3.5/5
Action
Adventure
Asia
Crime
Drama
Father-and-Daughter
Hindi
Mafia
Parenting
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Shivaay
Selain SRK, nama Ajay Devgn di peta perfilman Bollywood juga
tak kalah populer. Sejak 1991, suami dari aktris Kajol ini sudah membintangi
lebih dari seratus judul. Tak hanya puas menjadi aktor, Devgn pun merambah
bangku penyutradaraan yang dilakoninya pertama kali lewat U Me Aur Hum (2008) di bawah bendera Ajay Devgn Ffilms. Salah satu
ambisinya adalah membuat film aksi yang sudah direncanakannya sejak lama tapi
harus dipending karena over-budget. Setelah mengalami perjalanan yang cukup
berliku, proyek yang diberi tajuk Shivaay
ini akhirnya siap rilis bertepatan dengan perayaan Diwali tahun 2016, head to
head dengan film terbaru Karan Johar, Ae
Dil Hai Mushkil. Dengan bekal trailer yang menjanjikan adegan-adegan aksi
mendebarkan dan money-shot, Shivaay
dengan mudah mengundang rasa penasaran untuk mengalaminya sendiri di layar
lebar.
Seorang pemandu pendakian Himalaya, Shivaay, selama ini
dikenal penyendiri dan lebih sering sinis. Pandangannya terhadap orang lain
berubah ketika bertemu salah satu turisnya yang berasal dari Bulgaria tapi
fasih berbahasa Hindi, Olga. Pasca penyelamatan dari bencana longsor, keduanya
kian dekat hingga Olga hamil. Konflik terjadi karena Shivaay ingin
mempertahankan bayinya, sementara Olga lebih memilih menggugurkannya karena ia
harus kembali ke Bulgaria dan tak mau tinggal di India. Perjanjian pun dibuat,
setelah melahirkan, Olga kembali ke negaranya sementara sang putri yang diberi
nama Gaura, tinggal bersama Shivaay.
Ketika menginjak usia delapan tahun, Gaura tak sengaja
menemukan surat berisi rahasia sang ibu kandung yang selama ini dianggap sudah
meninggal dunia. Gaura menuntut Shivaay untuk pergi ke Bulgaria menemui sang
ibu. Sesampai di Bulgaria, ujian berikutnya menanti. Gaura diculik sindikat
human trafficking internasional. Perbedaan ciri fisik ras antara Gaura dan
Shivaay membuat pihak kepolisian meragukan status ayah-anak dari mereka berdua.
Shivaay tak punya pilihan lain selain memburu sendiri pelaku penculikan Gaura,
meski beresiko menjadi buronan polisi Bulgaria bahkan mungkin mengancam
nyawanya.
Dari sinopsis, Shivaay
seperti perpaduan antara Taken, The Fugitive, dan sedikit Everest. Kendati demikian, pertalian
hubungan (terutama secara emosional) mendapatkan porsi yang terbesar. Bagusnya,
Shivaay berhasil menyuguhkannya lewat
beberapa momen yang memang menyentuh dan menggugah. Di lain kesempatan,
kekuatan Shivaay sebagai sebuah
action tanpa ampun, intens, dan brutal juga tak kalah membelalakkan mata. Terkesan egois
dan mengorbankan banyak pihak tak berdosa demi memuluskan tujuan sang
protagonis, mungkin bisa menghilangkan simpati penonton. Namun dengan konsep
nama Shivaay berasal dari Dewa Shiva yang bisa ‘menghancurkan’ pada
kondisi-kondisi tertentu, maka diharapkan penonton bisa ‘memaklumi’. As for me,
dengan meyakinkan diri bahwa ini hanya film yang dibuat untuk bersenang-senang
semata, maka aspek moralitas tersebut bisa saya kesampingkan sementara.
Sayangnya, Shivaay
tampaknya terlena untuk mengulur-ulur cerita sehingga terasa begitu melelahkan
ketika durasi sudah menginjak dua sampai dua setengah jam. Lika-liku menemukan
posisi terpuncak dari sindikat perdagangan manusia terasa terlalu
berbelit-belit. Memang pada akhirnya memberi kesempatan untuk lebih banyak
adegan aksi, tapi nyatanya upaya itu masih belum mampu mengangkat gairah
penonton untuk mengikuti arah plot lebih lanjut. Hingga akhirnya klimaks
hubungan antara Shivaay dan Gaura yang seharusnya bisa membuat emosi penonton
memuncak harus lewat begitu saja. Durasi yang mencapai 169 menit memang
akhirnya terasa begitu melelahkan. In my personal opinion, andai saja durasinya
dipangkas menjadi dua jam saja, tanpa revealing sindikat yang berbelit-belit, Shivaay bakal jauh lebih asyik untuk
diikuti.
Ajay Devgn sebagai Shivaay jelas punya kharisma yang begitu
kuat sebagai lead. Adegan-adegan aksi brutal, stunt nekad, sekaligus melodrama
emosional ketika berhadapan dengan Abigail Eames (Gaura) maupun Erika Kaar
(Olga) berhasil dilakoninya dengan cukup maksimal. Begitu juga amarah terhadap
kondisi yang menghimpitnya yang mampu membuat penonton ikut terenyuh. Abigail
Eames sebagai Gaura pun menjadi salah satu daya tarik utama yang mustahil terabaikan.
Meski harus menghidupkan peran gadis bisu, ia berhasil menampilkan segala emosi
dengan tepat. Sayyeshaa Saigal sebagai Anushka mungkin tak lebih dari sekedar
pemanis dengan beberapa porsi penting, tapi lebih dari cukup untuk menarik
perhatian penonton. Di deretan peran antagonis, Swen Raschka sebagai Ivanovich
dan Miroslav Pashov sebagai Ustinov tampil cukup membekas meski punya porsi yang
sebenarnya tak begitu banyak.
Aseem Bajaj menawarkan sinematografi yang serba megah untuk Shivaay. Mulai shot-shot adegan di
Himalaya sampai kejar-kejaran di jalan tol Bulgaria yang sifatnya serba
money-shot. Editing Dharmendra Sharma mungkin sedikit berlebihan dengan
penggunaan cut-to-cut berbagai angle yang terlalu banyak. Secara keseluruhan
feel terlalu bertele-tele dan berbelit-belit bukanlah merupakan kesalahan
editing-nya. Setidaknya dalam menjaga keseimbangan antara romance, drama
father-and-daughter, dan aksi brutalnya (untuk durasi dua jam pertama) ia masih
bisa dianggap berhasil. Musik dari Mithoon cukup memorable dan hummable,
terutama Raatein dan title-song
utama, Bolo Har Har Har.
Sebagai paket hiburan, terutama dalam menggabungkan konsep
father-and-son dengan aksi brutal, Shivaay
sebenarnya masih menarik dan menghibur untuk dinikmati di layar lebar. Jika
Anda merasa sudah kelelahan, tak masalah jika berniat untuk walk out. Yakinlah
endingnya memuaskan untuk genre sejenis. Bayangkan saja keindahan endingnya,
tanpa harus melewati kelokan-kelokan plot yang tak perlu. Namun jika Anda masih
penasaran seperti apa kelokan-kelokan plot yang saya maksud tersebut, then go
for it. Siapa tau ternyata Anda masih bisa menikmatinya.