2/5
Box Office
Gore
Horror
Indonesia
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Doll
Seperti namanya, Hitmaker Studios yang merupakan anak
perusahaan dari Soraya Intercine Films sejak didirikan tahun 2012 sudah
memproduksi film-film hit yang rata-rata bergenre horor dari tangan sutradara
Jose Purnomo, seperti Rumah Kentang
(2012), 308 (2013), Rumah Gurita (2014), Mall Klender (2014), dan Tarot (2015). Akhir tahun lalu untuk
pertama kalinya Hitmaker Studios mencoba menelurkan film di luar horor lewat Sunshine Becomes You. Tahun 2016 ini
Hitmaker Studios kembali memproduksi genre ‘akar’ mereka, yaitu horor. Masih
mengusung nama Shandy Aulia yang seolah sudah menjadi Soraya’s sweetheart dan
Denny Sumargo yang sudah dua kali bekerja sama dengan Hitmaker Studios, yaitu
lewat 308 dan Mall Klender. Kali ini Rocky Soraya yang selama ini lebih sering
bertindak sebagai produser turun tangan langsung sebagai sutradara setelah Chika (2008) dan Sunshine Becomes You. Riheam Junianti yang juga sudah bekerja sama
dengan Soraya-Hitmaker sejak Apa Artinya
Cinta (2005) hingga Tarot,
kembali menuliskan naskah untuk film yang menambah panjang daftar horor dengan
sosok boneka lewat tajuk The Doll ini.
Anya dan Daniel adalah pasangan suami istri yang memulai hidup
mereka yang baru di Bandung. Daniel dipercaya menjadi tangan kanan kontraktor
besar yang menangani proyek pembangunan ruko baru di Jalan Siliwangi.
Kejanggalan demi kejanggalan dalam hidup baru mereka dimulai ketika Daniel
menyuruh karyawannya untuk menebang pohon yang menurut warga sekitar angker.
Konon di pohon itu berdiam roh seorang anak kecil yang sekeluarganya dibunuh
oleh perampok beberapa tahun lalu. Roh anak itu berdiam di dalam sebuah boneka
yang duduk manis di salah satu dahannya. Boneka misterius itu mengikuti Daniel
hingga ke rumah. Anya yang bekerja sebagai pembuat boneka awalnya tertarik
untuk menjadikan boneka itu inspirasi. Hingga teror pun mengganggu ketentraman
hidup mereka berdua. Seorang tetangga menganjurkan untuk menghubungi Bu Laras
yang dikenal mampu mengusir kekuatan-kekuatan roh jahat. Nyatanya kasus kali ini ternyata tak semudah dibayangkan, karena pengaruh kuasa kejahatan sudah terlanjur kuat
mencengkram roh si anak kecil.
Adegan pembuka The Doll
jelas mengingatkan akan opening The
Conjuring. Tak hanya memperkenalkan sosok boneka angker, tapi juga karakter
Bu Laras dan suaminya yang dengan mudah diidentifikasi sebagai impersonasi The
Warrens. Adalah hal yang menarik sebenarnya pemilihan pasangan suami-istri
betulan di dunia nyata, ilusionis Demian dan istrinya, Sara Wijayanto, untuk
mengisi peran tersebut. Sayangnya penggunaan keduanya ternyata hanya untuk daya
tarik di awal karena tanpa ada kontinuiti yang jelas, tiba-tiba kedua karakter
ini ‘dihilangkan’ begitu saja. Kelak baru kita dijelaskan secara verbal apa
yang terjadi hingga menyisakan Bu Laras saja untuk melanjutkan kisah.
Setelah adegan pembuka tersebut barulah penonton diajak masuk
mengikuti pasangan karakter Daniel-Anya. Sayangnya plot utama ini ternyata tak
terlalu beda jauh kualitasnya dengan film-film horor produksi Hitmaker Studios
sebelumnya. Tak ada yang benar-benar istimewa, baru, ataupun menarik. Itupun
masih ditambah kejanggalan dan kekonyolan di mana-mana. Alhasil sejak awal
pasangan Daniel-Anya sudah terkesan bodoh dan konyol. Let’s start dengan
karakter Anya yang digambarkan paling parah. Ia adalah mantan karyawan
minimarket yang memutuskan menikah dengan Daniel yang kondisi ekonomi dan
sosialnya juga tak berbeda jauh. Bagaimana mungkin ia dipercaya menangani
proyek pembangunan dengan latar belakang seperti itu? Lalu bagaimana mungkin
Anya mengaku sebagai seniman pembuat boneka sementara boneka-boneka yang ia
pajang sebagai karyanya jelas-jelas buatan pabrik? Jika sampai situ saja Anda sudah ilfill
seperti yang saya rasakan, maka urungkan niat Anda untuk menontonnya. Namun
jika Anda masih bisa mentolerirnya, silakan melanjutkan nonton.
