The Jose Flash Review
Billy Lynn's
Long Halftime Walk

Perang dan dampak psikologis seperti yang pernah diangkat oleh Clint Eastwood di American Sniper (2014) memang menarik dan bisa menggugah siapa saja. Konsep yang mirip inilah yang diusung oleh Billy Lynn’s Long Halftime Walk (BLLHW). Diangkat dari novel karya Ben Fountain yang dirilis tahun 2012, proyek ini tak main-main. Meski adaptasi naskahnya dipercayakan kepada Jean-Christophe Castelli yang menandai debutnya sebagai penulis naskah (sebelumnya menjadi associate producer Life of Pi), tapi bangku penyutradaraan diberikan kepada Ang Lee yang seolah sudah punya jaminan mutu dalam bercerita. Setelah memaksimalkan penggunaan teknologi di Life of Pi, kali ini Ang Lee lagi-lagi mencoba teknologi baru untuk memvisualkan ceritanya, yaitu high frame rate 120 frame per second (frame rate tertinggi saat ini, melebihi rekor 48 fps dari The Hobbit: An Unexpected Journey) dengan format 3D pada resolusi 4K. Konon kabarnya ini untuk memberikan kesan serealistis mungkin dari adegan-adegan yang ia sajikan. Sayangnya, teknologi yang benar-benar baru pertama kali ini tidak bisa ditayangkan di semua teater. Hanya ada enam teater di seluruh dunia yang mampu memutar format ini (dua di Amerika Serikat, sisanya di Taipei, Beijing, dan Shanghai). Teater lain harus puas dengan format normal atau ‘hanya’ 24 fps.
Billy Lynn yang baru berusia 19 tahun baru saja kembali dari medan perang di Irak. Ia bersama tim Bravo berhasil selamat dan menerima penghargaan dari pemerintah berkat tindakan patriotisme mereka, meski harus kehilangan Sersan Shroom yang tewas di tangan musuh. Sebelum ditugaskan kembali ke Irak, mereka secara istimewa diundang ke pertandingan futbol Dallas Cowboy sekaligus tampil bersama Destiny’s Child. Tak hanya itu, seorang agen bernama Albert berusaha ‘menjual’ cerita mereka untuk diangkat ke film. Selama itu pula lah Billy Lynn merefleksikan kembali semua pengalaman yang terjadi pada dirinya. Mulai pemicu dirinya mendaftar sebagai prajurit, menginterogasi tertuduh, sampai dampaknya setelah pulang. Sang kakak, Kathryn, berusaha agar Billy memutuskan tak ikut kembali ke medan perang. Billy semakin bimbang ketika ia bertemu dan jatuh cinta kepada seorang gadis cheerleader cantik, Faison.
Meski sekilas punya treatment yang mirip American Sniper, yaitu mengeksplorasi sisi psikologis karakter utama pasca perang dengan rangkaian flashback, BLLHW mencoba untuk membungkusnya dengan lebih menarik, yaitu selama pertandingan futbol dimana para prajurit ini diundang secara istimewa. Berbagai kejadian selama pertandingan futbol cukup mulus menjadi setup rangkaian flashback yang relevan dengan dampak traumatis. Tak hanya itu, ia mencoba untuk menunjukkan ironi tanggapan masyarakat umum terhadap sosok-sosok yang dianggap pahlawan. Ada samarnya admiration-hatred (dari sisi masyarakat) dan pride-hurt (dari sisi prajurit) yang ditampilkan dengan cukup powerful.
Sayangnya, semua elemen-elemen yang coba dihadirkan untuk membuat penonton memahami kondisi psikologis para karakter (prajurit), terutama Billy Lynn, masih belum berhasil untuk menyentuh maupun menggerakkan emosi penonton sekuat yang dilakukan American Sniper, misalnya. Alhasil, semua effort yang coba dihadirkan terasa serba tanggung. Tak ada ‘tekanan-tekanan emosi’ yang cukup berarti. Ini masih ditambah visualisasi perang yang tergolong ‘biasa’, apalagi jika dibandingkan Hacksaw Ridge yang tayang hanya berjarak sekitar satu minggu sebelumnya (sehingga sulit bagi penonton untuk tak membandingkan keduanya).
Joe Alwyn yang memerankan Billy Lynn tentu menjadi pencuri perhatian paling utama sepanjang film. Tak hanya karena porsinya yang paling dominan, tapi ternyata juga menampilkan kharisma serta performa akting yang powerful meski ini merupakan debutnya di layar lebar. Konflik batin yang dialami Billy tergambar dengan jelas dan mudah dipahami oleh penonton. Kristen Stewart sebagai Kathryn Lynn mampu mengimbangi performa Alwyn dengan emosi yang pas. Garrett Hedlund sebagai Dime dan Vin Diesel sebagai Shroom jadi karakter-karakter prajurit pendukung yang tampil paling notable. Chris Tucker sebagai Albert dan Steve Martin sebagai Norm juga notable, simply because we know them and miss their performances. Makenzie Leigh sebagai Faison cukup mencuri perhatian berkat pesona fisik ditambah performa yang layak pula. Sementara Arturo Castro sebagai Mango, Mason Lee sebagai Foo, Brian Bradley sebagai Lodis, Beau Knapp sebagai Crack, Ismael Cruz Cordova sebagai Holliday, dan Barney Harris sebagai Sykes, termasuk noticeable dengan ‘keunikan’ masing-masing. Yang patut disayangkan, BLLHW gagal menampilkan personel Destiny’s Child yang asli. Padahal merupakan salah satu momen terpenting (sampai dijadikan judul) sepanjang film.
Kendati menggunakan teknologi HFR 120 fps yang konon memberikan kesan realistis, sinematografi John Toll sebenarnya tak benar-benar terlihat (dan terasa) istimewa. Ya, memang banyak shot close-up yang memberikan kesan lebih detail. Namun di format 24 fps, tampaknya tak ada yang begitu istimewa. Editing Tim Squyres cukup rapi menjalin berbagai flashback dengan current time sehingga batasan dan peletakannya jelas. Desain produksi Mark Friedberg patut mendapatkan apresiasi, terutama dalam menyuguhkan suasana half-time yang meriah. Sound design tergolong layak dan cukup memanfaatkan fasilitas surround, meski tak pula istimewa. Terakhir, scoring Jeff dan Mychael Danna yang lebih dari cukup dalam mengiringi adegan-adegannya, termasuk penggunaan unsur ethnic di beberapa piece yang tentu mengingatkan kita akan score gubahannya untuk Life of Pi.

Cukup disayangkan memang, tak banyak yang bisa mengalami BLLHW dengan format yang seharusnya, mengingat Ang Lee dikenal tak pernah sekedar gaya-gayaan dalam bereksperimen secara teknis. Mungkin saja BLLHW bisa lebih memberikan feel lebih di format 120 fps 3D 4K. Namun karena kita di Indonesia hanya bisa puas menikmati format biasa 24 fps, BLLHW hanya sekedar upaya membuat penonton memahami keputusan akhir yang diambil dan kondisi psikologis dari sosok Billy Lynn, tanpa menyentuh emosi penonton, apalagi berempati.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.