The Jose Flash Review
Barakati

Indonesia memang kaya akan kisah sejarah, legenda, mitologi, maupun cerita rakyat yang menarik untuk dijadikan materi film aksi petualangan. Sayangnya, tak mudah untuk memproduksinya. Mungkin Sumber Daya Manusia kita sebenarnya sudah mampu, tapi budget yang tentu jauh lebih besar ketimbang genre drama atau komedi, misalnya, masih menjadi kendala terbesar. Terakhir yang paling notable dalam ingatan saya mungkin hanya Ekspedisi Madewa (2006) dan Dead Mine (2013) yang sebenarnya merupakan produksi bersama dengan HBO Asia, bukan sepenuhnya produksi Indonesia. Setelah itu masih ada Firegate produksi Legacy Pictures yang sampai tulisan ini diturunkan masih belum menetapkan tanggal rilis pasti. Sambil menantikannya, sebenarnya ada satu lagi film aksi-petualangan ala Indiana Jones dengan memanfaatkan legenda Nusantara masa lampau yang sudah rampung sejak awal tahun 2014 lalu. Film bertajuk Barakati (dalam Bahasa Buton artinya “yang diberkati”) ini disutradarai Monty Tiwa yang sekaligus menuliskan naskahnya bersama Eric Tiwa. Fedi Nuril, Acha Septriasa, Dwi Sasono, Jono Armstrong (mantan basis Gugun Blues Shelter) dipasang di lini utama, serta didukung Tio Pakusadewo, Niniek L. Karim, dan Mario Irwinsyah. Dengan mengambil kisah legenda Patih Gajah Mada dan latar Pulau Buton yang eksotis, di atas kertas Barakati sebenarnya sangat menarik. Setelah penantian yang lama, Barakati akhirnya mendapatkan jadwal tayang yang entah kebetulan atau memang disengaja, hanya satu minggu setelah perilisan Shy Shy Cat yang juga merupakan kerjasama Monty-Acha-Fedi. Let’s saya ini adalah momentum yang bisa dimanfaatkan jika memang tak ada banyak dana untuk melakukan promosi.
Seorang arkeolog muda asal Jogja, Abdul Manan, suatu ketika didatangi oleh wartawan Inggris, Gerry Johnson yang membawa foto beberapa lembar lontar bertuliskan aksara Jawa dari abad ke-14 yang diduga berisi catatan Patih Gajah Mada tentang missing-gap setelah beliau meninggalkan Kerajaan Majapahit. Awalnya karena Gerry mengungkapkan tujuannya untuk mengambil keuntungan finansial, Manan tak tertarik untuk membantu memecahkan isi lontar tersebut. Namun rasa penasaran dan keadaan yang mengharuskan ia ke kampung halaman ibunya di Pulau Buton, membuat Manan akhirnya membantu memecahkan maksud dari tulisan di lontar tersebut. Nyatanya misi ini tak mudah karena mereka berdua dikejar-kejar seorang misterius yang tampaknya juga mengincar lontar-lontar tersebut untuk tujuan tersendiri. Tak sendiri, mereka berdua juga dibantu oleh gadis setempat, Wa Ambe, yang keluarganya banyak paham tentang sejarah Pulau Buton dan piawai dalam ilmu bela diri.
Sebagai sebuah film aksi-petualangan dengan latar belakang legenda masa lampau dan eksotisme Pulau Buton (mungkin saja ini merupakan proyek pesanan dari Pemda setempat sebagai bentuk promosi pariwisata. Apalagi ternyata salah satu produsernya, Putwi Rimbidirista, adalah duta pariwisata setempat), Barakati sebenarnya ditulis dengan sangat menarik. Tentu missing-gap ketika Patih Gajah Mada meninggalkan Kerajaan Majapahit menjadi misteri yang bikin penasaran untuk diikuti. Ditambah after-credit yang akhirnya membuka tabir konsep besar cerita yang relevan dengan kondisi negara kita saat ini. Sayangnya, selain minor logic yang aneh, pemecahan teka-teki yang ada terkesan serba digampangkan dan yang paling disayangkan adalah nuansa dan semangat adventurous yang nyatanya tak begitu terasa sepanjang durasi. Runtutan adegan pemecahan teka-teki seringkali dibuat terlalu ‘santai’ dan dengan selipan sub-plot yang cukup mengganggu pace serta semangat adventurous-nya, tanpa terasa menyatu dengan plot utama. Misalnya tentang hubungan antara Manan-Wa Ambe atau konflik keluarga Manan sendiri.
