3.5/5
Based on an Urban Legend
Franchise
Hollywood
Horror
Mother-and-Daughter
motherhood
Pop-Corn Movie
possession
religious
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ouija: Origin of Evil
Jika kita di Indonesia mengenal Jelangkung, maka publik
Amerika Serikat mengenal Ouija Board. Ditemukan sejak 1980 oleh Elijah Bond,
Ouija Board yang punya kaitan erat dengan praktik okultisme nyatanya berkembang
menjadi komoditas board game tersendiri hingga trademark dan patennya dimiliki
oleh Hasbro sejak 1991. Kemudian Universal Pictures-Blumhouse-Platinum Dunes
tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar pada tahun 2014 dengan judul Ouija yang disutradarai oleh Stiles
White. Kendati dianggap horror mediocre dengan penanganan yang seadanya, Ouija berhasil mengumpulkan US$ 103 juta
lebih di seluruh dunia. Padahal budget produksinya ‘hanya’ sekitar US$ 5 juta
saja. Tentu tak perlu waktu lama untuk memutuskan pengembangan franchise baru
ini. Michael Flanagan yang mulai dilirik sebagai sineas spesialis horror
setelah Absentia dan Oculus dipercaya untuk menyutradarai
sekaligus co-writer bersama partnernya di Oculus,
Jeff Howard. Film bertajuk Ouija: Origin
of Evil (OOoE) yang merupakan prekuel dari installment sebelumnya ini
menandai film ketiga Flanagan yang dirilis di tahun 2016 ini setelah Hush dan Before I Wake.
Bersetting tahun 1965 di Los Angeles, Alice Zander, seorang
janda mati dengan dua orang putri; Lina dan Doris, berprofesi sebagai peramal
pura-pura. Meski termasuk penipuan, tapi Alice selalu meyakinkan putri-putrinya
bahwa yang mereka kerjakan selama ini untuk menolong orang-orang yang belum
bisa move-on dengan kematian orang terdekatnya. Ketika Alice mulai mencoba
menggunakan papan Ouija sebagai media meramal, keanehan demi keanehan terjadi.
Nampaknya bakat Doris sebagai anak indigo semakin tajam terasah. Tanpa harus
berpura-pura, Doris mampu menggunakan papan Ouija sebagai media komunikasi
dengan arwah. Alice semakin senang karena artinya bisnis akan semakin lancar.
Tanpa mereka sadari telah membangkitkan roh jahat yang sudah lama mendiami
rumah tempat mereka tinggal selama ini. Nyawa mereka dan orang-orang di sekitar
mereka pun menjadi terancam.
Melihat dari installment pertamanya yang punya twist menarik
tentang masa lalu papan Ouija terkutuk tersebut, pengembangan sebuah prekuel
(origin story) memang terasa lebih bijak ketimbang sekuel yang belum jelas
arahnya. Malah beresiko jatuh menjadi pengulangan semata. Tidak, OOoE tidak
membahas sejarah penciptaan papan Oujia. Ia lebih tertarik mengambil kisah
keluarga Zander yang memang sempat disebutkan di installment pertama. Meski
sebenarnya premise yang diusung tergolong generik di genre horror, tapi
setidaknya kisah personal masih bisa lebih mudah mengikat emosi dengan
penonton. Apalagi tema keluarga dalam genre horror sudah terbukti berhasil
lewat franchise Insidious maupun The Conjuring. Daya tariknya berada pada
kepiawaian Flanagan membuat penonton senantiasa penasaran akan apa yang terjadi
berikutnya, ketimbang membuat jumpscare-jumpscare generik. Dengan demikian,
atmosfer ngeri dan ganjil praktis menjadi komoditas utama horror OOoE. Meski
tak sampai pada level maksimal, Flanagan masih mampu menjalankan plotnya dengan
tingkat rasa penasaran yang cukup. Sayang, ketika tiap kali hampir mencapai
klimaks, Flanagan menahan-nahan adegan dengan cut-to-cut sehingga klimaks
horror yang sudah berhasil dibangun pun terkesan ‘berakhir’ begitu saja.
Kesan keganjilan yang paling berhasil membangun atmosfer
horornya adalah performance para aktornya. Terutama sekali Lulu Wilson sebagai
Doris yang berhasil menunjukkan kemisteriusan bak sosok Damien Omen di
franchise The Omen. Menarik
menantikan aktingnya di franchise horror lain, Annabelle 2 yang rilis tahun 2017. Elizabeth Reaser sebagai Alice,
sang ibu, mungkin tak diberi porsi yang cukup besar seperti Carolyn Perron atau
Peggy Hodgson di franchise The Conjuring,
misalnya. Kendati demikian tekanan sebagai single mother dan ekonomi terlihat
jelas serta meyakinkan pada karakternya. Chemistry yang dibangunnya bersama
Lulu Wilson dan Lina Zander pun termasuk lebih dari cukup. Henry Thomas sebagai
Father Tom Hogan dan Parker Mack sebagai Mikey juga tak diberi porsi yang cukup
untuk benar-benar menarik. Karakter mereka terkesan sekedar ada kendati
penampilan mereka tak buruk juga.
Sebenarnya tak ada yang benar-benar menarik dari teknis OOoE.
Mulai sinematografi Michael Fimognari, editing Flanagan sendiri, dan desain
produksi Patricio M. Farrell, kesemuanya sekedar tergolong cukup untuk
membangun plot, nuansa kengerian, dan setting 1960-an-nya. Jadi sedikit lebih
menarik karena faktor vintage buatan yang coba diaplikasikan oleh Flanagan.
Seperti black dot pada ujung kanan atas layar sebagai penanda pergantian reel
pada medium film gulungan, lengkap dengan efek jittering bak pergantian reel,
aspect ratio yang 1.85:1, efek fokus lensa, sampai video bumper Universal
lawas. Semuanya seolah OOoE benar-benar produksi tahun 1960-an. Score music
gubahan The Newton Brothers, lengkap dengan pemilihan lagu-lagu populer era
60-an, juga menarik dalam membangun nuansa eerie, kendati tak terlalu istimewa
ataupun unik juga.
Dibandingkan installment sebelumnya yang terkesan sangat
biasa, jauh dari berkesan, atau malah hancur-lebur, OOoE memang terkesan jauh
lebih baik. Terutama berkat dukungan plotline yang masih peduli untuk
bercerita, tidak sekedar jumpscare murahan. Meski tak pernah benar-benar
menjadi horror yang mencekam ataupun drama emosional yang terasa maksimal, OOoE
masih layak dijadikan pilihan hiburan intant, terutama bagi para penggemar
horror. Oya, jangan buru-buru keluar
dari teater karena ada after-credit yang menjembatani dengan installment
sebelumnya. Bagi yang sudah lupa dengan detail installment pertama, seperti
yang terjadi pada diri saya sendiri, after credit ini cukup efektif untuk
kembali revisit installment pertamanya. Setidaknya, untuk buka-buka lagi detail
plot-nya di IMDb atau Wikipedia.
Lihat data film ini di IMDb.