3/5
Chick Flick
Comedy
Drama
Friendship
Indonesia
mature relationship
Pop-Corn Movie
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Shy Shy Cat
Pertengahan tahun 2016 netizen dikejutkan dengan foto aktris
Acha Septriasa bersama Nirina Zubir di Instagram. Di tengah marak film-film
Indonesia populer di awal era 2000-an yang bereuni, tentu ini menimbulkan
spekulasi akan adanya follow up dari film roman karya Hanni R. Saputra rilisan
tahun 2006 alias sepuluh tahun lalu, Heart
yang melambungkan nama Acha Septriasa dan mantan pasangannya, Irwansyah.
Ternyata dugaan itu salah. Acha dan Nirina memang kembali dipertemukan dalam
satu layar, tapi untuk sebuah film komedi romantic baru berjudul Shy Shy Cat (SSC). Ini juga bukan remake
dari film komedi romantis keluaran 1980, Malu-Malu
Kucing yang dibintangi Mutia Datau dan Herman Felani. Disutradarai Monty Tiwa yang termasuk sangat
berpengalaman di genrenya, dan naskah yang disusun oleh Monty bersama Adhitya
Mulya (Jomblo, Test Pack: You Are My Baby, dan Sabtu
Bersama Bapak), daya tarik utamanya adalah trio Nirina-Acha dan Tika
Bravani yang karirnya akhir-akhir ini kian melambung.
Mira yang bekerja sebagai banker sukses di Jakarta baru saja
menginjak usia 30 tahun. Bukannya bahagia karena punya karir yang sukses dan
sahabat-sahabat ‘nyentrik’ tapi saling memahami; Jessy Bomb, aktris esek-esek
yang merasa insecure karena karirnya stagnan, dan Umi, perancang busana yang
sering diserang reaksi depresi berlebihan, ia justru gelisah mengingat nazar ke
orang tuanya ketika meninggalkan kampung halamannya, Desa Sindang Barang. Kala
itu Mira setuju untuk pulang kampung dan menjalani perjodohan dengan Otoy, anak
Pak Haji jika sampai usia 30 tahun belum juga menemukan jodoh di kota. Dalam
ingatan Mira, Otoy adalah sosok mesum yang menyebalkan. Siasat pun disusun oleh
Jessy Bomb dan Umi yang berniat menggoda Otoy supaya image-nya buruk di depan
kedua orang tua Mira ketika ketiganya mengunjungi Desa Sindang Barang. Ternyata
Otoy yang sekarang jauh berbeda. Selain tampan, kalem, intelektual, juga punya
pengaruh besar dalam pembangunan Desa Sindang Barang menjadi lebih modern.
Jessy Bomb dan Umi malah benar-benar bersaing untuk menarik perhatian Otoy.
Sementara Mira semakin sebal dengan Otoy karena Sang Abah berniat mewariskan
padepokan silat miliknya ke Otoy. Persahabatan antara Mira, Jessy, dan Umi
terancam retak.
Menggabungkan tema psikologis/sosiokultural tentang
thirty-something crisis dengan woman friendship, SSC punya potensi yang sangat
besar sebagai sebuah komedi romantis. Apalagi ternyata ketiga aktris ini
berhasil melakoni peran masing-masing dengan ‘pecah’ dan gokil dengan
keunikannya sendiri, terutama Jessy Bomb dan Umi. Sayangnya, Mira yang
seharusnya menjadi karakter utama dituliskan terlalu ‘biasa’, tanpa
perkembangan karkter yang cukup (bahkan karakter Inul yang tergolong karakter
pendukung nomer sekian, in the end masih lebih berkesan bagi saya) dan kurang
simpatik, sehingga terasa kalah pesona dibandingkan Jessy Bomb dan Umi.
