3.5/5
Action
Based on Book
Drama
England
Europe
Horror
Humanity
Pop-Corn Movie
post apocalypse
The Jose Flash Review
Thriller
Zombie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Girl with All the Gifts
Tahun 2014 lalu novel bertajuk The Girl with All the Gifts (TGwAtG) karya M. R. Carey dirlis.
Novel yang berdasarkan cerpen karyanya sendiri yang memenangkan Edgar Award, Iphogenia in Aulis ini dipuji sebagai
variasi genre post-apocalypse dan zombie yang menarik. Uniknya, antara novel
dan naskah filmnya ditulis secara bersamaan setelah mendapatkan pendanaan dari
BFI Film Fund. Colm McCarthy yang selama ini dikenal menggarap beberapa episode
dari serial-serial seperti Sherlock, The Tudors, dan Doctor Who, ditunjuk
sebagai sutradara. Jajaran cast-nya pun tak kalah menarik. Mulai Glenn Close,
Gemma Arterton, Paddy Considine, dan pendatang baru cilik, Sennia Nanua. Jika
Anda pernah menyukai film zombie Inggris, 28
Days Later dan 28 Weeks Later,
maka TGwAtG bisa jadi sajian yang menarik pula.
Di awal film kita diperkenalkan kepada sosok gadis cilik
bernama Melanie yang hidup dalam kurungan bak penjara. Pengamanan terhadapnya
begitu ketat seolah ia sangat berbahaya, dan tiap hari mendapatkan pelajaran
dari seorang guru wanita muda bernama Helen Justineau, bersama dengan anak-anak
seusianya yang juga mendapatkan perlakuan yang sama. Suatu kejadian menyadarkan
penonton bahwa Melanie yang terkesan lugu, cerdas, dan penuh rasa penasaran,
bisa berubah menjadi sosok monster yang luar biasa buas. Hanya Helen yang punya
rasa iba dan koneksi yang kuat terhadapnya. Hingga ketika Melanie terancam
untuk dimatikan oleh Dokter Caroline Caldwell, barulah identitas Melanie dan
keadaan bumi di luar karantina terkuak. Bumi sudah dipenuhi oleh zombie yang
disebut ‘hungries’. Hanya tinggal beberapa orang di dalam karantina yang masih
bertahan hidup. Dokter Caldwell percaya bahwa Melanie bisa menjadi penawar dari
jamur yang mengubah manusia menjadi ‘hungries’. Sayangnya, harapan itu semakin
menipis seiring dengan jumlah manusia yang semakin menurun, termasuk Helen,
Sersan Eddie Parks, dan prajurit Kieran Gallagher.
Secara garis besar, TGwAtG mungkin tak benar-benar baru. Ia
seperti hybrid dari berbagai kisah post-apocalypse dan zombie dengan pendekatan
humanis. Satu hal yang menarik adalah asal mula virus pengubah manusia menjadi
sosok ‘hungries’ yang berasal dari jamur dan kelak bisa dengan mudah tersebar
melalui spora yang terhembus angin. Masih belum banyak film bertemakan zombie
dan post-apocalypse yang menggunakan pendekatan biologis yang ilmiah. Tentu
dengan pendekatan biologis, konsep cerita TGwAtG yang memang masih tergolong
fiksi tapi menjadi lebih masuk akal untuk benar-benar terjadi. Ini tentu
menjadikan aura yang lebih ‘horor’ bagi penonton.
Overall, TGwAtG masih menggunakan formula horror-thriller yang
kurang lebih sama dengan film-film zombie lain; serangan tiba-tiba yang brutal
dan membangun ketegangan lewat keheningan. In this attempts, McCarthy terbukti
melakukan tugasnya dengan sangat baik. Alhasil TGwAtG menjadi film
horror-thriller yang begitu menegangkan dan mencekam. Tak ketinggalan gore-fest
yang sangat memuaskan para penggemar genrenya.
Sedangkan dari segi penyusunan plot, TGwAtG mampu membangun
rasa penasaran penonton sedikit demi sedikit lewat runtutan narasi yang
tersusun baik. Karakter Melanie yang ditunjuk sebagai karakter utama sekaligus
penggerak narasi mampu menarik simpati penonton, di balik hitam-putih
karakternya. Begitu pula karakter-karakter lain, seperti Dokter Caldwell dan
Sersan Eddie Parks yang juga dihadirkan dengan hitam-putih yang jelas serta
seimbang. Membuat penonton tidak lantas membenci atau membela salah satu
karakter. Lebih dari itu, TGwAtG punya momen-momen yang morally
thought-provoking sekaligus menyentuh emosi. Konklusinya mungkin kurang
memuaskan bagi beberapa tipe penonton, tapi bagi saya punya kekuatan
tersendiri, terutama tentang keputusan terbaik yang berorientasi pada masa
depan setelah semua harapan yang ada musnah.
Pendatang baru Sennia Nanua sebagai Melanie menjadi daya tarik
utama. Tak hanya karena porsinya sebagai penggerak narasi yang paling
mendominasi, tapi juga karena kharisma aktingnya yang begitu kuat. Sosok gadis
cilik lugu yang berhati besar, cerdas, sekaligus penuh rasa penasaran, tapi
juga bisa berubah menjadi luar biasa buas ditampilkan dengan keseimbangan yang
luar biasa dan dengan transformasi yang natural. Penampilannya membuat penonton
tetap bersimpati meski telah mengetahui sisi terang-gelap dari karakter. Gemma
Arterton sebagai Helen Justineau pun tak kalah menarik perhatian, terutama
lewat chemistry yang terbangun dengan begitu kuat dengan Nanua. Tak ketinggalan
ekspresi dan gesture yang menggambarkan emosi karakter dengan begitu kuat.
Glenn Close sebagai Dr. Caldwell, seperti biasa menampilkan kharisma yang kuat.
Ditambah sepak terjang yang kick-ass, karakter Dr. Caldwell menjadi karakter yang
juga menarik. Selanjutnya ada Paddy Considine sebagai Sersan Eddie Parks,
Fisayo Akinade sebagai prajurit Kieran Gallagher, Dominique Tipper sebagai
prajurit Devani, dan Anthony Welsh sebagai prajurit Dillon yang cukup mendukung
dengan porsi masing-masing.
Faktor keberhasilan TGwAtG sebagai sebuah film horror-thriller
zombie adalah sinematografi Simon Dennis dan editing Matthew Cannings yang
mampu membangun nuansa seru, menegangkan, sekaligus emosional sepanjang film.
Desain produksi Kristian Milsted dan art direction Philip Barber menyulap kota
jadi dipenuhi zombie ganas serta gedung karantina yang meski tergolong ‘sederhana’
tapi sangat meyakinkan. Make up department pun melakukan tugasnya dengan sangat
baik dalam menggambarkan sosok-sosok ‘hungries’. Dengan sound design yang
mumpuni termasuk pemanfaatan fasilitas surround yang maksimal, ditambah scoring
Cristobal Tapia de Veer yang begitu haunting, sound department tak kalah
memanjakan indera pendengaran seperti halnya indera penglihatan.
Bak hybrid dari berbagai elemen dari film-film bergenre
sejenis dengan modifikasi di sana-sini, TGwAtG berhasil menjadi salah satu film
zombie yang paling notable sepanjang sejarah. Tak hanya mampu menjadi sajian
hiburan horror-thriller yang intense, mendebarkan, dan brutal, tapi juga
menampilkan hati serta elemen humanis yang tak kalah kuat. Pantang dilewatkan
oleh penggemar horror-thriller, terutama di sub-genre zombie.
Lihat data film ini di IMDb.