Pulau Plastik
Gerakan
Kesadaran Lingkungan
yang Mengusik
Hingga Ranah Personal
Dua tahun terakhir isu sampah plastik menjadi salah satu highlight terbesar di bidang lingkungan. Mulai trend kampanye anti sedotan plastik di restoran-restoran cepat saji dan kafe-kafe waralaba hingga Peraturan Daerah pelarangan penggunaan kantong plastik di pasar dan toko swalayan yang sudah berhasil merambah banyak kota dan daerah. Namun jika selama ini kita (setidaknya saya sendiri) hanya memahami bahayanya, terutama bagi ekosistem laut, film dokumenter Pulau Plastik mencoba untuk memaparkan berbagai fakta lebih jauh lagi terkait isu sampah plastik. Diproduksi oleh kerjasama Visinema Pictures dengan Kopernik (organisasi yang melakukan penelitian dan pengembangan untuk menemukan solusi efektif yang berpotensi menjawab isu sosial dan lingkungan), Akarumput (rumah produksi yang menggunakan seni, musik, dan kampanye media untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah lingkungan dan sosial yang berbasis di Bali), dan Watchdoc (rumah produksi yang mengkhususkan pada konten-konten dokumenter, baik berupa series, film TV, maupun video komersial dan non-komersial), Pulau Plastik disutradarai oleh Dandhy Laksono, mantan jurnalis yang akhirnya mendirikan Watchdoc dan populer lewat dokumenter Sexy Killers tahun 2019 silam, bersama dengan Rahung Nasution, sutradara film dokumenter yang dikenal lewat Pulau Buru: Tanah Air Beta dan Gerakan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pulau Plastik ditayangkan di bioskop-bioskop di Indonesia dengan cara roadshow mulai 22 April 2021.
Film dibuka dengan sebuah eksperimen meletakkan sejumlah material di kedalaman laut. Termasuk di dalamnya kantong berbahan bio-degradable dan oxo plastic yang diklaim ramah lingkungan serta cepat terurai dengan sendirinya. Nantinya akan dicek kembali dalam kurun waktu enam bulan, apakah bahan-bahan tersebut benar-benar ramah lingkungan seperti klaimnya dan bisa menjadi solusi jawaban dari penggunaan kantong plastik.
Film kemudian memperkenalkan sosok Gede Robi, vokalis band rock asal Bali, Navicula, yang dikenal vokal terhadap isu-isu lingkungan. Gede Robi berniat melakukan perjalanan darat dari Bali ke Jakarta sambil mampir ke beberapa lokasi yang berkaitan dengan isu sampah plastik dan dampaknya terhadap lingkungan. Ada beberapa fakta menarik yang didapatkan, seperti impor sampah yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang dijadikan bisnis tersendiri bagi warga sebuah desa, serta yang paling 'horor' adalah dampak sampah plastik yang bahkan ketika hancur ternyata masih menyisakan partikel mikro-plastik yang tak disadari masuk ke dalam tubuh manusia lewat makanan laut. Konon dampak jangka panjangnya adalah berbagai penyakit mematikan. Gede Robi dan ahli biologi, Prigi Arisandi, juga mengamati sampai sejauh mana kota-kota yang mereka lewati menyikapi isu sampah plastik ini.
Puncaknya adalah event mars di car free day Jakarta terbesar yang digagas oleh Tiza Mafira, pengacara muda yang mendidakasikan dirinya untuk isu sampah plastik sekali pakai hingga para pejabat pembuat undang-undang. Event ini diharapkan mampu menyebarkan informasi penting tentang bahayanya penggunaan bahan plastik sekali pakai dan menularkan gaya hidup alternatif yang lebih ramah lingkungan. Tak ketinggalan, film ditutup dengan sebuah kesimpulan yang menjawab rasa penasaran kita selama ini tentang efektivitas bahan-bahan yang diklaim sebagai ramah lingkungan yang sempat disinggung sebagai pembuka film.
