4/5
Box Office
Comedy
Drama
Hindi
mature relationship
Musical
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ae Dil Hai Mushkil
Nama Karan Johar di industri perfilman Bollywood sudah tak
perlu diragukan lagi. Lewat Dharma Productions yang didirikan oleh sang ayah,
Yash Johar, ia memulai sukses karirnya lewat film Hindi paling fenomenal, Kuch Kuch Hota Hai (1998), Kabhi Khushi Kabhie Gham (2001), Kabhi Alvida Naa Kehna (2006), My Name is Khan (2010), dan Student of the Year (2012). Diwali (hari
raya masyarakat Hindi) tahun ini, Johar mempersembahkan karya terbarunya, Ae Dil Hai Mushkil (ADHM, terjemahan
Inggrisnya: This Heart is Complicated).
Ia menggandeng aktor populer Ranbir Kapoor, didukung Anushka Sharma, Aishwarya
Rai Bachchan, Imran Abbas, Fawad Khan, bahkan cameo dari Alia Bhatt dan Shah
Rukh Khan. Sempat diwarnai kontroversi boikot karena keterlibatan aktor
Pakistan, Fawad Khan, akhirnya ADHM bisa rilis secara serentak di seluruh
dunia, berkompetisi dengan film Diwali lainnya, Shivaay.
Berawal dari niat untuk one night stand yang batal karena
ilfil, Ayan dan Alizeh memutuskan untuk menghabiskan malam dengan saling
ngobrol dari club ke club. Semakin jauh mereka saling merasa punya koneksi yang
unik. Ayan adalah anak konglomerat yang tinggal di London untuk kuliah bisnis.
Meski punya pacar yang menurut Alizeh seorang gold-digger, Ayan sebenarnya
belum pernah benar-benar jatuh cinta. Sementara Alizeh berpacaran dengan
seorang dokter sebagai hasil dari perjodohan. Keduanya memutuskan untuk pergi
berlibur bersama ke Perancis setelah sama-sama memergoki pacar masing-masing
berselingkuh. Perlahan Ayan jatuh cinta kepada Alizeh sementara Alizeh merasa
lebih nyaman untuk menjadikannya sahabat. Menurutnya, ia tak mau kehilangan
sahabat. Titik balik terjadi ketika Alizeh tak sengaja bertemu kembali dengan
mantannya yang membuatnya tidak bisa move on, DJ Ali. Alizeh memutuskan untuk
kembali menjalin hubungan dengan DJ Ali hingga jenjang pernikahan. Ayan sakit
hati dan memutuskan menjalin hubungan dengan seorang penulis, Saba. Namun
rupanya Ayan sebenarnya belum benar-benar sembuh dari patah hatinya.
Dari permukaan terluar, ADHM seperti sekedar kisah bertepuk
sebelah tangan segi sekian. Namun jika mau diperhatikan lebih dalam, ada konsep
tentang membedakan cinta sebagai kekasih dan sahabat. Oke, generasi kita
mungkin lebih suka pakai istilah ‘friendzone’ dengan alasan-alasan klise.
Bedanya, ADHM menjadikan tema ‘friendzone’ ini bukan sekedar alasan klise, tapi
sebuah kebimbangan dalam mengidentifikasi sebuah perasaan yang muncul secara
natural. Karakter Alizeh menunjukkan hal tersebut dengan sangat jelas. Jika mau
mencari ‘kambing hitam’, ia pun punya alasan yang masuk akal: trauma akan
hubungan serius di masa lalu yang kandas, sehingga ia merasa sayang jika
persahabatan yang selama ini didambakannya juga berakhir sama. ADHM menunjukkan
dan membuat penonton bisa merasakan semua perasaan itu. Tidak semata-mata
picisan atau gombal semata.
Meruntut jalannya plot, jelas pula bahwa ADHM menggunakan
sudut pandang kaum pria (diwakili oleh Ayan) yang mengalami pelajaran penting
tentang perasaan cinta. Ada timbal-balik yang ditunjukkan dengan jelas dan bisa
dirasakan dengan cukup mendalam pula oleh penonton. Mulai Ayan yang belum
pernah tau rasanya jatuh cinta dan sakit hati sehingga lagu-lagu yang ia
nyanyikan terasa ‘mentah’ hingga akhirnya ia merasakan sendiri dan berdampak
pada lagu yang ia bawakan.
