3.5/5
Adventure
Animation
Based on a Legend
Blockbuster
Box Office
Comedy
Dolby Atmos
Drama
Family
feminism
Hollywood
Magic
Musical
Oscar 2017
Pop-Corn Movie
self-discovery
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Moana
Tema princess selalu punya tempat tersendiri bagi Walt Disney
Animation Studios selama puluhan tahun. Terakhir, suguhan princess dengan isu
yang lebih modern (dibandingkan karakter-karakter Disney Princess populer
sebelumnya), Frozen (2013), sukses
besar, bahkan menjadi salah satu Disney Princess modern-classic. Tak salah jika
mereka selalu menggali materi-materi ‘princess’ dari berbagai budaya.
Pilihannya kali ini jatuh pada budaya Polynesia kuno atau jika dipadankan
dengan era sekarang, budaya Hawaii. Merupakan kisah orisinal, bukan diambil
dari dongeng atau legenda, Moana atau
dalam bahasa Polynesia bermakna ‘lautan’ atau ‘biru’. Naskahnya disusun oleh
Jared Bush yang pernah menggarap naskah Zootopia
dan serial animasi Penn Zero: Part-Time
Hero, sementara bangku sutradara dipercayakan kepada duet Ron Clements dan
John Musker yang pernah sukses dengan Basil,
the Great Mouse Detective, The Little
Mermaid, Aladdin, Hercules, Treasure Planet, dan The Princess and the Frog. Suara
karakter utama, Moana, dipercayakan
kepada aktris muda pendatang baru asli Hawaii, Auli’i Cravalho, didampingi
Dwayne Johnson, Nicole Scherzinger, dan Alan Tudyk.
Sejak kecil, Moana diajarkan sang ayah untuk tak pernah
meninggalkan Pulau Motunui, tempat sukunya bermukim. Padahal ia penasaran
dengan apa yang ada di balik karang. Apalagi dari dongeng Nenek Tala tentang
sosok pahlawan setengah dewa yang bisa bertransformasi menjadi berbagai hewan,
Maui, yang telah lama hilang setelah batu permata (simbolisasi jantung) dari
Dewi Te Fiti dicuri olehnya demi kebahagiaan manusia. Dalam perjalanannya, Maui
diceritakan dikalahkan oleh monster lava bernama Te Ka yang juga mengincar batu
permata Dewi Te Fiti. Maui kemudian dianggap hilang sementara Te Ka perlahan
memusnahkan satu demi satu pulau dan membuat ikan-ikan hilang dari lautan.
Ribuan tahun kemudian, Pulau Motunui yang didiami suku Moana
hidup dalam kelimpahan dari kekayaan alam. Mendadak bencana demi bencana
menimpa. Puncaknya ikan-ikan yang menghilang dari lautan. Moana yang teringat
kisah Nenek Tala tentang Maui tergerak untuk menentang larangan sang ayah dam
memutuskan untuk berlayar ke balik karang demi mengembalikan kondisi Pulau
Motunui menjadi gemah ripah loh jinawi kembali. Tentu bukan kenekadan yang
mudah, karena Moana belum pernah berlayar sebelumnya. Maka ia pun harus belajar
banyak hal baru sambil mempraktekkannya secara langsung.
Kisah Disney Princess kerap dikaitkan dengan tema feminisme
yang kental. Jika princess klasik digambarkan sebagai sosok yang ‘nerimo’, maka
princess-princess modern diajarkan untuk lebih berani mengambil keputusan
sendiri. Puncaknya, Disney berhasil membuat sosok Elsa dan Anna di Frozen sebagai penyuara feminisme modern
yang sangat kuat. Kini, Moana pun kembali menyelipkan tema feminisme sebagai
salah satu elemennya. Konsepnya tak benar-benar baru atau malah memang masih
tipikal Disney Princess lainnya (meskipun tak menghadirkan sosok love interest
seperti kebanyakan kisah Disney Princess lainnya); seorang ‘princess’ yang
‘memberontak’, mengambil keputusan untuk bertindak sendiri di tengah-tengah
kultur yang menentang atau melarang. Bedanya, tema feminisme di Moana terasa hanya sebagai sekedar ada
saja. Pada frame yang lebih besar, Moana
justru mengangkat tema yang cukup banyak untuk disampaikan lewat guliran
ceritanya. Mulai redemption hingga pelestarian lingkungan. Sayangnya, hampir
kesemua isu yang coba diangkat dan dihadirkan di Moana terkesan tumpang-tindih tanpa ada salah satu yang lebih
menonjol hingga menjadi fokus utama yang bold. Termasuk isu feminisme yang
boleh dibilang berada pada porsi yang paling kecil. Mungkin alasan mengapa
feminisme tak lagi dijadikan konsep terbesarnya adalah untuk merangkul range
audience yang lebih luas. Terutama anak laki-laki yang tentu akan cenderung
menghindari materi yang terlalu girly. Sayangnya, tak ada satu pun isu yang
terasa bold hingga membekas dalam benak untuk jangka waktu yang lama. Secara
keseluruhan, saya tak bisa benar-benar menikmati sajian yang utuh selama durasi
selama 1 jam 43 menit, selain nomor-nomor musikal yang cukup catchy (tapi tak
akan se-‘infected’ lagu-lagu di Frozen,
for instance) dan beberapa guyonan ringan yang mungkin bisa dipahami oleh
penonton anak-anak sekaligus tetap menggelitik penonton dewasa. Bagi saya
pribadi, hanya joke tentang ‘tweeting’ dan bereferensi pada karakter-karakter
Disney lain, terutama Sebastian dari The
Little Mermaid yang mampu membuat saya tertawa secara spontan.
