Tahun 2001, James Wan dan Leigh Whannell yang baru lulus dari kuliah film di Australia, menulis sebuah naskah horor dengan ide sederhana tapi brilian. Gagal memikat hati pendana di Australia, keduanya nekad ke Los Angeles dan membuat film pendek dari salah satu adegan naskah tersebut. Siapa sangka proyek ini akhirnya memikat hati produser dari Evolution Entertainment yang akhirnya sampai mendirikan label khusus horor, Twisted Pictures. Berbudget 'hanya' US$ 1.2 juta dan syuting 18 hari, Saw yang mendapatkan review beragam berhasil mengumpulkan USD 103.9 juta pada 2004. Keuntungan gila-gilaan ini tentu membuat Lions Gate Films selaku distributor tertarik untuk terus mengembangkannya menjadi waralaba. Hingga tahun 2017 sudah sampai delapan seri. Kesemuanya dibuat dengan budget sekitar USD 10 juta (kecuali Jigsaw dengan budget USD 20 juta) tapi berhasil menghasilkan di atas USD 100 juta (kecuali Saw VI yang 'hanya' mengumpulkan USD 68.2 juta). Bahkan Wan dan Whannell awalnya tak akan menyangka ide sederhana namun brilian mereka bisa berkembang menjadi waralaba bernilai satu milyar dolar dan menciptakan salah satu ikon horor tersendiri, mewakili generasinya. Film pertama berhasil karena formula twist ending dan kebrutalan, tapi the same trick won't work twice. Film kedua masih bisa menciptakan twist-nya sendiri yang mengembangkan tujuan dan konsep film pertama, tapi seri-seri berikutnya 'hanya menjual' kreativitas jebakan yang semakin brutal dan mematikan.
Ketika waralaba Saw sudah sampai pada titik nadir, datanglah Chris Rock. Siapa yang menyangka pula bahwa Chris Rock yang selama ini dikenal sebagai komedian ternyata penggemar berat waralaba ini? Datang dengan sebuah ide untuk melanjutkan warisan waralaba tersebut, Rock mem-pitch-nya dengan petinggi Lionsgate dan mereka menyukainya. Tahun 2018 Josh Stolberg dan Pete Goldfinger yang menyusun naskah Jigsaw ditunjuk kembali dengan sutradara Darren Lynn Bousman (Saw II-IV, Mother's Day, Death of Me). Maka lahirlah Spiral: From the Book of Saw sebagai penerus tongkat estafet waralaba Saw yang baru. Tertunda sekitar satu tahun gara-gara pandemi COVID-19, Spiral akhirnya siap tayang 14 Mei 2021. Penonton Indonesia, seperti biasa, beruntung bisa menikmatinya mulai 12 Mei 2021 di bioskop-bioskop Cinema 21 dengan kabar baik: TIDAK ADA POTONGAN ATAU PUN SENSOR DALAM BENTUK APA PUN SAMA SEKALI!
Kepolisian Metro digegerkan oleh penemuan mayat salah satu anggota kesatuan mereka dalam kondisi mengenaskan di rel kereta bawah tanah. Detektif Zeke Banks (Chris Rock) yang dibayang-bayangi oleh kesuksesan sang ayah, Marcus (Samuel L. Jackson), di kesatuan tersebut, mendapatkan paket yang menjadi petunjuk dari kasus tersebut. Mereka menduga ada seseorang yang mencoba untuk menjadi peniru pembunuh berantai Jigsaw, mengincar korban yang dianggap 'berdosa' dan harus menebus dengan permainan untuk memilih salah satu organ tubuh atau nyawa mereka. Ketika korban kedua berasal dari kesatuan mereka juga, Zeke dan Kapten Angie Garza (Marisol Nichols) yakin si pembunuh memang sengaja mengincar kesatuan mereka. Zeke ditugaskan bersama anggota baru tapi dengan prestasi terbaik, William Schenk (Max Minghella), untuk menemukan si dalang sebelum semakin banyak korban berjatuhan.
Menilik dari installment terakhir, Jigsaw, yang terasa semakin desperate mau mengembangkan waralaba ke arah mana lagi, sulit untuk tidak melanjutkannya tanpa memulai sesuatu yang benar-benar baru dengan berlandaskan pada konsep dasar serupa. Maka Spiral mencoba cara tersebut. Ia bak lembar yang sama sekali baru tapi tanpa mengabaikan sosok Jigsaw sebagai 'sejarah' penting di masa lalu sebagai pondasi. Pilihan langkah yang terbukti tepat, apalagi memfokuskan pada kesatuan polisi sebagai korban yang memang relevan di belahan bumi mana pun. Mengimplementasikan formula-formula utama kesuksesan waralaba; permainan jebakan-jebakan maut yang kreatif dan teka-teki dengan twist, ke dalam kerangka cerita yang benar-benar baru menghasilkan sesuatu yang segar.
