Dear Imamku
Kritisi Trend
Hijrah Dangkal
Lewat Drama Romantis
Trend 'hijrah' yang kerapkali dimaknai secara dangkal dan hanya di permukaan saja akhir-akhir ini membuat imaji 'hijrah' menjadi lebih ke konotasi negatif di mata beberapa kalangan. Begitu juga karya-karya audio-visual yang awalnya sekadar ikut-ikutan mengangkat tema tersebut dengan harapan mampu menyedot atensi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, tapi malah jadi bumerang antipati. Nyatanya penonton umum tak sebodoh itu. Sayangnya imaji ini yang terus melekat pada judul-judul yang terkesan relijius, termasuk untuk Dear Imamku yang diangkat dari novel (awalnya Wattpad) berjudul sama karya Mellyana Dhian.
Meletakkan pasangan muda Tissa Biani yang namanya menjadi salah satu aktris muda paling cemerlang di generasinya (The Returning, Makmum, The Way I Love You, Laundry Show, dan yang akan datang, KKN di Desa Penari) dan debut perdana putra bungsu kandung musisi Ahmad Dhani-Maia Estianty, Dul Jaelani, yang pada kenyataannya memang benar-benar pasangan kekasih, diharapkan mampu menarik perhatian penonton luas. Meski diproduksi atas nama Main Pictures yang masih asing di peta bisnis perfilman nasional, nama-nama di belakangnya bukanlah nama-nama baru. Dian W. Sasmita yang merangkap sutradara, penyusun naskah, sekaligus produser yang sebelumnya pernah bertindak sebagai sutradara Dealova, produser di MD Pictures dan terakhir di Soraya Intercine Films. Bangku produser juga diisi Ferry Lesmana (eks associate producer di MD Pictures dan Soraya Intercine Films), Machroni Kusuma (eks head of production SCTV dan vice president director Indigo Production), dan Soemijato Muin (eks programme acquisition manager Indosiar, RCTI, SCTV, dan kini LionTV). Sementara di tim penyusun naskah, Dian bekerja sama dengan Jujur Prananto (Ada Apa dengan Cinta, Petualangan Sherina, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara), Ferry Lesmana (Danur: I Can See Ghosts, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Antologi Rasa), dan Surya Gemilang. Dengan nama-nama tersebut, setidaknya Dear Imamku menjadi karya yang masih bisa dipertanggung-jawabkan kualitasnya. Setidaknya dari segi produksi.
Harris (Dul Jaelani) dan Alyssa (Tissa Biani) adalah pasangan yang populer karena kanal YouTube mereka. Bahkan perekonomian keluarga keduanya tergantung dari popularitas mereka. Ketika kesehatan Sang Ibu sudah berada di titik nadir, Harris bernazar untuk lebih dekat dengan Allah (baca: hijrah). Konflik batin mulai muncul ketika kesehatan Sang Ibu benar-benar berangsur pulih. Harris mulai menjaga jarak dengan Alyssa dengan alasan belum jadi mahram hingga akhirnya Alyssa dengan berat hati memutuskan hubungan mereka. Harris berada di antara memenuhi nazar-nya tapi juga tidak bisa meninggalkan cinta matinya. Keduanya sepakat untuk menikah. Namun rupanya perbedaan di antara mereka tak cukup diselesaikan dengan dihalalkan dalam pernikahan. Konflik demi konflik antara keduanya mulai bermunculan karena perbedaan pandangan dan kepentingan masing-masing. Apalagi ternyata Alyssa berhasil diterima di Harvard.
Jika menilai dari judulnya saja banyak yang mengira bahwa Dear Imamku hanya akan menjadi drama reliji menuju 'hijrah' secara dangkal semata dengan ujung-ujungnya sekadar soal berhijab. Setup dan konflik awal pun masih berjalan di formula tersebut. Satu hal yang masih bisa saya tolerir adalah pilihan sikap Harris yang tidak memaksakan Alyssa untuk langsung berubah setelah menikah. Ia memberi ruang untuk istrinya untuk membiasakan diri dan belajar perlahan. Saya pun tidak mau buru-buru berburuk sangka karena saya melihat ada potensi konflik yang lebih besar dan fundamental tentang menikah muda dan tentu saja, 'hijrah'.
