Tarian Lengger Maut
Mampu Membangun Atmosfer,
tapi Tidak Cukup Efektif Bercerita
Dua tahun terakhir Visinema, salah satu rumah produksi yang tergolong produktif dan konsisten memproduksi film-film berkualitas, berkembang tidak hanya memproduksi kontennya sendiri, tetapi menjadi sebuah studio yang juga terlibat dalam proyek-proyek dari/dengan rumah produksi lain yang bisa jadi skalanya masih jauh lebih kecil tapi punya talenta serta potensi yang menjanjikan. Tak hanya di Ibukota Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah yang mungkin belum pernah dilirik sebelumnya. Setelah mengambil bagian dalam distribusi film dokumenter Pulau Plastik, Visinema mempersiapkan sebuah film horror/thriller untuk mengisi salah satu slot libur Lebaran yang sempat vakum tahun lalu gara-gara pandemi COVID-19. Film bertajuk Tarian Lengger Maut ini adalah produksi Aenigma Pictures asal Tangerang yang sebelumnya dikenal lewat karya-karya TV commercial, video musik, fashion dan wedding photography. Tarian Lengger Maut atau yang judul asalnya adalah Detak merupakan debut produksi film panjang pertama, termasuk oleh sang creative director, Yongki Ongestu, yang duduk sebagai sutradara dan director of photography.
Sebelum memikat hati Angga Dwimas Sasongko, Detak sudah terlebih dulu melanglang di beberapa festival film, di antaranya Tokyo Genre Celebration Festival 2020 yang mendapatkan nominasi di kategori Best Drama Feature dan Best Cinematography, serta memenangkan kategori Best Feature Film, Best Cinematography, dan Best Film Poster di European Cinematography Awards edisi Januari 2021 yang digelar di Amsterdam. Dalam kesempatan pemutaran perdana untuk media, Angga Dwimas Sasongko mengungkapkan keterlibitan Visinema baru setelah film sudah jadi tapi kemudian dipoles kembali agar lebih terasa 'sinematik'. Dengan meletakkan nama Refal Hady (Galih & Ratna, Wedding Agreement, Antologi Rasa) dan Della Dartyan (duologi Love for Sale), Tarian Lengger Maut diharapkan mampu menarik perhatian penonton untuk datang ke bioskop pada libur Lebaran 2021.
Bertepatan dengan menjelang dilantiknya Sukma (Della Dartyan) menjadi penari Lengger, Desa Pagar Alas kedatangan seorang dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular muda, dr. Jati (Refal Hady). Anehnya sejak kedatangan dr. Jati kian banyak warga desa yang mendadak hilang begitu saja. Mereka percaya satu-satunya cara untuk menangkal petaka ini adalah ritual Tarian Lengger dan Sukma adalah calon penari Lengger yang secara mistik akan menerima anugerah Indang untuk melindungi diri dan juga warga desa.
Aenigma Pictures dan Yongki Ongestu sebenarnya bukan rumah produksi komersial dan sinematografer yang 'berani' (jika tak mau disebut 'nekad') mencoba produksi film panjang secara swadaya. Sebenarnya niatan baik mereka untuk memperkenalkan budaya Indonesia, terutama Tari Lengger yang selama ini sebenarnya lebih dikenal sebagai tarian yang dibawakan oleh pria dengan berdandan menjadi wanita sebagaimana yang pernah diangkat Kucumbu Tubuh Indahku, patut diapresiasi. Apalagi dengan kemasan horror-thriller yang sebenarnya punya premis yang menarik meski tergolong generik di genrenya. Namun ada baiknya untuk melibatkan pihak yang lebih punya banyak pengalaman dalam produksi film cerita agar hasil akhirnya bisa sesuai dengan konsep awal yang ingin dicapai, terutama dari segi penulisan naskah. Termasuk di dalamnya pengembangan cerita dan penulisan karakter.
Sayang, rupanya Tarian Lengger Maut termasuk dalam lubang yang sama dengan kebanyakan proyek film cerita perdana yang terlalu percaya diri hanya berbekal premis menarik dan kemasan gambar sinematik semata, tanpa didukung pengembangan plot (juga pengembangan karakter serta koneksi antar karakter) yang layak untuk sebuah film cerita panjang. Malah menurut saya pribadi, naskah Tarian Lengger Maut sebenarnya menggunakan pendekatan khas film pendek (entah siapa yang menyusun naskahnya, secara tidak pernah dicantumkan dalam kredit baik di poster maupun rilis media).
Film dibuka dengan adegan dr. Jati yang sedang melakukan presedur pencabutan jantung terhadap seorang pasien. Dari sini saja sebenarnya sudah jelas bahwa film tak bertujuan menjadi plot whodunit yang mengajak penonton menebak-nebak siapa pelaku pembunuhan. Maka satu-satunya tujuan yang tersisa adalah jawaban atas pertanyaan 'mengapa dr. Jati melakukannya?' dan 'lantas apa hubungan kasus tersebut dengan sosok Sukma?'. Adegan-adegan berikutnya hanya berupa perkenalan sosok dr. Jati lengkap dengan sepotong flashback yang diharapkan bisa memberikan gambaran alasan karakternya menjadi sosok psikopat dengan kedok dokter bedah, dan juga sosok Sukma yang sedang mempersiapkan diri untuk ritual pentahbisan menjadi penari Lengger. Filosofi Tari Lengger sempat disebutkan sekali lewat karakter Sang Indang. Berikutnya hanya adegan-adegan dr. Jati melancarkan aksinya yang dipadu dengan tarian Sukma secara berulang, tanpa ada pengembangan berarti. Di sela-selanya diselipkan percakapan warga desa di sebuah warung yang mencurigai kasus orang hilang sejak kedatangan dr. Jati (itu pun diulang dua kali!).
