The Jose Flash Review
Ae Dil Hai Mushkil

Nama Karan Johar di industri perfilman Bollywood sudah tak perlu diragukan lagi. Lewat Dharma Productions yang didirikan oleh sang ayah, Yash Johar, ia memulai sukses karirnya lewat film Hindi paling fenomenal, Kuch Kuch Hota Hai (1998), Kabhi Khushi Kabhie Gham (2001), Kabhi Alvida Naa Kehna (2006), My Name is Khan (2010), dan Student of the Year (2012). Diwali (hari raya masyarakat Hindi) tahun ini, Johar mempersembahkan karya terbarunya, Ae Dil Hai Mushkil (ADHM, terjemahan Inggrisnya: This Heart is Complicated). Ia menggandeng aktor populer Ranbir Kapoor, didukung Anushka Sharma, Aishwarya Rai Bachchan, Imran Abbas, Fawad Khan, bahkan cameo dari Alia Bhatt dan Shah Rukh Khan. Sempat diwarnai kontroversi boikot karena keterlibatan aktor Pakistan, Fawad Khan, akhirnya ADHM bisa rilis secara serentak di seluruh dunia, berkompetisi dengan film Diwali lainnya, Shivaay.
Berawal dari niat untuk one night stand yang batal karena ilfil, Ayan dan Alizeh memutuskan untuk menghabiskan malam dengan saling ngobrol dari club ke club. Semakin jauh mereka saling merasa punya koneksi yang unik. Ayan adalah anak konglomerat yang tinggal di London untuk kuliah bisnis. Meski punya pacar yang menurut Alizeh seorang gold-digger, Ayan sebenarnya belum pernah benar-benar jatuh cinta. Sementara Alizeh berpacaran dengan seorang dokter sebagai hasil dari perjodohan. Keduanya memutuskan untuk pergi berlibur bersama ke Perancis setelah sama-sama memergoki pacar masing-masing berselingkuh. Perlahan Ayan jatuh cinta kepada Alizeh sementara Alizeh merasa lebih nyaman untuk menjadikannya sahabat. Menurutnya, ia tak mau kehilangan sahabat. Titik balik terjadi ketika Alizeh tak sengaja bertemu kembali dengan mantannya yang membuatnya tidak bisa move on, DJ Ali. Alizeh memutuskan untuk kembali menjalin hubungan dengan DJ Ali hingga jenjang pernikahan. Ayan sakit hati dan memutuskan menjalin hubungan dengan seorang penulis, Saba. Namun rupanya Ayan sebenarnya belum benar-benar sembuh dari patah hatinya.
Dari permukaan terluar, ADHM seperti sekedar kisah bertepuk sebelah tangan segi sekian. Namun jika mau diperhatikan lebih dalam, ada konsep tentang membedakan cinta sebagai kekasih dan sahabat. Oke, generasi kita mungkin lebih suka pakai istilah ‘friendzone’ dengan alasan-alasan klise. Bedanya, ADHM menjadikan tema ‘friendzone’ ini bukan sekedar alasan klise, tapi sebuah kebimbangan dalam mengidentifikasi sebuah perasaan yang muncul secara natural. Karakter Alizeh menunjukkan hal tersebut dengan sangat jelas. Jika mau mencari ‘kambing hitam’, ia pun punya alasan yang masuk akal: trauma akan hubungan serius di masa lalu yang kandas, sehingga ia merasa sayang jika persahabatan yang selama ini didambakannya juga berakhir sama. ADHM menunjukkan dan membuat penonton bisa merasakan semua perasaan itu. Tidak semata-mata picisan atau gombal semata.
Meruntut jalannya plot, jelas pula bahwa ADHM menggunakan sudut pandang kaum pria (diwakili oleh Ayan) yang mengalami pelajaran penting tentang perasaan cinta. Ada timbal-balik yang ditunjukkan dengan jelas dan bisa dirasakan dengan cukup mendalam pula oleh penonton. Mulai Ayan yang belum pernah tau rasanya jatuh cinta dan sakit hati sehingga lagu-lagu yang ia nyanyikan terasa ‘mentah’ hingga akhirnya ia merasakan sendiri dan berdampak pada lagu yang ia bawakan.