Secara struktur, Pulau Plastik tergolong cerdas, terutama untuk menjaga ketertarikan penonton mengingat format dokumenter yang berpotensi membosankan jika hanya menggunakan pendekatan konvensional dan naratif lurus-lurus saja. Membuka film dengan eksperimen yang paling dekat dengan masyarakat (khususnya kaum urban) akhir-akhir ini tentu menjadi sebuah teka-teki yang menggugah dan bikin penasaran. Meletakkan jawaban sebagai penutup film adalah 'trik' cerdas untuk membuat penonton tetap menantikan sambil menyimak 'materi' hingga akhir film, selain tentu saja menjadi sebuah konklusi yang pas untuk menjawab apakah solusi yang selama ini ditawarkan benar-benar bisa menjadi solusi terbaik.
Film kemudian menunjukkan gambar-gambar 'horor' tentang sejauh mana dan separah apa isu sampah plastik ini berdampak terhadap ekosistem laut. Dengan alur yang kian memuncak (baca: kian seram!), satu per satu dampak dipaparkan. Kemudian sesuai dengan urutan rute perjalanan Gede Robi, fakta-fakta mengejutkan yang membuat kita sebagai bangsa Indonesia sedih, takut, sekaligus marah, dan bisa jadi baru kita ketahui lewat film ini semakin mengusik emosi penonton. Drone shot di banyak kesempatan tak hanya sekadar untuk gaya-gayaan agar terkesan sinematik dan megah, tapi punya tujuan lebih untuk menunjukkan betapa parahnya kondisi yang sudah terjadi di lapangan.
Puncaknya, film mengajak kepedulian penonton sampai ke ranah pribadi yang menurut saya, paling 'horor'. Bagaimana tidak, jika selama ini kita hanya tahu dampak sampah plastik terhadap ekosistem laut seperti paus mati dengan perut penuh plastik atau kura-kura yang terluka gara-gara tersedak sedotan plastik yang mungkin 'belum cukup mampu' mengusik banyak kalangan, tentu saja lain cerita jika sudah mengusik kesehatan pribadi tiap individu. Saya rasa tidak ada satu pun manusia yang lantas tidak 'parno' dengan fakta yang dipaparkan dalam film tentang mikro-plastik dalam bahan makanan setelah menyaksikan film ini. Sungguh sebuah pilihan struktur yang paling ideal untuk menggiring emosi penonton.
Namun Pulau Plastik tak mau hanya menjadi momok yang menggerakkan penonton dengan cara menakut-nakuti. Ia memberikan semangat dan harapan bahwa semua ini masih belum terlambat jika masing-masing dari kita mau mengubah gaya hidup. Event mars di car free day Jakarta yang memperlihatkan betapa tim LSM yang terlibat dengan ramah, sopan, dan solutif mengedukasi masyarakat bagi saya adalah pemandangan yang menggugah, setidaknya mampu mengundang senyuman secara spontan setelah paparan-paparan horor yang mengaduk-aduk emosi.
Selain itu tak perlu khawatir pula film menjadi kelewat serius dan penuh propaganda yang berapi-api. Di banyak kesempatan film juga menyisipkan betapa sosok-sosok utama juga manusia biasa yang tak melulu serius. Mereka juga bisa bersenang-senang dan punya selera yang 'membumi' dengan masyarakat luas, seolah menunjukkan bahwa mereka-mereka ini bukan lah sosok intelektual yang angkuh, berjarak, dan hanya bisa menyalahkan masyarakat umum sebagaimana imaji kaum SJW (Social Justice Warrior) urban akhir-akhir ini. Mereka sama saja dengan kita dan berusaha mengajak bersama-sama membuat perubahan dengan cara yang ramah dan bersahabat.
Dengan kemasan yang demikian, Pulau Plastik memaparkan informasi yang cukup lengkap dan komprehensif terkait isu, serta impresi yang mampu menggugah penonton secara mendalam dengan cara yang bersahabat. Setelah menonton, saya menjadi berpikir berkali-kali tiap kali memesan makanan dan minuman yang dikemas dengan plastik. Gambar-gambar dan narasi 'horor' yang dipaparkan sepanjang film otomatis kembali terputar dalam memori. Se-powerful itu! Penting untuk diketahui dan dirasakan oleh masyarakat seluas mungkin. Sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.