Ternyata harapan saya terjawab. Plot tidak berakhir dengan pernikahan dan karakter Alyssa sekadar berhijab. Justru konflik utama yang sebenarnya baru dimulai. Karakter Harris pun dibuat manusiawi dengan pilihan sulit dalam memaknai 'hijrah', tak seperti kebanyakan karakter pria ('imam' sebagaimana judulnya) yang diposisikan selalu benar secara dangkal dan memposisikan wanita sebagai istri yang harus selalu menurut. Karakter Alyssa yang sejak awal memang rebel diberi ruang untuk berkembang, mempertahankan pendiriannya, tanpa harus melalaikan konsekuensi atas pilihannya untuk menjadi seorang istri. Memang masih ada adegan dimana Alyssa akhirnya berhijab tapi dalam konteks pilihan pribadi, bukan karena dipaksa Sang Imam atau pun terpaksa karena ajaran agama semata. Bagaimana pun dalam sebuah hubungan, apalagi pernikahan, tentu tak boleh mengabaikan konsekuensi atau pun kompromi antara keduanya, bukan? Jika pihak suami sudah mau mengkompromikan apa yang selama ini diyakininya, tak adil juga jika istri lantas bebas sebebas-bebasnya tanpa ada yang dikompromikan. Kuncinya, dilakukan dengan ikhlas, tanpa ada paksaan.
Itulah yang membuat saya masih sangat menghargai Dear Imamku, bahkan meletakkannya sebagai sajian Film Indonesia Lebaran terbaik tahun 2021 ini. Fokus ceritanya terjaga dengan perkembangan dan arah plot yang benar. Tujuannya tak serta-merta mempromosikan 'hijrah' secara dangkal, justru mengkritisinya. Adegan-adegan yang kurang logis pun tak sampai menciderai plot utama. Hanya untuk detail pilihan yang seharusnya bisa lebih masuk akal, seperti misalnya cara memesan kamar hotel.
Meski benar-benar pasangan asli di kehidupan nyata, talenta dan jam terbang ternyata memang tetap punya pengaruh yang sangat besar. Di saat Tissa Biani mampu memainkan karakter Alyssa dengan luwes dan effortlessly, tapi tidak dengan Dul Jaelani. Di saat ekspresi biasa saja Dul Jaeni masih terlihat kaku dan datar. Uniknya, ia justru terlihat sedikit lebih meyakinkan ketika harus menangis. Imbasnya chemistry antara keduanya kerap kali kurang meyakinkan sebagai pasangan yang sudah dua tahun berpacaran. Sementara di jajaran pemeran pendukung, seperti biasa Aida Nurmala mencuri perhatian sebagai ibu Alyssa. Begitu juga Zsa Zsa Utari, pemeran Maria di Imperfect yang semakin terlihat pesona fabulous-nya.
Tak ada masalah dengan penataan kamera Ipung Rachmat Syaiful (Berbagi Suami, Kala, Guru Besar Tjokroaminoto, 27 Steps of May, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, dan Bumi Manusia) yang mampu bercerita lewat visual secara efektif, meski tak ada yang terlalu istimewa pula. Editing Andhy Pulung pun mampu membuat plot flow terasa pas, tidak terlalu lambat ataupun terlalu cepat. Mungkin hanya sedikit logika minor seperti tampilan jejak durasi konten YouTube yang bergerak terlalu cepat dibandingkan panjang durasi kontennya. Tak ada kendala berarti (pun tak juga menjadi sesuatu yang eksepsional) di ilustrasi musik Tya Subiakto dan artistik JB Adhi Nughroho. Bahkan tata kostum Aldie Harra, khususnya untuk Tissa Biani dan Zsa Zsa Utari tergolong memanjakan mata.
Di luar ekspektasi dan harapan, saya tidak menyangka bahwa Dear Imamku menjadi sajian film Indonesia menyambut Lebaran tahun 2021 yang tak hanya digarap dengan teknis dan pengembangan plot paling baik, tapi juga esensi yang tidak sedangkal imaji awalnya. Justru ia mengkritisi trend 'hijrah' secara dangkal dengan keseimbangan yang pas, tanpa harus terlalu membela atau pun menjatuhkan salah satu ideologi. Bagi penonton umum pun, Dear Imamku masih bisa menjadi potret betapa tidak mudahnya pilihan menikah terlalu muda. Ada banyak hal yang harus dipersatukan dan saling dikompromikan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.