The Jose Flash Review
Trolls

Mainan memang menjadi salah satu sumber inspirasi yang menarik untuk diangkat ke layar lebar. Tak terkecuali untuk boneka troll atau Dam doll/good luck trolls yang pertama kali dibuat oleh orang Denmark bernama Thomas Dam sebagai hadiah Natal buatan sendiri tahun 1959. Karakter berwujud ‘unik’ ini segera menjadi fenomena dunia, tak terkecuali di Amerika Serikat sekitar tahun 60-an. Kemudian karakter troll ini berkembang menjadi franchise dengan produk video game, film video, dan lebih banyak karakter boneka. Adalah DreamWorks Animation yang tertarik untuk membeli haknya tahun 2010 (kemudian pembelian keseluruhan hak merchandising di tahun 2013) untuk diangkat ke layar lebar. Mike Mitchell (Deuce Bigalow: Male Gigolo, Sky High, Shrek Forever After, dan Alvin and the Chipmunks: Chipwrecked) ditunjuk sebagai sutradara bersama Walt Dohrn, sementara naskahnya disusun oleh duo Jonathan Aibel dan Glenn Berger (Kung Fu Panda 1-3, Monsters vs Aliens, Alvin and the Chipmunks: The Squeakquel dan Chiprwrecked, dan The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water). Justin Timberlake yang pernah mengisi suara Artie di Shrek the Third, dikontrak sebagai voice talent karakter utama sekaligus music director, bersama Anna Kendrick, Zooey Deschanel, Christopher Mintz-Plasse, Russell Brand, John Cleese, Jeffrey Tambor, dan masih banyak lagi. Mengusung konsep musikal, animasi Trolls sedikit melakukan modifikasi ciri fisik karakter Trolls, tapi tetap mempertahankan bentu serta rambut warna-warninya.
Alkisah diceritakan kaum trolls hidup dalam kebahagiaan senantiasa. Menyanyi, menari, dan berpelukan seharian. Kehidupan mereka yang demikian membuat sirik kaum Bergen yang tak pernah merasa berbahagia. Mereka lantas beride untuk menyantap kaum troll hingga menggelar festival tahunan tersendiri supaya bisa berbahagia. Tiba saatnya ketika Pangeran Gristle Jr. hendak mengalami festival makan troll pertamanya. Kaum troll tak kalah cerdik. Mereka melarikan diri dari habitat seharusnya dan mengganti diri mereka dengan boneka kayu.
Dua puluh tahun kemudian, Pangeran Gristle Jr. sudah menjabat sebagai raja tapi belum juga pernah mencicipi trolls. Dengan kata lain, belum pernah pula merasakan kebahagiaan. Sementara kaum troll melanjutkan hidup bahagia di tempat yang baru. Putri Poppy menjadi sahabat tiap troll yang ada dan sering menggelar pesta. Kecuali Branch, seorang troll yang terlihat selalu menyendiri dan sinis terhadap kehidupan Poppy yang serba bahagia. Hingga suatu ketika Chef dari kerajaan Bergen mencium keberadaan kaum troll dan segera menangkap mereka semua, dengan harapan bisa mengembalikan tradisi festival makan troll dan dipercaya menjadi penguasa Bergen. Poppy yang selama ini tidak mengindahkan peringatan Branch menyesal dan mengajaknya pergi ke kerajaan Bergen untuk menyelamatkan teman-teman mereka yang tertangkap sebelum dijadikan santapan kaum Bergen. Beruntung mereka bertemu seorang pelayan kerajaan, Bridget, yang bisa mereka manfaatkan untuk membantu.
Jujur, ketika menyaksikan trailernya, saya sempat skeptis dan tak tertarik untuk menonton. Terkesan kekanak-kanakan dan ‘kurang’ menyenangkan untuk ditonton. Ternyata skeptis saya salah, tapi justru membawa keuntungan tersendiri ketika saya menontonnya langsung dengan ekspektasi yang rendah. Sejak awal film, Trolls menggeber ceritanya dengan keceriaan, warna-warni, humor yang kadang cerdas (terutama dengan sarkasme), kadang kekanakan konyol tapi tetap bisa membuat penonton dewasa tertawa. Elemen cerita Cinderella yang seolah diparodikan menambah nuansa cerita dan kegokilan film. Tak kalah pentingnya, faktor pemilihan musik-musik populer yang ditampilkan, di-arrange, dan diracik dengan luar biasa menyatu dalam cerita.