Semangat adventurous semakin dilemahkan oleh struktur yang juga mengganggu pace cerita. Ini begitu terasa ketika setelah musuh yang memburu karakter-karakter utama berhasil dikalahkan, ternyata masih ada post-climax pemecahan teka-teki yang cukup panjang. Jika mau menghemat durasi dan menjaga rasa penasaran penonton, pemecahan teka-teki bisa dilakukan sebelum atau bertepatan dengan musuh yang berhasil dikalahkan.
Di jajaran cast, terutama Fedi Nuril dan Acha Septriasa tergolong menarik. Fedi tampil sedikit berbeda dari tipikal karakter pria kalem yang selama ini sudah begitu melekat pada dirinya. Tak ditulis dengan terlalu detail maupun mendalam, karakter yang tergolong generik di genrenya masih mampu dimainkan dengan cukup baik oleh Fedi. Hanya aksen Jawa yang masih jauh dari konsisten yang menjadi poin minus dari penampilannya. Acha Septriasa menampilkan karakternya dengan lebih baik berkat konsistensi aksen Pulau Buton yang khas dan tentu saja aksi bela diri yang dilakoninya. Meski ada satu-dua aksi bela diri yang sedikit terasa  menggelikan, overall usahanya patut mendapatkan apresiasi lebih. Penampilan Jono Armstrong sebagai Gerry, jujur, mengganggu dengan cara bicara yang kelewat kaku, jauh dari kesan serius, dan terasa terlalu dibuat-buat. Dwi Sasono tampil menonjol sebagai villain yang eksentrik. Terkadang memancing tawa, tapi seringkali terasa bengis dan kejam. Sedikit mengingatkan saya akan perannya di Gangster, tapi tetap menarik perhatian.
Sinematografi Rollie Markiano mampu merekam gambar-gambar panoramic yang eksotis, termasuk acara adat dari Pulau Buton. Meski masih ada shot-shot aerial yang kualitasnya pecah, setidaknya masih membuat saya terpana dan ingin mengunjunginya suatu saat nanti. Dalam memvisualisasikan adegan-adegan laganya pun cukup sinematis dan jelas, meski pergerakan kameranya masih belum mampu membangun semangat adventurous yang intense. Editing Oliver Sitompul masih jauh dari dinamis untuk genre petualangan. Artistik ada yang menarik, tapi banyak pula yang terkesan ‘asal’, seperti misalnya lembaran-lembaran kertas yang ditempel di dinding bukit yang seharusnya berisi data-data untuk memecahkan teka-teki, tapi di layar jelas-jelas terlihat seperti screenplay dan tabel-tabel budgeting (dari film ini sendiri, mungkin?). Musik dari Ganden Bramanto meski tak sampai menjadi elemen yang paling notable, tapi sudah lebih dari cukup untuk membangun nuansa-nuansa adegan yang dibutuhkan. Apalagi dengan sentuhan etnis yang menambah rasa eksotisme dari film.
Barakati memang punya potensi pengembangan cerita dan bahkan konsep besar yang sangat menarik. Adegan after credit mungkin dimaksudkan sebagai teaser dari sekuel yang mungkin saja dibuat. Sayang pada hasil akhirnya terlihat sekali treatment yang masih jauh dari kesan maksimal, terutama dari segi adventuruous spirit yang terlalu ‘santai’. Meski masih bisa membuat penonton penasaran, tapi laju cerita membuatnya terasa melelahkan hingga mungkin membuat penonton sudah tak peduli lagi dengan ceritanya. Semoga saja jika memang benar dibuatkan sekuel, PR penggarapan yang absen di sini bisa lebih diperbaiki lagi. Namun melihat dari kurang seriusnya promosi dan tanggal rilis yang sampai ‘mangkrak’ hingga hampir dua tahun, saya ragu sekuelnya mendapatkan lampu hijau untuk diproduksi. 
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.