Teror demi teror yang disajikan The Doll pun masih setara dengan film-film horor Hitmaker Studios
sebelumnya. Jangankan mengharapkan perkembangan cerita berupa terkuaknya
fakta-fakta di balik misteri yang seru dan bikin penasaran, semuanya ternyata
teramat sangat generik, terutama jika Anda termasuk punya referensi film horor
yang cukup banyak. Malah mungkin cerita terkesan mandeg, hanya sekedar
teror-teror pengulur durasi. Hingga ketika revealing ‘twist’-nya terkuak, saya
hanya berujar dalam benak, “Oh begitu to”. Bukan sebuah twist dengan plothole,
tapi sudah tak berhasil membuat saya tertarik karena saking came out of
nowhere-nya, tanpa setup-setup yang bikin penasaran. Anyway, ada sih satu-dua
momen horor yang masih tergarap dengan baik sehingga menghasilkan nuansa ngeri
yang cukup. Misalnya ketika muncul sosok seorang anak dengan jas hujan hitam
dan wajah tak terlihat yang sempat berinteraksi dengan Anya. Other than that, momen-momen horor maupun
thriller The Doll masih tergolong
level rendah. Thrill dan jumpscare Tarot
maupun Rumah Kentang malah masih
tergarap lebih seru dan lebih bikin deg-degan.
Elemen ‘baru’ yang mungkin ditambahkan di The Doll dan tak ada di film-film horor Hitmaker Studios sebelumnya
adalah gore. Ya, The Doll cukup
banyak mengumbar darah terutama di babak ketiga hingga konklusi. Sayangnya,
kehadirannya hanya sekedar pelengkap saja. Tak terlalu inovatif dan masih
tergolong ‘aman’ untuk sekedar lolos sensor. Masih belum berhasil membuat saya
memalingkan pandangan dari layar.
Menjadi ‘langganan’ Hitmaker Studios (dan Soraya Intercine
Films) ternyata tak membuat penampilan Shandy Aulia dan Denny Sumargo semakin
berkembang. Shandy masih stuck pada peran-peran tipikal di semua horor Hitmaker
Studios dengan kualitas performa yang kurang lebih sama. Sedikit kredit lebih
mungkin untuk satu performanya ketika kesurupan yang memang terlihat
mengerikan. Sementara Denny Sumargo secara keseluruhan terlihat kaku, canggung,
dan ketika mencoba berakting ‘(sok) asik’ justru sangat terlihat dibuat-buat. Sementara chemistry antara Shandy-Denny juga
tak terasa lebih baik. Meski mencoba untuk terlihat semesra mungkin, tetap saja
terasa ada ‘jarak’ antara mereka berdua. Cium pipi saja tak terlihat nempel dan
ketika tidur berpelukan terkesan kaku sekali. Vitta Mariana sebagai Niken
sebenarnya terasa lebih menarik dan enak diikuti. Sayang porsi karakternya
memang masih tergolong terbatas. Begitu juga dengan Sara Wijayanto sebagai Bu
Laras yang meski menarik tapi karakternya kurang dikembangkan. Padahal meski karakternya
belum sekuat dan semenarik Lorraine Warren, Bu Laras masih bisa dikembangkan
menjadi sebuah franchise, mengikuti trend horor saat ini.
Sinematografi Asep Kalila menghasilkan shot-shot yang cukup
sinematis kendati masih belum benar-benar berhasil menciptakan nuansa horor
yang efektif dan menarik. Editing Kelvin Nugroho dan Sastha Sunu masih mampu
membuat laju cerita yang memang tak banyak berkembang menjadi masih watchable
untuk diikuti. Untuk urusan sound design, entah faktor teater tempat saya menonton
yang memang kurang baik (biasanya sih sound di teater ini terdengar
mantap-mantap saja) atau dari masteringnya yang memang terdengar kurang
powerful. Sound design inilah yang cukup mempengaruhi nuansa horor The Doll menjadi tak seseru Tarot atau Rumah Kentang. Scoring music dari Profound Music masih tergolong
generik untuk genre horor. Kredit tersendiri untuk tata rias (terutama dalam
merias si sosok hantu cilik) dan efek visual yang di beberapa kesempatan
terlihat cukup rapi. Well, setidaknya di layar teater tempat saya menonton,
karena ada seorang teman yang nonton di teater lain menilai efek visualnya
masih terlihat sangat kasar dan ada sling yang terlihat di layar.
So, jika Anda termasuk penonton yang bisa menikmati atau malah
menjadi penggemar horor-horor Hitmaker Studios, The Doll agaknya mash bisa menjadi sajian yang menghibur. Namun
bagi saya, ia masih semenggelikan dan sekacau film-film horor mereka
sebelumnya. Memang benar secara teknis The
Doll masih digarap tak asal seperti image horor Indonesia kebanyakan selama
ini. Namun menurut saya itu saja belum cukup karena terbukti masih ada horor
Indonesia yang digarap baik, dari segi naskah maupun teknis, dengan nuansa
horor yang berhasil dibangun. Sayangnya, Hitmaker Studios belum sampai pada
tahap itu. Nevertheless, mengingat
mayoritas penonton Indonesia adalah penggemar horor, tak akan sulit untuk The Doll mencetak box office lagi (ketika
tulisan ini dibuat, ia sudah berhasil mengumpulkan 200.000 penonton dalam kurun
waktu 5 hari).
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.