Konsep cerita Trolls sebenarnya sangat sederhana dan mungkin terdengar terlalu naïve bagi penonton dewasa (apalagi yang selama ini punya kehidupan yang mungkin lebih sering bitter). Namun somehow tema sederhana itu berhasil dipresentasikan sehingga terkesan sesuatu yang penting dan punya power luar biasa. It’s like, apapun masalah yang dihadapi, selama selalu dilakukan dengan positivity dan keceriaan, pasti bisa diselesaikan. Karakter Branch dihadirkan untuk mewakili penonton yang merasa universe Trolls terlalu naïve. Memang benar masalah tak bisa selesai hanya dengan berpelukan, menyanyi, menari, dan scrapbook-ing. Bagusnya, Trolls membuat karakter dari dua kubu yang berseberangan; Poppy dan Branch menjadi saling belajar. Branch menjadi lebih positif karena terbukti ternyata harapan selalu ada dan keskeptisannya tak selalu benar. Begitu juga Poppy belajar bahwa tak semuanya bisa diselesaikan dengan kesenangan. Keseimbangan yang seharusnya sudah dipahami dan disadari oleh penonton dewasa (mungkin bisa menjadi pengingat di kala-kala tertentu), terajarkan untuk penonton-penonton cilik dan muda. Value tentang kebahagiaan yang memang berasal dari diri sendiri, tidak perlu sampai memakan kaum troll, seperti yang direpresentasikan di sini, mungkin terlalu ‘biasa’ dan sudah bisa terbaca sejak awal film, tapi tetap saja disampaikan dan ditunjukkan dengan plot yang dikembangkan dengan benar sekaligus menarik. Tak perlu penggalian karakter atau konflik yang terlalu dalam, mengingat Trolls memang ditujukan untuk range penonton yang terbentang begitu luas. Dengan demikian, ia dengan mudah dinikmati sekaligus dipahami oleh balita sekalipun. Bagi saya, Trolls malah punya momen-momen manis yang membuat hati terasa hangat dan senyum tersimpul secara spontan.
Justin Timberlake sebagai Branch dan Anna Kendrick sebagai Princess Poppy tentu menjadi highlight voice talent utama. Tak hanya karena faktor porsi yang mendominasi, tapi juga berhasil menghidupkan kedua karater ini sesuai kebutuhan emosi masing-masing, dengan transformasi karakter yang dimainkan dengan baik pula. Tak perlu meragukan pula kualitas keduanya ketika membawakan nomer-nomer musikalnya. Zooey Deschanel terdengar menggelitik sebagai Bridget yang karakternya memang ‘unik’. Christopher Mintz-Plasse sebagai King Gristle Jr. cukup catchy, setara Christine Baranski sebagai Chef. Russell Brand sebagai Creek cukup noticeable. Sementara Gwen Stefani sebagai DJ Suki, James Corden sebagai Biggie, Ron Funches sebagai Cooper, Quvenzhané Wallis sebagai Harper, serta duo Aino Jawo-Caroline Hjelt dari Icona Pop sebagai Satin dan Chenille terasa agak mubazir karena jujur saya, kurang noticeable.
Musik menjadi elemen terpenting yang membuat nuansa Trolls menjadi begitu kuat. Thanks to Justin Timberlake sebagai music director yang memasukkan lagu-lagu populer lawas macam Hello (versi Lionel Ritchie), September, mash-up Move Your Feet, D.A.N.C.E., dan It’s a Sunshine Day, The Sound of Silence, I’m Coming Out, Clint Eastwood, sampai yang paling pas sesuai konteks cerita, True Colors. Bahkan Hair  Up yang mengambil sampling dari In the Hall of the Mountain King (yang memang punya kaitan dengan mitologi troll asal Norwegia dan populer sebagai bagian dari musik Adventures of Sonic the Hedgehog dan The Smurfs). Tak ketinggalan nomer-nomer baru seperti Can’t Stop the Feeling yang sudah berkumandang di mana-mana sejak beberapa bulan sebelum perilisan film, They Don’t Know dari Ariana Grande, serta What U Workin’ With? yang dibawakan oleh Gwen Stefani & Justin Timberlake. Scoring dari Christophe Beck pun menyatu dengan konsep musikal keseluruhan sekaligus semakin memperkuat nuansa adegan-adegan yang ditampilkan. Turut pula membuat penonton ingin ikut sing-a-long, thanks to subtitle interpreter, Nazaret Setiabudi, yang lebih memilih menuliskan lirik lagu ketika nomer musikal ketimbang terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Style animasi yang bak boneka-boneka kain dan flanel hidup begitu memanjakan mata dengan sinematografi Yong Duk Jhun yang tak kalah cantiknya sekaligus musical performances yang sinematis. Editing Nick Fletcher membuat pace-nya terasa serba pas dan plot bergulir dengan lancar, meski harus memasukkan nomer-nomer musikal yang tak sedikit. Sound design berhasil menghidupkan kemegahan dan keceriaan nuansa film, termasuk pemanfaatan fasilitas surround yang terasa maksimal.
Bagi beberapa penonton mungkin merasa Trolls hanyalah sekedar paket hiburan yang ceria dengan plot yang sederhana (mungkin terlalu ‘tipis’, tanpa kedalaman apa-apa). Namun bagi saya, ia berani menyampaikan value-value yang justru penting dan relevan untuk berbagai kondisi, yang mungkin sering disepelekan, dengan cara yang mudah dipahami dan dinikmati oleh penonton balita sekalipun. More than anything, Trolls berhasil menjadi tontonan yang ingin dan tak bosan-bosannya saya alami lagi dan lagi, terutama ketika sedang down atau bersedih. Ini bukan pencapaian yang mudah bagi sebuah film. Melebihi kedalaman karakter atau plot yang coba dihadirkan, menurut saya. For that achievement, at least to me, Trolls has successfully stole my heart and made me crowning it as DreamWorks’s best animation after Shrek’s franchise. 

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.