Para voice talent yang mendukung Moana termasuk cukup mampu menghidupkan film, meski tak juga ada
yang benar-benar istimewa. Sebagai pendatang baru, Auli’i Cravalho, bisa dikatakan
cukup memberikan nafas kepribadian serta emosi yang hidup pada karakter Moana.
Sementara Dwayne Johnson sebenarnya tampil lebih mencengangkan dengan voice
performance Maui yang sangat berbeda dari tipikal aksen suaranya selama ini,
termasuk singing performance yang ternyata juga bagus. Rachel House sebagai
suara Nenek Tala mungkin terdengar ‘just another grandmas’, tapi setidaknya
memberikan sedikit ‘warna’ unik pada karakternya. Begitu pula Jemaine Clement
sebagai suara monster kepiting, Tamatoa, yang somehow mengingatkan saya akan
performa Christopher Walken sebagai King Louie di The Jungle Book. Sedangkan Temuera Morrison sebagai Chief Tui dan
(terutama) Nicole Scherzinger sebagai Sina tak memberikan keunikan maupun
kekhasan apa-apa pada karakter.
Animasi Moana
mungkin tak menghadirkan teknologi yang benar-benar baru, tapi di banyak
kesempatan berhasil mencengangkan saya. Terutama pada animasi air laut yang
begitu detail dan real, serta desain karakter, set, maupun ornamen-ornamen art
yang cantik nan eksotis. Animasi 2D pada tato Maui pun menjadi elemen animasi
yang cukup menarik. Nomor-nomor musikal yang terasa menjadi salah satu elemen
terpenting dalam film memang ear catchy dan sing-along, seperti Where You Are, How Far I’ll Go, I Am Moana,
dan yang tak kalah menariknya, You’re
Welcome. Mungkin tak sampai se-infected nomor-nomor musikal di Frozen, tapi cukup hummable. Tak
ketinggalan scoring khas Polynesia yang eksotis, breezy, dan relaxing, tanpa
kehilangan nuansa epicness dan sinematis dari Mark Mancina, didukung Opetaia
Foa’i dan Lin-Manuel Miranda. Sound design menghadirkan detail-detail suara
yang begitu terdengar jernih dan crisp, terutama dalam menghadirkan
adegan-adegan dahsyatnya, kendati fasilitas Dolby Atmos tak begitu memberikan
efek yang signifikan.
Moana mungkin bagi
saya tidak termasuk dalam karya animasi yang akan menjadi klasik untuk jangka
waktu yang lama. Faktor utamanya adalah absennya tema besar yang fokus dan
benar-benar bold untuk diangkat. Tentu tema yang diangkat tak perlu yang
terlalu berat. Let’s say, baru saja ada Trolls
dengan tema yang selama ini kita anggap remeh tapi bisa dihadirkan menjadi
sesuatu yang bold dan juga sangat menyenangkan. Begitu pula kebanyakan
animasi-animasi Disney yang sudah menyandang predikat ‘klasik’, termasuk Frozen untuk kategori Disney Princess.
Sayangnya, menurut saya Moana tidak.
Let’s see beberapa tahun ke depan. I’m not sure you will remember most of the
details from the movie like we’ll easily reprise any elements from Frozen. Namun setidaknya Moana masih bisa jadi sajian hiburan
murni lewat petualangan yang cukup seru dengan visualisasi yang memanjakan,
desain karakter yang cute, serta humor-humor yang mungkin masih bisa berhasil menggelitik
Anda. Even better jika Anda bisa merasakan isu dan tema besar yang ingin diusungnya,
yang tak bisa saya rasakan. Tak ada salahnya mencoba.
Lihat data film ini di IMDb.The 89th Academy Awards Nominees for:
- Animated Features - John Musker, Ron Clements and Osnat Shurer
- Music (Original Song) - How Far I'll Go (music and lyric by Lin-Manuel Miranda)