5/5
Adventure
Animation
Based on Toys
Blockbuster
Box Office
Comedy
Fairy Tale
Family
Fantasy
Franchise
Hollywood
Kid
Mythology
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Trolls
Mainan memang menjadi salah satu sumber inspirasi yang menarik
untuk diangkat ke layar lebar. Tak terkecuali untuk boneka troll atau Dam
doll/good luck trolls yang pertama kali dibuat oleh orang Denmark bernama
Thomas Dam sebagai hadiah Natal buatan sendiri tahun 1959. Karakter berwujud
‘unik’ ini segera menjadi fenomena dunia, tak terkecuali di Amerika Serikat
sekitar tahun 60-an. Kemudian karakter troll ini berkembang menjadi franchise
dengan produk video game, film video, dan lebih banyak karakter boneka. Adalah
DreamWorks Animation yang tertarik untuk membeli haknya tahun 2010 (kemudian
pembelian keseluruhan hak merchandising di tahun 2013) untuk diangkat ke layar
lebar. Mike Mitchell (Deuce Bigalow: Male
Gigolo, Sky High, Shrek Forever After, dan Alvin and the Chipmunks: Chipwrecked)
ditunjuk sebagai sutradara bersama Walt Dohrn, sementara naskahnya disusun oleh
duo Jonathan Aibel dan Glenn Berger (Kung
Fu Panda 1-3, Monsters vs Aliens,
Alvin and the Chipmunks: The Squeakquel
dan Chiprwrecked, dan The SpongeBob Movie: Sponge Out of Water).
Justin Timberlake yang pernah mengisi suara Artie di Shrek the Third, dikontrak sebagai voice talent karakter utama
sekaligus music director, bersama Anna Kendrick, Zooey Deschanel, Christopher
Mintz-Plasse, Russell Brand, John Cleese, Jeffrey Tambor, dan masih banyak
lagi. Mengusung konsep musikal,
animasi Trolls sedikit melakukan
modifikasi ciri fisik karakter Trolls, tapi tetap mempertahankan bentu serta
rambut warna-warninya.
Alkisah diceritakan kaum trolls hidup dalam kebahagiaan
senantiasa. Menyanyi, menari, dan berpelukan seharian. Kehidupan mereka yang
demikian membuat sirik kaum Bergen yang tak pernah merasa berbahagia.
Mereka lantas beride untuk menyantap kaum troll hingga menggelar festival
tahunan tersendiri supaya bisa berbahagia. Tiba saatnya ketika Pangeran Gristle
Jr. hendak mengalami festival makan troll pertamanya. Kaum troll tak kalah
cerdik. Mereka melarikan diri dari habitat seharusnya dan mengganti diri mereka
dengan boneka kayu.
Dua puluh tahun kemudian, Pangeran Gristle Jr. sudah menjabat
sebagai raja tapi belum juga pernah mencicipi trolls. Dengan kata lain, belum
pernah pula merasakan kebahagiaan. Sementara kaum troll melanjutkan hidup
bahagia di tempat yang baru. Putri Poppy menjadi sahabat tiap troll yang ada
dan sering menggelar pesta. Kecuali Branch, seorang troll yang terlihat selalu
menyendiri dan sinis terhadap kehidupan Poppy yang serba bahagia. Hingga suatu
ketika Chef dari kerajaan Bergen mencium keberadaan kaum troll dan segera menangkap
mereka semua, dengan harapan bisa mengembalikan tradisi festival makan troll
dan dipercaya menjadi penguasa Bergen. Poppy yang selama ini tidak mengindahkan
peringatan Branch menyesal dan mengajaknya pergi ke kerajaan Bergen untuk
menyelamatkan teman-teman mereka yang tertangkap sebelum dijadikan santapan
kaum Bergen. Beruntung mereka bertemu seorang pelayan kerajaan, Bridget, yang
bisa mereka manfaatkan untuk membantu.
Jujur, ketika menyaksikan trailernya, saya sempat skeptis dan
tak tertarik untuk menonton. Terkesan kekanak-kanakan dan ‘kurang’ menyenangkan
untuk ditonton. Ternyata skeptis saya salah, tapi justru membawa keuntungan
tersendiri ketika saya menontonnya langsung dengan ekspektasi yang rendah.
Sejak awal film, Trolls menggeber
ceritanya dengan keceriaan, warna-warni, humor yang kadang cerdas (terutama
dengan sarkasme), kadang kekanakan konyol tapi tetap bisa membuat penonton
dewasa tertawa. Elemen cerita Cinderella yang seolah diparodikan menambah
nuansa cerita dan kegokilan film. Tak kalah pentingnya, faktor pemilihan
musik-musik populer yang ditampilkan, di-arrange, dan diracik dengan luar biasa
menyatu dalam cerita.
