2.5/5
Action
Adventure
Drama
Indonesia
Mythology
Panoramic
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Twisted History
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Barakati
Indonesia memang kaya akan kisah sejarah, legenda, mitologi,
maupun cerita rakyat yang menarik untuk dijadikan materi film aksi petualangan.
Sayangnya, tak mudah untuk memproduksinya. Mungkin Sumber Daya Manusia kita
sebenarnya sudah mampu, tapi budget yang tentu jauh lebih besar ketimbang genre
drama atau komedi, misalnya, masih menjadi kendala terbesar. Terakhir yang
paling notable dalam ingatan saya mungkin hanya Ekspedisi Madewa (2006) dan Dead
Mine (2013) yang sebenarnya merupakan produksi bersama dengan HBO Asia,
bukan sepenuhnya produksi Indonesia. Setelah itu masih ada Firegate produksi Legacy Pictures yang sampai tulisan ini
diturunkan masih belum menetapkan tanggal rilis pasti. Sambil menantikannya,
sebenarnya ada satu lagi film aksi-petualangan ala Indiana Jones dengan memanfaatkan legenda Nusantara masa lampau
yang sudah rampung sejak awal tahun 2014 lalu. Film bertajuk Barakati (dalam Bahasa Buton artinya
“yang diberkati”) ini disutradarai Monty Tiwa yang sekaligus menuliskan
naskahnya bersama Eric Tiwa. Fedi Nuril, Acha Septriasa, Dwi Sasono, Jono
Armstrong (mantan basis Gugun Blues Shelter) dipasang di lini utama, serta
didukung Tio Pakusadewo, Niniek L. Karim, dan Mario Irwinsyah. Dengan mengambil
kisah legenda Patih Gajah Mada dan latar Pulau Buton yang eksotis, di atas
kertas Barakati sebenarnya sangat
menarik. Setelah penantian yang lama, Barakati
akhirnya mendapatkan jadwal tayang yang entah kebetulan atau memang disengaja,
hanya satu minggu setelah perilisan Shy
Shy Cat yang juga merupakan kerjasama Monty-Acha-Fedi. Let’s saya ini
adalah momentum yang bisa dimanfaatkan jika memang tak ada banyak dana untuk
melakukan promosi.
Seorang arkeolog muda asal Jogja, Abdul Manan, suatu ketika
didatangi oleh wartawan Inggris, Gerry Johnson yang membawa foto beberapa
lembar lontar bertuliskan aksara Jawa dari abad ke-14 yang diduga berisi
catatan Patih Gajah Mada tentang missing-gap setelah beliau meninggalkan
Kerajaan Majapahit. Awalnya karena Gerry mengungkapkan tujuannya untuk
mengambil keuntungan finansial, Manan tak tertarik untuk membantu memecahkan
isi lontar tersebut. Namun rasa penasaran dan keadaan yang mengharuskan ia ke
kampung halaman ibunya di Pulau Buton, membuat Manan akhirnya membantu
memecahkan maksud dari tulisan di lontar tersebut. Nyatanya misi ini tak mudah
karena mereka berdua dikejar-kejar seorang misterius yang tampaknya juga
mengincar lontar-lontar tersebut untuk tujuan tersendiri. Tak sendiri, mereka
berdua juga dibantu oleh gadis setempat, Wa Ambe, yang keluarganya banyak paham
tentang sejarah Pulau Buton dan piawai dalam ilmu bela diri.
Sebagai sebuah film aksi-petualangan dengan latar belakang
legenda masa lampau dan eksotisme Pulau Buton (mungkin saja ini merupakan
proyek pesanan dari Pemda setempat sebagai bentuk promosi pariwisata. Apalagi
ternyata salah satu produsernya, Putwi Rimbidirista, adalah duta pariwisata
setempat), Barakati sebenarnya
ditulis dengan sangat menarik. Tentu missing-gap ketika Patih Gajah Mada
meninggalkan Kerajaan Majapahit menjadi misteri yang bikin penasaran untuk
diikuti. Ditambah after-credit yang akhirnya membuka tabir konsep besar cerita
yang relevan dengan kondisi negara kita saat ini. Sayangnya, selain minor logic
yang aneh, pemecahan teka-teki yang ada terkesan serba digampangkan dan yang
paling disayangkan adalah nuansa dan semangat adventurous yang nyatanya tak
begitu terasa sepanjang durasi. Runtutan adegan pemecahan teka-teki seringkali
dibuat terlalu ‘santai’ dan dengan selipan sub-plot yang cukup mengganggu pace
serta semangat adventurous-nya, tanpa terasa menyatu dengan plot utama.
