet Evergarden: The Movie tergolong bisa dipertanggung-jawabkan dan memanjakan mata. Apalagi jika ditonton di layar lebar berukuran besar yang semakin terlihat jelas detail dan ketajaman warna-warnanya. Pun juga penataan komposisi frame dan tracking kamera yang sangat sinematis.
Bagi penggemar atau sekadar mengikuti serial animenya, Violet Evergarden: The Movie jelas menawarkan momen-momen yang istimewa, terutama yang penasaran dengan nasib dan pilihan sikap Mayor Gilbert terhadap Violet. Sementara bagi penonton awam, asalkan terbiasa dan kuat melahap sajian melodrama yang mendayu-dayu sepanjang 140 menit, Violet Evergarden: The Movie juga masih bisa menjadi sajian anime yang kualitasnya di atas rata-rata. Tentu sajian audio-visual yang sinematik mejadi alasan tersendiri untuk tidak melewatkan kesempatan merasakannya di layar lebar dengan kualitas fasilitas teatrikal yang mumpuni. Violet Evergarden: The Movie tayang di jaringan bioskop Cinepolis, CGV* Cinema, dan XXI mulai 3 Maret 2021.
Lihat data film ini di IMDb.