Pujian utama patut dialamatkan kepada naskah Stolberg-Goldfinger yang tak lagi sok ribet seperti di Jigsaw, tapi sangat rapi dan cerdas memainkan struktur sehingga menghasilkan distraksi dan penggiringan persepsi penonton yang efektif menjaga rasa penasaran penonton. Ketika di pertengahan penonton dibuat yakin bisa menebak si pelaku, plot kemudian mengeluarkan pion utamanya untuk mengungkap identitas si pelaku. Nyatanya itu bukan lah satu-satunya amunisi film. Stolberg-Goldfinger masih terus menjawab rasa penasaran penonton akan pertanyaan 'kok bisa' dan 'so what's next?' dengan sangat baik. Kecerdasan naskah menutup cerita dengan memuaskan tanpa terkesan murahan dan sekadar disengaja untuk membuka jalan lanjutan.
Penyutradaraan Bousman secara keseluruhan masih berhasil menggelar laju dan flow plot yang cukup lancar meski di beberapa adegan masih ada kesan lompat-lompat dan terburu-buru. Setidaknya pembangunan atmosfer ketegangan efektif membuat penonton merasa uneasy, bahkan tak menutup kemungkinan turut ber-'empati' dengan yang dirasakan sang korban (kulit saya dibuat merinding beberapa kali!) dan jumpscare yang juga efektif membuat penonton beberapa kali literally jump off the seat.
Chris Rock yang memang memposisikan diri di garda terdepan ternyata cukup mampu mengemban beban berat terutama mengingat latar belakangnya yang sudah lekat dengan imaji komedi. Kali ini ia mampu menjaga keseimbangan antara tampil serius, tapi tak sampai jatuh menjadi kelewat depresif ataupun kelewat komikal sebagaimana biasanya. Ia berhasil menempatkan diri dan menjaga porsi sejauh mana masih mempertahankan bacotan menggelitiknya tanpa merusak kharisma karakter Zeke Banks yang serius. Samuel L. Jackson memang tak berubah dari perangai signatural-nya. Justru bisa jadi pemilihannya masuk ke jajaran cast memang untuk menjadi sosok Samuel L. Jackson yang kita kenal selama ini, baik sebagai Nick Fury di Marvel Cinematic Universe maupun Jules Winnfield di Pulp Fiction.
Selain dari mereka berdua, penampilan Marisol Nichols yang selama ini kita kenal sebagai sosok Hermione Lodge, ibunda Veronica Lodge di serial Riverdale, cukup menunjukkan kharisma kepemimpinan yang kuat dan meyakinkan sebagai Kapten Angie Garza. Begitu juga putra mendiang sutradara Anthony Minghella, Max Minghella, yang tampil cukup berkesan sepanjang film. Bisa jadi Spiral akan semakin mengukuhkan sekaligus melambungkan namanya sebagai aktor setelah The Social Network, The Ides of March, The Darkest Hour, The Internship, Horns, dan serial The Handmaid's Tale.
Sinematografi Jordan Oram tak hanya efektif bercerita tapi juga memaksimalkan impact adegan-adegan brutalnya tanpa terkesan kelewat eksploitatif. Begitu juga editing Dev Singh yang juga efektif menggerakkan plot dengan flow yang pas di balik penyutradaraan Bousman yang di beberapa bagian agak lemah. Meski pada hasil akhir ada bagian yang flow-nya terasa agak lompat-lompat tapi tidak sampai menciderai kepentingan bercerita secara keseluruhan. Lebih penting lagi, pas dalam mengakali struktur yang tidak selalu linear untuk menjaga teka-tekinya dan sangat efektif menimbulkan impact 'ngilu' bagi penonton saat dibutuhkan. Terakhir, ilustrasi musik Charlie Clouser pun secara kreatif mempertahankan skor orisinil khas Saw dengan polesan yang membuatnya terdengar lebih segar, sesuai dengan karakter utama, dan yang terpenting, memberi 'rasa' lebih pada adegan-adegan yang diiriinginya.
Spiral membuktikan keberhasilan segala upaya meneruskan warisan waralaba Saw dengan penyegaran yang efektif, berkelas, kurang lebih kecerdasan setara, relevan, dan tetap impactful dibandingkan upaya-upaya yang terus-terusan dicoba sejak installment ketiga hingga mencapai titik nadir di seri kedelapan. Ia juga membuka jalan untuk lembar-lembar baru yang menjanjikan bagi kelanggengan waralaba. Semoga saja konsistensinya terus terjaga.
Lihat data film ini di IMDb.