Misalnya tentang hubungan antara Manan-Wa Ambe atau konflik keluarga Manan
sendiri.
Semangat adventurous semakin dilemahkan oleh struktur yang
juga mengganggu pace cerita. Ini begitu terasa ketika setelah musuh yang
memburu karakter-karakter utama berhasil dikalahkan, ternyata masih ada
post-climax pemecahan teka-teki yang cukup panjang. Jika mau menghemat durasi
dan menjaga rasa penasaran penonton, pemecahan teka-teki bisa dilakukan sebelum
atau bertepatan dengan musuh yang berhasil dikalahkan.
Di jajaran cast, terutama Fedi Nuril dan Acha Septriasa
tergolong menarik. Fedi tampil sedikit berbeda dari tipikal karakter pria kalem
yang selama ini sudah begitu melekat pada dirinya. Tak ditulis dengan terlalu
detail maupun mendalam, karakter yang tergolong generik di genrenya masih mampu
dimainkan dengan cukup baik oleh Fedi. Hanya aksen Jawa yang masih jauh dari
konsisten yang menjadi poin minus dari penampilannya. Acha Septriasa
menampilkan karakternya dengan lebih baik berkat konsistensi aksen Pulau Buton
yang khas dan tentu saja aksi bela diri yang dilakoninya. Meski ada satu-dua
aksi bela diri yang sedikit terasa
menggelikan, overall usahanya patut mendapatkan apresiasi lebih.
Penampilan Jono Armstrong sebagai Gerry, jujur, mengganggu dengan cara bicara
yang kelewat kaku, jauh dari kesan serius, dan terasa terlalu dibuat-buat. Dwi
Sasono tampil menonjol sebagai villain yang eksentrik. Terkadang memancing
tawa, tapi seringkali terasa bengis dan kejam. Sedikit mengingatkan saya akan
perannya di Gangster, tapi tetap
menarik perhatian.
Sinematografi Rollie Markiano mampu merekam gambar-gambar
panoramic yang eksotis, termasuk acara adat dari Pulau Buton. Meski masih ada
shot-shot aerial yang kualitasnya pecah, setidaknya masih membuat saya terpana
dan ingin mengunjunginya suatu saat nanti. Dalam memvisualisasikan adegan-adegan
laganya pun cukup sinematis dan jelas, meski pergerakan kameranya masih belum
mampu membangun semangat adventurous yang intense. Editing Oliver Sitompul
masih jauh dari dinamis untuk genre petualangan. Artistik ada yang menarik,
tapi banyak pula yang terkesan ‘asal’, seperti misalnya lembaran-lembaran
kertas yang ditempel di dinding bukit yang seharusnya berisi data-data untuk
memecahkan teka-teki, tapi di layar jelas-jelas terlihat seperti screenplay dan
tabel-tabel budgeting (dari film ini sendiri, mungkin?). Musik dari Ganden
Bramanto meski tak sampai menjadi elemen yang paling notable, tapi sudah lebih
dari cukup untuk membangun nuansa-nuansa adegan yang dibutuhkan. Apalagi dengan
sentuhan etnis yang menambah rasa eksotisme dari film.
Barakati memang
punya potensi pengembangan cerita dan bahkan konsep besar yang sangat menarik.
Adegan after credit mungkin dimaksudkan sebagai teaser dari sekuel yang mungkin
saja dibuat. Sayang pada hasil akhirnya terlihat sekali treatment yang masih
jauh dari kesan maksimal, terutama dari segi adventuruous spirit yang terlalu
‘santai’. Meski masih bisa membuat penonton penasaran, tapi laju cerita
membuatnya terasa melelahkan hingga mungkin membuat penonton sudah tak peduli
lagi dengan ceritanya. Semoga saja jika memang benar dibuatkan sekuel, PR
penggarapan yang absen di sini bisa lebih diperbaiki lagi. Namun melihat dari
kurang seriusnya promosi dan tanggal rilis yang sampai ‘mangkrak’ hingga hampir
dua tahun, saya ragu sekuelnya mendapatkan lampu hijau untuk diproduksi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.