3.5/5
Based on Book
Drama
HFR
Hollywood
Personality
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Billy Lynn's
Long Halftime Walk
Perang dan dampak psikologis seperti yang pernah diangkat oleh
Clint Eastwood di American Sniper
(2014) memang menarik dan bisa menggugah siapa saja. Konsep yang mirip inilah
yang diusung oleh Billy Lynn’s Long
Halftime Walk (BLLHW). Diangkat dari novel karya Ben Fountain yang dirilis
tahun 2012, proyek ini tak main-main. Meski adaptasi naskahnya dipercayakan
kepada Jean-Christophe Castelli yang menandai debutnya sebagai penulis naskah
(sebelumnya menjadi associate producer Life
of Pi), tapi bangku penyutradaraan diberikan kepada Ang Lee yang seolah
sudah punya jaminan mutu dalam bercerita. Setelah memaksimalkan penggunaan
teknologi di Life of Pi, kali ini Ang
Lee lagi-lagi mencoba teknologi baru untuk memvisualkan ceritanya, yaitu high
frame rate 120 frame per second (frame rate tertinggi saat ini, melebihi rekor
48 fps dari The Hobbit: An Unexpected
Journey) dengan format 3D pada resolusi 4K. Konon kabarnya ini untuk
memberikan kesan serealistis mungkin dari adegan-adegan yang ia sajikan.
Sayangnya, teknologi yang benar-benar baru pertama kali ini tidak bisa
ditayangkan di semua teater. Hanya ada enam teater di seluruh dunia yang mampu
memutar format ini (dua di Amerika Serikat, sisanya di Taipei, Beijing, dan
Shanghai). Teater lain harus puas dengan format normal atau ‘hanya’ 24 fps.
Billy Lynn yang baru berusia 19 tahun baru saja kembali dari
medan perang di Irak. Ia bersama tim Bravo berhasil selamat dan menerima
penghargaan dari pemerintah berkat tindakan patriotisme mereka, meski harus
kehilangan Sersan Shroom yang tewas di tangan musuh. Sebelum ditugaskan kembali
ke Irak, mereka secara istimewa diundang ke pertandingan futbol Dallas Cowboy
sekaligus tampil bersama Destiny’s Child. Tak hanya itu, seorang agen bernama
Albert berusaha ‘menjual’ cerita mereka untuk diangkat ke film. Selama itu pula
lah Billy Lynn merefleksikan kembali semua pengalaman yang terjadi pada
dirinya. Mulai pemicu dirinya mendaftar sebagai prajurit, menginterogasi
tertuduh, sampai dampaknya setelah pulang. Sang kakak, Kathryn, berusaha agar
Billy memutuskan tak ikut kembali ke medan perang. Billy semakin bimbang ketika
ia bertemu dan jatuh cinta kepada seorang gadis cheerleader cantik, Faison.
Meski sekilas punya treatment yang mirip American Sniper, yaitu mengeksplorasi sisi psikologis karakter
utama pasca perang dengan rangkaian flashback, BLLHW mencoba untuk
membungkusnya dengan lebih menarik, yaitu selama pertandingan futbol dimana
para prajurit ini diundang secara istimewa. Berbagai kejadian selama
pertandingan futbol cukup mulus menjadi setup rangkaian flashback yang relevan
dengan dampak traumatis. Tak hanya itu, ia mencoba untuk menunjukkan ironi
tanggapan masyarakat umum terhadap sosok-sosok yang dianggap pahlawan. Ada
samarnya admiration-hatred (dari sisi masyarakat) dan pride-hurt (dari sisi
prajurit) yang ditampilkan dengan cukup powerful.
Sayangnya, semua elemen-elemen yang coba dihadirkan untuk
membuat penonton memahami kondisi psikologis para karakter (prajurit), terutama
Billy Lynn, masih belum berhasil untuk menyentuh maupun menggerakkan emosi
penonton sekuat yang dilakukan American
Sniper, misalnya. Alhasil, semua effort yang coba dihadirkan terasa serba
tanggung. Tak ada ‘tekanan-tekanan emosi’ yang cukup berarti. Ini masih
ditambah visualisasi perang yang tergolong ‘biasa’, apalagi jika dibandingkan Hacksaw Ridge yang tayang hanya berjarak
sekitar satu minggu sebelumnya (sehingga sulit bagi penonton untuk tak
membandingkan keduanya).
Joe Alwyn yang memerankan Billy Lynn tentu menjadi pencuri
perhatian paling utama sepanjang film. Tak hanya karena porsinya yang paling
dominan, tapi ternyata juga menampilkan kharisma serta performa akting yang
powerful meski ini merupakan debutnya di layar lebar. Konflik batin yang
dialami Billy tergambar dengan jelas dan mudah dipahami oleh penonton. Kristen
Stewart sebagai Kathryn Lynn mampu mengimbangi performa Alwyn dengan emosi yang
pas. Garrett Hedlund sebagai Dime dan Vin Diesel sebagai Shroom jadi
karakter-karakter prajurit pendukung yang tampil paling notable. Chris Tucker
sebagai Albert dan Steve Martin sebagai Norm juga notable, simply because we
know them and miss their performances. Makenzie Leigh sebagai Faison cukup
mencuri perhatian berkat pesona fisik ditambah performa yang layak pula.
Sementara Arturo Castro sebagai Mango, Mason Lee sebagai Foo, Brian Bradley
sebagai Lodis, Beau Knapp sebagai Crack, Ismael Cruz Cordova sebagai Holliday,
dan Barney Harris sebagai Sykes, termasuk noticeable dengan ‘keunikan’
masing-masing. Yang patut disayangkan, BLLHW gagal menampilkan personel
Destiny’s Child yang asli. Padahal merupakan salah satu momen terpenting
(sampai dijadikan judul) sepanjang film.
Kendati menggunakan teknologi HFR 120 fps yang konon
memberikan kesan realistis, sinematografi John Toll sebenarnya tak benar-benar
terlihat (dan terasa) istimewa. Ya, memang banyak shot close-up yang memberikan
kesan lebih detail. Namun di format 24 fps, tampaknya tak ada yang begitu
istimewa. Editing Tim Squyres cukup rapi menjalin berbagai flashback dengan
current time sehingga batasan dan peletakannya jelas. Desain produksi Mark
Friedberg patut mendapatkan apresiasi, terutama dalam menyuguhkan suasana
half-time yang meriah. Sound design tergolong layak dan cukup memanfaatkan
fasilitas surround, meski tak pula istimewa. Terakhir, scoring Jeff dan Mychael
Danna yang lebih dari cukup dalam mengiringi adegan-adegannya, termasuk
penggunaan unsur ethnic di beberapa piece yang tentu mengingatkan kita akan
score gubahannya untuk Life of Pi.
Cukup disayangkan memang, tak banyak yang bisa mengalami BLLHW
dengan format yang seharusnya, mengingat Ang Lee dikenal tak pernah sekedar
gaya-gayaan dalam bereksperimen secara teknis. Mungkin saja BLLHW bisa lebih
memberikan feel lebih di format 120 fps 3D 4K. Namun karena kita di Indonesia
hanya bisa puas menikmati format biasa 24 fps, BLLHW hanya sekedar upaya
membuat penonton memahami keputusan akhir yang diambil dan kondisi psikologis dari sosok Billy Lynn, tanpa
menyentuh emosi penonton, apalagi berempati.
Lihat data film ini di IMDb.