Konsep cerita Trolls
sebenarnya sangat sederhana dan mungkin terdengar terlalu naïve bagi penonton
dewasa (apalagi yang selama ini punya kehidupan yang mungkin lebih sering
bitter). Namun somehow tema sederhana itu berhasil dipresentasikan sehingga
terkesan sesuatu yang penting dan punya power luar biasa. It’s like, apapun
masalah yang dihadapi, selama selalu dilakukan dengan positivity dan keceriaan,
pasti bisa diselesaikan. Karakter Branch dihadirkan untuk mewakili penonton
yang merasa universe Trolls terlalu
naïve. Memang benar masalah tak bisa selesai hanya dengan berpelukan, menyanyi,
menari, dan scrapbook-ing. Bagusnya, Trolls
membuat karakter dari dua kubu yang berseberangan; Poppy dan Branch menjadi
saling belajar. Branch menjadi lebih positif karena terbukti ternyata harapan
selalu ada dan keskeptisannya tak selalu benar. Begitu juga Poppy belajar bahwa
tak semuanya bisa diselesaikan dengan kesenangan. Keseimbangan yang seharusnya
sudah dipahami dan disadari oleh penonton dewasa (mungkin bisa menjadi
pengingat di kala-kala tertentu), terajarkan untuk penonton-penonton cilik dan
muda. Value tentang kebahagiaan yang memang berasal dari diri sendiri, tidak
perlu sampai memakan kaum troll, seperti yang direpresentasikan di sini,
mungkin terlalu ‘biasa’ dan sudah bisa terbaca sejak awal film, tapi tetap saja
disampaikan dan ditunjukkan dengan plot yang dikembangkan dengan benar
sekaligus menarik. Tak perlu penggalian karakter atau konflik yang terlalu
dalam, mengingat Trolls memang
ditujukan untuk range penonton yang terbentang begitu luas. Dengan demikian, ia
dengan mudah dinikmati sekaligus dipahami oleh balita sekalipun. Bagi saya, Trolls malah punya momen-momen manis
yang membuat hati terasa hangat dan senyum tersimpul secara spontan.
Justin Timberlake sebagai Branch dan Anna Kendrick sebagai
Princess Poppy tentu menjadi highlight voice talent utama. Tak hanya karena
faktor porsi yang mendominasi, tapi juga berhasil menghidupkan kedua karater
ini sesuai kebutuhan emosi masing-masing, dengan transformasi karakter yang
dimainkan dengan baik pula. Tak perlu meragukan pula kualitas keduanya ketika
membawakan nomer-nomer musikalnya. Zooey Deschanel terdengar menggelitik
sebagai Bridget yang karakternya memang ‘unik’. Christopher Mintz-Plasse
sebagai King Gristle Jr. cukup catchy, setara Christine Baranski sebagai Chef.
Russell Brand sebagai Creek cukup noticeable. Sementara Gwen Stefani sebagai DJ
Suki, James Corden sebagai Biggie, Ron Funches sebagai Cooper, Quvenzhané
Wallis sebagai Harper, serta duo Aino Jawo-Caroline Hjelt dari Icona Pop
sebagai Satin dan Chenille terasa agak mubazir karena jujur saya, kurang
noticeable.
Musik menjadi elemen terpenting yang membuat nuansa Trolls menjadi begitu kuat. Thanks to
Justin Timberlake sebagai music director yang memasukkan lagu-lagu populer
lawas macam Hello (versi Lionel
Ritchie), September, mash-up Move Your Feet, D.A.N.C.E., dan It’s a
Sunshine Day, The Sound of Silence,
I’m Coming Out, Clint Eastwood, sampai yang paling pas sesuai konteks cerita, True Colors. Bahkan Hair Up yang mengambil
sampling dari In the Hall of the Mountain
King (yang memang punya kaitan dengan mitologi troll asal Norwegia dan
populer sebagai bagian dari musik Adventures
of Sonic the Hedgehog dan The Smurfs).
Tak ketinggalan nomer-nomer baru seperti Can’t
Stop the Feeling yang sudah berkumandang di mana-mana sejak beberapa bulan
sebelum perilisan film, They Don’t Know
dari Ariana Grande, serta What U Workin’
With? yang dibawakan oleh Gwen Stefani & Justin Timberlake. Scoring
dari Christophe Beck pun menyatu dengan konsep musikal keseluruhan sekaligus
semakin memperkuat nuansa adegan-adegan yang ditampilkan. Turut pula membuat
penonton ingin ikut sing-a-long, thanks to subtitle interpreter, Nazaret
Setiabudi, yang lebih memilih menuliskan lirik lagu ketika nomer musikal
ketimbang terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Style animasi yang bak boneka-boneka kain dan flanel hidup
begitu memanjakan mata dengan sinematografi Yong Duk Jhun yang tak kalah
cantiknya sekaligus musical performances yang sinematis. Editing Nick Fletcher
membuat pace-nya terasa serba pas dan plot bergulir dengan lancar, meski harus
memasukkan nomer-nomer musikal yang tak sedikit. Sound design berhasil
menghidupkan kemegahan dan keceriaan nuansa film, termasuk pemanfaatan
fasilitas surround yang terasa maksimal.
Bagi beberapa penonton mungkin merasa Trolls hanyalah sekedar paket hiburan yang ceria dengan plot yang
sederhana (mungkin terlalu ‘tipis’, tanpa kedalaman apa-apa). Namun bagi saya,
ia berani menyampaikan value-value yang justru penting dan relevan untuk
berbagai kondisi, yang mungkin sering disepelekan, dengan cara yang mudah
dipahami dan dinikmati oleh penonton balita sekalipun. More than anything, Trolls berhasil menjadi tontonan yang
ingin dan tak bosan-bosannya saya alami lagi dan lagi, terutama ketika sedang
down atau bersedih. Ini bukan pencapaian yang mudah bagi sebuah film. Melebihi
kedalaman karakter atau plot yang coba dihadirkan, menurut saya. For that
achievement, at least to me, Trolls
has successfully stole my heart and made me crowning it as DreamWorks’s best
animation after Shrek’s franchise.
Lihat data film ini di IMDb.