3/5
Comedy
Drama
Hollywood
Indie
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Café Society
Woody Allen bisa jadi salah satu sineas Hollywood paling
produktif. Bagaimana tidak, terhitung sejak debutnya di tahun 1966, hampir tiap
tahun (bahkan benar-benar tiap tahun sejak 1982) ada film yang ia sutradarai
sekaligus ia tulis dan bahkan sesekali turut membintangi. Meski tak semuanya
selalu diakui sebagai karya yang bagus, tapi sudah tak terhitung pula yang
termasuk Hollywood’s classics. Seperti Annie
Hall (1977), Manhattan (1979), Vicky Cristina Barcelona (2008), hingga Midnight in Paris (2011). Para bintang Hollywood kelas A pun sulit
menolak ajakan untuk meramaikan film-filmnya. Tak terkecuali untuk karya
terbarunya, Café Society (CS) yang
dihiasi Jesse Eisenberg (sebelumnya pernah bekerja sama dengan Allen di To Rome with Love), Kristen Stewart, Steve
Carell, dan Blake Lively. CS mengambil setting era 1930-an antara gemerlapnya
Hollywood dan kerasnya Bronx, New York.
Bosan dengan kehidupan dan pekerjaannya membantu sang ayah di
Bronx, New York, Bobby Dorfman memutuskan untuk merantau ke Hollywood. Ia
berharapa sang paman yang bekerja sebagai agen artis, Phil, mau memberinya
pekerjaan sebagai apa saja. Ternyata butuh berminggu-minggu bagi dirinya bisa
sekedar bertemu langsung. Phil menyuruh sekretarisnya, Vonnie untuk mengajak
Bobby berkeliling Hollywood, sekedar mengenal environtment yang baru. Seperti
bisa diduga, Bobby mulai jatuh hati pada Vonnie sementara Vonnie yang
sebenarnya juga manaruh hati pada Bobby enggan membalas karena ia sedang
menjalin hubungan dengan seorang pria beristri. Gayung bersambut ketika si pria
beristri memutuskan untuk mempertahankan rumah tangganya dan memutuskan
hubungan dengan Vonnie. Sakit hati, Vonnie berpaling ke Bobby. Hubungan mereka
kembali diterpa badai ketika Vonnie memutuskan untuk menikahi pria tersebut.
Patah hati, Bobby memutuskan kembali ke Bronx dan bekerja di
klub malam yang dikunjungi petinggi serta pesohor New York tiap malam, milik
sang kakak, Ben Dorfman yang merupakan mafia disegani. Karir dan reputasinya
terus meningkat hingga membuatnya jatuh hati kepada Veronica. Hubungan Bobby
dan Veronica tampak diliputi kebahagiaan tiada akhir. Namun siapa sangka Bobby
dan Vonnie ternyata sama-sama belum bisa saling melupakan.
Jika Anda pernah menyaksikan atau malah nge-fan dengan
karya-karya Woody Allen, maka pasti Anda tahu bagaimana karya-karyanya yang
mengalir lancar begitu asyik untuk dinikmati. Seringkali plotnya sangat ringan
dan sehari-hari, tapi tak jarang pula sebenarnya menyimpan konsep serta value
yang berbobot dan krusial. Tak ketinggalan dialog-dialog witty, cerdas
sekaligus menggelitik, terkadang sarkas, tapi selalu relevan. CS pun termasuk
karya Allen yang demikian. Kisahnya yang basically kebimbangan cinta
segi-sekian bisa jadi cheesy. Namun setidaknya Allen masih men-deliver-nya
sebagai kebimbangan yang logis dan jauh dari kesan cheesy.
Above all, ia ingin menyuarakan bahwa perasaan cinta yang
sesungguhnya sebenarnya susah padam meski mungkin masing-masing sudah memilih
jalan sendiri dan bahagia. Dilema perasaan dan kenyataan menjadi highlight terkuat
CS. Sebagai pasangan karakter utama, tentu penonton diarahkan (dan memang
berhasil) untuk bersimpati pada Bobby dan Vonnie. Namun di sisi lain, penonton
juga diarahkan untuk tidak memusuhi, bahkan dibuat kasihan pada sosok Phil
maupun Veronica. Tak ada yang antagonis di sini, baik secara naratif maupun
morally. Sayangnya, CS memang seringan dan se-simple itu. Dialog-dialog cerdas
dan menggelitik khas Allen pun mungkin hanya satu-dua line yang benar-benar
berhasil. Sisanya tergolong mediocre.
