2.5/5
Drama
Horror
Indonesia
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Rumah Malaikat
Meski tergolong salah satu genre yang paling
diminati, ternyata tak banyak sineas spesialis horror yang (setidaknya) punya
visi unik dan menarik selain sekedar menjual jumpscare dengan konsep generik.
Salah satunya adalah Billy Christian yang mulai dikenal setelah menangani Kotak Musik, salah satu segmen di Hi5teria
(2012). Setelah menjajal berbagai genre lainnya, mulai komedi di The Legend of Trio Macan (2013), drama
remaja di 7 Misi Rahasia Sophie
(2014), hingga puncaknya, dipercaya untuk men-develop sekaligus menangani Tuyul Part 1 (2015), karir Billy semakin
diperhitungkan, terutama di genre horror. Sempat kontroversi lewat Kampung Zombie (2015), Billy move on
lewat Rumah Malaikat (RM). Didukung
aktris muda, Mentari De Marelle, Roweina Umboh, Dayu Wijanto, Agung Saga, serta
beberapa aktor-aktris cilik pendatang baru, RM menawarkan kisah misteri dengan
rahasia untuk diungkap di klimaks. Tak banyak yang berani ‘bermain-main’ dengan
jenis ini di ranah perfilman Indonesia. Apalagi dengan konsep visual yang ditata
serius. Tak heran jika RM lantas mengundang rasa penasaran, terutama dari
penggemar horror/thriller.
Alexandra adalah mahasiswi yang sedang
menjalankan metode wawancara kepada anak-anak berusia sekitar 9-13 tahun yang
tinggal di Panti Asuhan Rumah Malaikat sebagai materi skripsinya. Rasa
penasarannya terhadap anak-anak panti ini membuat ia menawarkan diri untuk
menggantikan guru yang mendadak mengundurkan diri. Ibu kepala panti, Ibu Maria,
menyambut baik niatan Alex. Sejak tinggal di panti, Alex mulai dihantui oleh
sosok-sosok misterius. Awalnya Alex menduga ini ulah anak-anak yang
menjahilinya, tapi kecurigannya semakin mengarah pada rahasia masa lalu panti
tersebut sejak ia mengetahui doktrin-doktrin Ibu Maria kepada para anak-anak
penghuni panti tentang Rumah Malaikat dan Rumah Abadi. Hingga akhirnya terkuak
rahasia besar di balik keberadaan Rumah Malaikat dan juga masa lalu Alex
sendiri.
Secara keseluruhan, jelas bahwa RM adalah
tipe horror misteri dimana daya tarik utamanya terletak pada rahasia besar di
balik kejanggalan-kejanggalan yang terjadi sepanjang film. Benar, sejak menit
pertama ia sudah menyebarkan kejadian-kejadian ganjil dan jumpscare-jumpscare
di sana-sini. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan. Penonton pun diajak untuk
mulai menganalisis kejadian demi kejadian dan menerka-nerka rahasia besar
seperti apa yang sudah disiapkan untuk dibongkar di klimaks. Sayangnya, RM
lebih fokus untuk menghadirkan upaya ketegangan-ketegangan dan jumpscare di
hampir sepanjang babak pertama hingga akhir (itupun digarap dengan timing dan
kerapian yang kurang sehingga lebih banyak yang miss), ketimbang menebarkan
perkembangan cerita (dalam konteks ini, menyikap satu demi satu rahasia hingga
terbongkar semua) yang alhasil, justru membuat penonton lelah mengikuti serta
kehabisan kesabaran untuk menantikan revealing-nya.
Tak hanya perkembangan cerita sebagai sajian
misteri saja yang gagal membuat RM jadi lebih menarik. Detail-detail
perkembangan karakter dan chemistry yang seharusnya bisa memperkuat logika sekaligus
membuat keseluruhan konsepnya terasa lebih solid, pun tak dihadirkan. Maka
muncullah pertanyaan-pertanyaan mengenai logika jalan cerita di sana-sini.