Perubahan dalam diri dr. Jati sejak (hanya) melihat penampilan tari Sukma sebenarnya menjadi pengundang rasa penasaran yang sayangnya ternyata tak dijawab dengan logika yang cukup bisa diterima oleh akal sehat penonton (well, setidaknya bagi saya yang membutuhkan penjelasan koneksi yang lebih masuk akal dan terperinci). 'Benturan' antara karakter Sukma dan dr. Jati sebenarnya menjadi highlight terbesar yang saya tunggu-tunggu sepanjang film, terutama dalam menjawab pertanyaan: 'apa hubungan kasus tersebut dengan sosok Sukma sampai-sampai dijadikan tajuk film?'. Namun lagi-lagi saya dikecewakan oleh momentum ini yang ternyata hanya dijadikan klimaks yang juga tak jelas, tidak cukup mampu menjawab pertanyaan: 'kok bisa begitu?'. Seketika itu juga film berakhir. Saya jadi membayangkan dengan durasi yang kalau saya hitung kira-kira sekitar 70 menit, sepertinya hanya punya skenario tak lebih dari 30 halaman (itu pun kalau benar-benar ada skenarionya).
Ketika sesi konferensi pers dan tanya-jawab dengan media, baru terkuak konsep dan arah seperti apa yang ingin dituju oleh film sebagaimana disampaikan oleh Yongki dan Refal. Saya semakin berani mengambil kesimpulan bahwa Tarian Lengger Maut adalah contoh proyek film panjang pertama yang terlalu percaya diri diproduksi dengan hanya modal premis menarik, tanpa landasan konsep yang cukup kuat untuk meyakinkan penonton atas logika sebab-akibatnya. Belum lagi jika membahas perkembangan plot atau perkembangan karakter. Naskahnya sendiri saja masih sangat kesulitan menerjemahkan konsep yang ingin dituju lewat bahasa gambar dan suara. Satu lagi contoh kasus obsesi sinematografi yang berusaha ingin lebih bercerita lewat bahasa gambar ketimbang dialog, tapi belum dibekali kemampuan yang mumpuni untuk menerjemahkannya secara lancar. Butuh bakat, sensitivitas, serta pengalaman bercerita yang lebih daripada sekadar mengonsep framing yang terlihat indah dan sinematik. Ada banyak cara menyampaikan informasi lewat bahasa gambar dan suara yang komprehensif dan efektif tanpa membuat penonton menganggapnya sebagai kesalahan faktual (factual error) atau detail yang terabaikan.
Tanpa pijakan naskah dan penulisan karakter yang solid, tentu sulit untuk mengarahkan aktor atas detail karakter yang tepat. Lihat saja sosok dr. Jati yang entah bagaimana trauma masa kecil dan kerinduan terhadap sang Ibu (sebagaimana yang disebutkan Yongki saat press conference) bisa secara spesifik menimbulkan obsesi terhadap detak jantung. 'Suka aja' adalah alasan yang sangat lemah untuk memotivasi seseorang sampai menjadi pembunuh berantai dan mengumpulkan jantungnya. Belum lagi kekuatan logika titik balik karakter dr. Jati seperti di klimaks hanya karena bertemu dengan sosok Sukma. Lagi-lagi pertanyaan 'kok bisa, hubungannya apa?' masih terus menggelayuti pikiran saya tanpa mendapatkan jawaban yang benar-benar memuaskan, bahkan oleh penjelasan Refal dan Yongki saat press conference. Alhasil penampilan Refal hanya sekadar terlihat sakit jiwa (psikopat) dan bengis. Bahkan di klimaks terasa dramatisirnya terlalu dibuat-buat. Sementara Della lebih beruntung karena karakter yang dipercayakan kepadanya tergolong lebih misterius tanpa punya detail lebih dan dibebani oleh latar belakang ataupun motivasi tertentu. Dengan kharisma dan bakat alaminya, Della terlihat effortlessly natural, termasuk juga penampilannya memeragakan Tarian Lengger yang cukup luwes berkat latihan selama satu setengah bulan.
Namun bukan berarti Tarian Lengger Maut tidak punya keunggulan sama sekali. Dengan latar belakang Yongki yang seorang sinematografer, tak heran jika hampir sepanjang film dibidik dengan sinematografi yang tertata baik. Cukup efektif membangun atmosfer ketegangan sekaligus intensitas beberapa adegan mendebarkan dengan momentum yang pas pula. Bahkan adegan penampilan Tarian Lengger utama punya daya magis yang mampu menghipnotis lewat pergerakan kamera yang dinamis mengikuti pergerakan karakter Sukma dan pengaturan ritme yang memuncak. Musik ilustrasi Reno Rolander pun menjadi kekuatan tersendiri yang mampu memperkuat pembangunan atmosfer kengerian serta ketegangan.
Jadi jika Anda mengharapkan plot yang menjanjikan dengan bekal sinopsis yang terlihat menarik, saya menyarankan untuk menurunkan ekspektasi ketika menyaksikannya. Coba nikmati saja sebagai sekadar sajian seru-seruan instan. Bagi tim produksi di Aenigma Pictures, saya hanya bisa menyarankan untuk melibatkan lebih banyak konsultan yang lebih berpengalaman dalam menyusun skenario film cerita panjang di proyek berikutnya. Bekal teknis sinematografi yang cantik dan megah tak membantu banyak jika tidak dibarengi dengan perkembangan plot yang cukup layak dan mumpuni, apalagi untuk tipe cerita yang butuh detail lebih seperti yang disodorkan Tarian Lengger Maut. Sayang sekali, bukan?
Lihat data film ini di IMDb.