Sayangnya, jalinan cerita ADHM yang terjalin mulus harus
sedikit dinodai oleh twist ala disease exploitation yang came out of nowhere.
Jika mau dipikir-pikir lagi, sebenarnya tak salah juga karena biasanya perasaan
yang sebenarnya (yang tanpa syarat) baru terungkap ketika menjelang perpisahan.
Namun untuk kasus ADHM ini kesannya seperti mencari jalan pintas yang paling
mudah sebagai konklusi. Mungkin bukan konklusi dan wrap-up yang buruk, tapi
menurut saya ada cara lain yang lebih baik untuk menghindari klise yang terlalu
dibuat-buat.
Above all, yang paling membuat saya betah menikmati jalinan
kisah ADHM di balik durasinya yang mencapai 158 menit adalah nuansa ceria yang
diusung terutama di satu setengah jam pertama. Meski diwarnai perasaan luka
oleh cinta, tapi nuansa ceria dengan iringan musik berirama EDM mampu
dipertahankan. Belum lagi dengan dialog-dialog witty dan komedi yang sifatnya homage terhadap berbagai
film-film Hindi klasik, mulai An Evening
in Paris (1967), Kuch Kuch Hota Hai,
Kabhi Khushi Kabhie Gham, Kal Ho Naa Ho, sampai My Name is Khan. Agak menyindir betapa
‘gila’-nya adegan-adegan di film-film tersebut, tapi nyatanya berhasil menjadi
guyonan yang efektif, apalagi jika Anda termasuk penonton yang rajin mengikuti
perkembangan film Hindi populer.
Kharisma Ranbir Kapoor masih belum pudar sebagai karakter
sentral, Ayan. Mungkin bukan performa terbaiknya, tapi lebih dari cukup untuk
menggambarkan transformasi perasaannya dengan maksimal. Chemistry yang
dibangunnya bersama Anushka Sharma pun terasa kuat, baik dalam konteks asmara
maupun persahabatan. Aishwarya Rai Bachchan sebagai Saba menunjukkan pesona
keanggunan serta keseksian yang mencuri perhatian. Sementara Fawad Khan, Alia
Bhatt, dan tentu saja Shah Rukh Khan himself, menjadi penampilan cameo yang
paling menarik.
Film Hindi terasa kurang lengkap tanpa nomer-nomer musikal
yang menghiasi. Di tengah-tengah film Hindi yang makin kering musik akhir-akhir
ini (kebanyakan hanya menggunakan musik sebagai latar pengiring, tidak disertai
dance performance yang menyatu dengan plot), ADHM menawarkan musik-musik yang
catchy dan memorable, hasil gubahan Pritam yang tak perlu diragukan lagi
kualitasnya, dan lirik dari Amitabh Bhattacharya. Mulai Tu Hai Meri Baby Doll Song, Cutiepie,
dan The Breakup Song yang berirama
EDM, hingga theme song Ae Dil Hai Mushkil,
Bulleya, dan Channa Mereya yang berirama ballad. Sinematografi Anil Mehta
berhasil mengekplorasi set-set cantiknya, mulai London, Paris, Vienna, dan Lucknow
dengan camerawork yang sinematis, termasuk musical-musical performances-nya.
Editing Manik Dawar pun mampu membuat pace antara fun dan melankoli-nya
berjalan lancar serta nyaman diikuti. Sound design dan sound mixing yang
mumpuni membuat suasana ceria terasa makin meriah dengan pemanfaatan fasilitas
surround yang maksimal pula.
Jika Anda menikmati film-film romansa Hindi dengan treatment
storytelling dan nomer-nomer musikal yang menjadi khasnya, maka ADHM sayang
untuk dilewatkan begitu saja. Apalagi content-nya yang menurut saya mampu
mewakili cukup banyak insan manusia pecinta dengan plot yang logis dan tidak
menye-menye (setidaknya sampai sebelum twist-nya terkuak). That’s why I think
ADHM layak saya masukkan sebagai salah satu rekomendasi referensi film sebagai
pelajaran tentang asmara yang esensial, khususnya untuk laki-laki.