Misalnya yang paling terasa adalah jalinan emosi antara Alex dan anak-anak yang
seringkali tidak konsisten. Di satu saat anak-anak begitu membenci keberadaan
Alex, tapi tanpa adegan transformasi yang jelas, di adegan berikutnya Alex
sudah tampak bermain dengan gembira bersama anak-anak. Ketika rahasia besarnya
terungkap pun, wrap up RM digarap dengan kesan menggelikan ketimbang memuaskan.
Dipercaya mengisi peran utama, Mentari De
Marelle sebagai Alexandra tampil generik dan mediocre. Sekedar single-layered
saja. Tak hanya faktor penulisan karakter yang memang terkesan tanggung,
kharisma Mentari memang belum cukup untuk mendapatkan porsi utama. Sebaliknya,
Roweina Umboh sebagai Ibu Maria justru berhasil menjadi remarkable berkat
karakter misterius yang berhasil dihidupkannya dengan menarik. Dayu Wijanto
sebagai Bi Arum terasa terlalu dibuat-buat, sehingga alih-alih misterius dan
mengerikan, malah menggelikan. Agung Saga sebagai Ario yang punya
keterbelakangan mental, mungkin dimaksudkan untuk menambah kesan misterius.
Sayangnya, performa Agung yang masih jauh dari meyakinkan (malah lebih terkesan
dibuat-buat) justru membuat adegan-adegan yang menghadirkan penampilannya
menjadi terasa ‘mentah’, atau malah menggelikan. Penampilan yang paling mencuri
perhatian sepanjang film malahan dipegang oleh para cast-cast cilik pendatang
baru. Tak hanya sengaja memanfaatkan keunikan-keunikan fisik sebagai
identifikasi yang memang sesuai konsep cerita, tapi ternyata juga punya
kualitas akting yang tergolong baik untuk golongan usia maupun track record
pengalaman berakting masing-masing.
Seperti halnya film-film karya Billy,
keunggulan utama yang membuat RM (setidaknya) masih menarik perhatian (baca:
catchy) adalah look dan berbagai desain produksi yang terasa sekali sudah
dikonsep matang-matang sejak awal. Mulai tata kostum, props, hingga tata
artistik set. Tak seratus persen orisinil, memang, tapi tetap patut diapresiasi
karena tak banyak film Indonesia yang punya concern lebih di aspek desain
produksi seperti ini. Sinematografi Joel F. Zola mungkin termasuk cukup
sinematis. Namun untuk film horror/thriller pergerakan kameranya masih terasa
kurang ber-‘energi’, terutama dalam menghadirkan jump-scare yang tentu butuh
timing serta komposisi tepat. Editing Andy Pulung tak banyak berhasil membantu
memperbaiki sajian thriller maupun horornya. Hanya sekedar mampu menggerakkan
plot sesuai kebutuhan dan setidaknya masih nyaman diikuti kendati pergerakan
ceritanya tak banyak, terutama di awal hingga pertengahan film. Tata musik dari
Rizal Peterson menghadirkan cukup banyak ornamen-ornamen yang menarik, terutama
di genre horror/thriller. Sayangnya di banyak kesempatan terdengar terlalu
berlebihan, bahkan tak jarang terlalu generik.
Dari konsep cerita dan revealing yang
sebenarnya menarik, sangat disayangkan
RM punya terlalu banyak minus di sana-sini yang cukup mengganggu kenyamanan
menikmatinya. Terutama faktor pergerakan cerita yang tak banyak dengan
bumbu-bumbu jumpscare yang seringkali missed serta tak efektif, masih ditambah
wrap up yang terkesan unfinished dan menggelikan hingga membuat saya melongo
sambil mengumpat dalam hati, ‘waddahell’. Nevertheless, jika Anda tertarik
untuk menonton setelah membaca sinopsis atau menonton trailer-nya, I’d say just
give it a try without any expectation.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.