Sayangnya, jalinan cerita ADHM yang terjalin mulus harus sedikit dinodai oleh twist ala disease exploitation yang came out of nowhere. Jika mau dipikir-pikir lagi, sebenarnya tak salah juga karena biasanya perasaan yang sebenarnya (yang tanpa syarat) baru terungkap ketika menjelang perpisahan. Namun untuk kasus ADHM ini kesannya seperti mencari jalan pintas yang paling mudah sebagai konklusi. Mungkin bukan konklusi dan wrap-up yang buruk, tapi menurut saya ada cara lain yang lebih baik untuk menghindari klise yang terlalu dibuat-buat.
Above all, yang paling membuat saya betah menikmati jalinan kisah ADHM di balik durasinya yang mencapai 158 menit adalah nuansa ceria yang diusung terutama di satu setengah jam pertama. Meski diwarnai perasaan luka oleh cinta, tapi nuansa ceria dengan iringan musik berirama EDM mampu dipertahankan. Belum lagi dengan dialog-dialog witty dan komedi yang sifatnya homage terhadap berbagai film-film Hindi klasik, mulai An Evening in Paris (1967), Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khushi Kabhie Gham, Kal Ho Naa Ho, sampai My Name is Khan. Agak menyindir betapa ‘gila’-nya adegan-adegan di film-film tersebut, tapi nyatanya berhasil menjadi guyonan yang efektif, apalagi jika Anda termasuk penonton yang rajin mengikuti perkembangan film Hindi populer.
Kharisma Ranbir Kapoor masih belum pudar sebagai karakter sentral, Ayan. Mungkin bukan performa terbaiknya, tapi lebih dari cukup untuk menggambarkan transformasi perasaannya dengan maksimal. Chemistry yang dibangunnya bersama Anushka Sharma pun terasa kuat, baik dalam konteks asmara maupun persahabatan. Aishwarya Rai Bachchan sebagai Saba menunjukkan pesona keanggunan serta keseksian yang mencuri perhatian. Sementara Fawad Khan, Alia Bhatt, dan tentu saja Shah Rukh Khan himself, menjadi penampilan cameo yang paling menarik.
Film Hindi terasa kurang lengkap tanpa nomer-nomer musikal yang menghiasi. Di tengah-tengah film Hindi yang makin kering musik akhir-akhir ini (kebanyakan hanya menggunakan musik sebagai latar pengiring, tidak disertai dance performance yang menyatu dengan plot), ADHM menawarkan musik-musik yang catchy dan memorable, hasil gubahan Pritam yang tak perlu diragukan lagi kualitasnya, dan lirik dari Amitabh Bhattacharya. Mulai Tu Hai Meri Baby Doll Song, Cutiepie, dan The Breakup Song yang berirama EDM, hingga theme song Ae Dil Hai Mushkil, Bulleya, dan Channa Mereya yang berirama ballad. Sinematografi Anil Mehta berhasil mengekplorasi set-set cantiknya, mulai London, Paris, Vienna, dan Lucknow dengan camerawork yang sinematis, termasuk musical-musical performances-nya. Editing Manik Dawar pun mampu membuat pace antara fun dan melankoli-nya berjalan lancar serta nyaman diikuti. Sound design dan sound mixing yang mumpuni membuat suasana ceria terasa makin meriah dengan pemanfaatan fasilitas surround yang maksimal pula.
Jika Anda menikmati film-film romansa Hindi dengan treatment storytelling dan nomer-nomer musikal yang menjadi khasnya, maka ADHM sayang untuk dilewatkan begitu saja. Apalagi content-nya yang menurut saya mampu mewakili cukup banyak insan manusia pecinta dengan plot yang logis dan tidak menye-menye (setidaknya sampai sebelum twist-nya terkuak). That’s why I think ADHM layak saya masukkan sebagai salah satu rekomendasi referensi film sebagai pelajaran tentang asmara yang esensial, khususnya untuk laki-laki.
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.