Bak novel yang punya sub-plot-sub-plot untuk memperkaya cerita
(Allen pernah mengatakan bahwa ia ingin mengimplementasikan konsep narasi a la
novel di sini), CS pun juga punya ‘selipan-selipan’ yang terkesan tak terlalu
penting, alih-alih mengganggu fokus cerita, terutama elemen latar belakang
serta sepak terjang Ben sebagai mafia Bronx. Nyatanya, selain untuk sekedar
‘memuluskan’ karir Bobby di kancah pesohor New York, detail-detail adegan Ben
tak punya pengaruh apa-apa terhadap karakter Bobby, apalagi hubungan antara
Bobby dan Vonnie yang merupakan plot utama. Untungnya elemen-elemen selipan ini
tak sampai mengganggu pace secara keseluruhan. Bikin saya berceletuk, “ini
ngapain sih ada ginian?”, tapi tak sampai membuat saya resah kenapa filmnya tak
kunjung selesai. Durasinya yang ‘hanya’ 96 menit masih membuat CS tergolong
enjoyable untuk diikuti, seiring dengan iringan musik jazz sepanjang film khas
Allen. Setidaknya dengan melibatkan rasa penasaran penonton di banyak
kesempatan sampai membuat penonton berempati terhadap karakter-karakternya.
Entah disengaja atau tidak, Jesse Eisenberg sebagai Bobby
Dorfman terasa seperti berusaha meng-impersonate sosok Woody Allen, terutama di
Annie Hall dan Manhattan di mana Allen menjadi karakter utamanya. Tiap gesture dan
cara bicaranya sangat identik. Untungnya ia memang cocok dalam meng-impersonate
Allen. Tak ada kesan dibuat-buat atau canggung. Kristen Stewart sebagai Vonnie
menjadi sosok yang loveable dan mempesona setelah selama ini lebih sering
menyandang gelar Miss Tanpa Ekspresi. Sorot matanya seringkali menyiratkan
perasaan terdalam tanpa perlu berdialog. Chemistry yang ia bangun bersama
Eisenberg maupun Carell pun sangat natural dan convincing. Tak salah jika
penonton sampai turut dibuat bingung untuk menentukan simpati.
Steve Carell sebagai Phil tampil tak berbeda jauh dari
karakter-karakter yang ia perankan sebelumnya, terutama di Crazy, Stupid, Love. Masih menarik tapi tidak istimewa. Begitu juga
Blake Lively sebagai Veronica yang masih memainkan peran tipikalnya dengan masih
anggun dan mempesona.
Di teknis, CS terasa unggul di desain produksi yang mampu
membawa semua elemen klasik Hollywood dan New York era 30-an. Mulai eksterior
dan interior rumah hingga kostum. Sinematografi Vittoro Storaro pun mampu
mem-framing serta mengeksplor semua keindahan desain produksi secara maksimal,
terutama dari segi camera movement yang smooth, eksploratif, dan sinematis.
Penggunaan kamera digital (film pertama Allen dengan kamera digital!) menangkap
dan menyuguhkan detail-detail gambar yang mengagumkan. Editing Alisa Lepselter
yang sudah menjadi langganan Allen sejak Sweet
and Lowdown masih mengantarkan feel yang konsisten dengan film-film Allen
sebelumnya. Begitu pula dengan music supervisor Stewart Lerman yang lagi-lagi
memilih musik-musik jazz yang menyatu dengan film.
Dibandingkan film-film Allen sebelumnya, unfortunately CS
bukan termasuk karya-karya terbaiknya. Jauh jika mau dibandingkan dengan Annie Hall, Manhattan, atau Midnight in
Paris (bahkan saya masih lebih menyukai Magic
in the Moonlight). Mungkin faktor plot yang terlalu ringan, tanpa value
tertentu yang powerful, dengan dialog-dialog yang tak setajam film-film lini
atasnya. Mediocre, tapi masih sangat enjoyable untuk diikuti, mengalir bak mengikuti alunan musik jazz. Bagi penggemar
Woody Allen, tentu pantang untuk melewatkan.
Lihat data film ini di IMDb.