4/5
Action
Based on a True Event
Biography
Christianity
Drama
History
Hollywood
Humanity
Oscar 2017
patriotism
Personality
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Hacksaw Ridge
Selain menjadi salah satu aktor papan atas Hollywood, Mel
Gibson juga beberapa kali duduk di bangku sutradara. Tak tanggung-tanggung,
prestasinya sebagai sutradara sempat diganjar Oscar untuk Braveheart (2005). Juga ada film Biblical The Passion of the Christ (2004) yang menuai kontroversi. Setelah Apocalypto (2006), baru proyek biopic
tentang prajurit Perang Dunia II yang enggan memanggul senjata, Desmond Doss,
yang berhasil menarik perhatiannya. Padahal sebelumnya ia sempat dua kali
menolak proyek yang sudah direncanakan sejak empat belah tahun yang lalu dan
telah melalui beberapa kali pemindahan tangan. Bahkan produser Casablanca, Hal B. Wallis, di era 50-an
sempat tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar dengan bintang Audie Murphy.
Sayang Desmond Doss sendiri tak menyetujuinya karena takut kisahnya akan
menjadi tipikal Hollywood. Baru setelah kematian Doss tahun 2006, produser Bill
Mechanic mengantongi hak untuk mengangkatnya ke layar lebar. Robert Schenkkan (The Quiet American) dan Randall Wallace
(The Water Diviner) ditunjuk untuk menyusun naskahnya, dan
aktor The Amazing Spider-Man, Andrew
Garfield, didapuk untuk memerankan sosok Doss, didukung Teresa Palmer, Vince
Vaughn, Sam Worthington, Hugo Weaving, Richard Roxburgh, dan Rachel Griffiths.
Masa kecil di Lynchburg, Virginia, yang dibesarkan di keluarga
riligius dan pernah hampir membunuh sang kakak, Hal, membuat Desmond Doss
trauma akan kekerasan. Saat itu ia terus diingatkan akan salah satu dari 10
Perintah Allah tentang membunuh sesama. Ketika tumbuh dewasa dan hampir semua
pemuda di kotanya mendaftar untuk menjadi prajurit perang di Perang Dunia II,
Desmond pun ikut bergabung. Padahal baru saja ia jatuh cinta dan menjalin
hubungan dengan seorang perawat, Dorothy Schutte. Selama pelatihan, Desmond
menjadi bulan-bulanan prajurit lain dan para petinggi, terutama keputusannya
untuk tidak mau sekedar memegang senjata. Setelah proses pengadilan militer
yang cukup panjang dan ia diperbolehkan berangkat perang tanpa harus memegang
maupun berlatih menggunakan senjata, medan perang sesungguhnya di Okkinawa,
terutama di bukit bernama Hacksaw Ridge, lah ujian keseimbangan akan iman dan
pengabdiannya sebagai prajurit diuji.
Dengan menangkat tema keimanan yang dibenturkan dengan perang,
Hacksaw Ridge (HR) sebenarnya
dikembangkan dengan treatment yang tak jauh dari film-film perang lainnya,
terutama yang mengutamakan sisi humanisnya. Konflik personal (termasuk
romansa), perang, brotherhood, kemanusiaan. That’s it. Bahkan setup-nya pun
digarap dengan sangat ‘biasa’, bahkan cenderung agak bertele-tele, terutama
mengenai imannya untuk tidak memegang senjata. Begitu juga roman antara
Desmond-Dorothy yang kisah awal jatuh cintanya kelewat cheesy dan ‘perpisahan
sementara’ yang tak terlalu menggugah emosi.
Namun kesemuanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika
memasuki paruh kedua, ketika perang telah dimulai. Rentetan adegan-adegan
perang yang luar biasa brutal dan digarap dengan tensi tak pernah kendur
terus-terusan memompa adrenaline penonton. Akhirnya tema keimanan yang begitu
kuat digaungkan sejak awal film mendapatkan porsi yang seimbang dan relevansi
yang kuat ke dalam adegan-adegan perangnya. Barulah emosi penonton dikuras
habis-habisan oleh sepak terjang Desmond Doss yang luar biasa patriotis. Tak
heran jika ada yang sampai tak terasa berkaca-kaca dengan air mata kekaguman
dan kebanggaan di penghujung film. Apalagi footage interview dengan sosok
Desmond Doss yang asli dan beberapa tokoh penting lainnya yang menambah
keotentikan kisahnya.
Andrew Garfield sebagai karakter sentral, Desmond Doss, tampil
dengan kharisma penuh. Sosok prajurit pemberani tapi dengan hati yang luar
biasa besar dan tulus terpancar dengan sangat kuat dari aktingnya. Teresa
Palmer sebagai Dorothy mungkin porsi perannya tak begitu banyak, tapi mampu
menjadi daya tarik tersendiri di tengah karakter-karakter pria. Vince Vaughn
sebagai Sergeant Howell, Sam Worthington sebagai Captain Glover, dan
karakter-karakter prajurit lainnya diberi porsi yang cukup untuk diingat
penonton, apalagi berkat keunikan karakter tersendiri. Hugo Weaving sebagai Tom
Doss, ayah Desmond, tampil kuat pula dengan porsi yang tergolong terbatas,
bersama Rachel Griffiths sebagai Bertha Doss.
Sinematografi Simon Duggan memvisualisasikan adegan-adegan
perang dengan sangat baik sehingga mampu memberikan tensi yang tinggi dan
konsisten, tanpa ada detail adegan yang membingungkan. Editing John Gilbert
tentu punya andil yang tak kalah penting dalam membangun momen-momen luar biasa
dengan timing yang serba pas dan porsi yang seimbang. Sementara scoring music
dari Rupert Gregson-Williams memperkuat sisi-sisi humanis, patriotisme, dan
tentu ke-epic-an. Sound design pun menyumbangkan efek-efek suara yang bombastis
di genre-nya, termasuk tata surround yang termanfaatkan dengan maksimal.
Membuat penonton seolah diajak langsung ke tengah-tengah medan perang
sesungguhnya.
HR sekilas mungkin tak ubahnya film-film perang dengan fokus
pada sisi humanis dengan treatment-nya. Aspek keimanan yang menjadi daya tarik
lebih pun awalnya dimasukkan dengan treatment yang biasa-biasa saja dan lebih
ke verbal yang sangat obvious. Namun kesemuanya dibayar tuntas ketika sudah
masuk ke momen-momen perang dimana tak hanya sangat mendebarkan dan brutal,
tapi juga berhasil membuat aspek keimanan tersebut menyatu dalam visual yang
emosional tanpa dramatisasi berlebihan. HR jelas a-must-see bagi siapa saja,
apalagi buat yang memang menggemari tema perang, kemanusiaan, atau
Christianity.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Actor in a Leading Role - Andrew Garfield
- Sound Editing - Robert Mackenzie and Andy Wright
- Sound Mixing - Kevin O'Connell, Robert McKenzie, Andy Wright, and Peter Grace
- Directing - Mel Gibson
- Film Editing - John Gilbert
- Best Picture