Namun faktor penghambat lancarnya laju plot SSC adalah terlalu
banyaknya sub-plot yang berusaha dijejalkan ke dalam satu paket. Andaikan saja
cerita berfokus pada struktur plot: persahabatan-perjodohan-persaingan-konklusi
yang memuaskan semua pihak dan politically correct, mungkin SSC bakal menjadi
sebuah komedi satir psikologis/sosiokultural yang tak hanya menggelitik, tapi
juga solid dalam menyampaikan value-value-nya. Faktanya, dijejalkan pula
sub-plot tentang konflik padepokan silat, konflik batin Mira yang serba egois,
pembangunan desa, sampai fenomena bayar hutang dengan pernikahan. Bukannya
saling mendukung, sub-plot ini justru membuat plot utama tentang persaingan dalam
mendapatkan perhatian dari Otoy sempat terasa tenggelam sebelum akhirnya
terangkat lagi. Akhirnya secara keseluruhan, SSC terasa terlalu panjang,
bertele-tele, dan poin utamanya pun menjadi samar.
Untuk urusan humor, Adhitya-Monty termasuk berhasil mendesain
karakter yang memang sudah berhasil memancing tawa. Apalagi ternyata dibawakan
dengan sangat baik oleh para aktor-aktris-nya, yang konon lebih banyak
berimprovisasi. Tak hanya untuk karakter-karakter utamanya, tapi bahkan
karakter pendukung seperti Asep yang benar-benar dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk memancing kejadian-kejadian kocak.
Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, Nirina Zubir
mengisi peran Mira yang sayangnya ditulis dengan sangat ‘biasa’, tanpa
perkembangan karakter yang terasa penting, dan kurang mampu menarik simpati
penonton. Nirina masih tampak berusaha menunjukkan dilema-dilema yang dipikul
karakternya, terutama lewat ekspresi wajah. Sayangnya, itu belum cukup untuk
membuat karakternya terasa lebih stand-out. Acha Septriasa sebagai Jessy Bomb
menjadi daya tarik utama yang mengalihkan perhatian penonton. Aura karakter
yang ‘nakal’, sensual, tapi sekaligus lugu berhasil dibawakannya dengan begitu
hidup, convincing, sekaligus mengundang tawa. Tika Bravani sebagai Umi pun
masih mampu memancing tawa lewat gesture dan reaksi-reaksi ekspresinya. Fedi
Nuril masih membawakan peran tipikalnya lewat karakter Otoy, pria kalem dan
baik-baik. Titi Kamal sebagai Inul surprisingly menjadi performance karakter
serius yang justru paling bisa mengundang simpati penonton.
Soleh Solihun sebagai Asep yang dimanfaatkan sebagai karakter
pemancing suasana-suasana kocak juga berhasil menjalankan peran sesuai
tujuannya. Pasangan Budi Dalton dan Fitria Sechan sebagai ayah dan ibu Mira bak
mengulang peran serupa di Ngenest
(sebagai mama-papa Meira). Sementara kemunculan para pendukung berikutnya,
seperti Iszur Muchtar, Dwi Sasono, Tio Pakusadewo, Juwita Bahar, Adelia Rasya,
Poppy Sovia, Oon Project Pop, Ikang Sulung, dan Bella Graceva cukup noticeable.
Sinematografi Rollie Markiano mungkin tak memberikan sesuatu
yang istimewa, tapi lebih dari cukup untuk menyampaikan ceritanya dengan jelas.
Agak FTV-ish dan bahkan beberapa shot aerial dengan drone masih terlihat pecah-pecah,
tapi setidaknya keindahan alam pedesaan dan gimmick-gimmick modernisasinya
masih cukup bisa memanjakan mata. Editing yang melibatkan Wawan I Wibowo, Cesa
David Luckmansyah, dan Artopo P. Setyawan terlihat berupaya menjaga pace dan
comedic-timing-nya seefektif mungkin lewat J-cut dan L-cut yang bertebaran di hampir
sepanjang film. Penata music dari Ganden Bramanto cukup menarik dengan
perpaduan musik tradisional Sunda dan koplo.
Sebagai produk pure-entertainment, SSC masih mampu menjadi
tontonan yang menggelitik dan menghibur, terutama lewat penampilan
aktor-aktris-nya. Ada potensi konsep cerita dengan value-value yang bold di
balik kemasan komedi satir sosialnya. Sayang jejalan-jejalan sub-plot yang
terlalu banyak justru ‘mencemari’ maksud dan tujuan tersebut. So, nikmati saja
SSC as it was. A pure entertainment that will make you laugh here and there.